
Apakah Berlaku Analogi dalam Pembahasan Akidah? (Bagian 1)
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan pembahasan mengenai apakah analogi berlaku dalam pembahasan akidah. Selamat membaca.
1. Analogi Sebagai Hujjah dalam Syariat Islam
Analogi atau yang diistilahkan dengan qiyas oleh para ulama adalah menyamakan hukum antara suatu hal dengan hal lainnya disebabkan adanya illat (sebab hukum) antara keduanya baik dalam penetapan maupun peniadaan. (Almustashfa: 1/280, Almahshul: 5/5).
Contoh: penganalogian uang kartal sebagai alat tukar-menukar dan penentu harga barang pada zaman sekarang dengan emas dan perak yang notabenenya sebagai alat tukar menukar di zaman Rasulullah ﷺ, di mana emas dan perak merupakan komoditi ribawi yang hukumnya telah dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ (HR. Muslim no. 1587), sedangkan uang kartal tidak ada dalil khusus membahasnya karena muncul belakangan, maka hukum uang kartal dianalogikan dengan hukum emas dan perak, karena ada illat sebagai alat tukar menukar.
Para ulama sepakat menjadikan analogi (qiyas) sebagai dasar hukum ke empat setelah Al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Ada pendapat dari ulama madzhab zhahiriyyah, di mana mereka mengingkari analogi sebagai hujjah, namun para ulama mengatakan pengingkaran tersebut hanya secara teori bukan dalam praktik menentukan hukum.
Al-Bajy berkata:
وهو دليل شرعي عند جميع العلماء
“Analogi (qiyas) merupakan dalil syar’i menurut semua ulama.” (Al-Isyarah fii ushul fikih: hal. 76).
Namun ada satu hal yang harus ditekankan bahwa analogi yang dijadikan dasar hukum dalam syariat adalah analogi yang sesuai dengan Al-Quran dan sunnah bukan analogi yang bertentangan dengan Al-Quran dan sunnah. Assubky berkata:
فإن فساد اعتبار القياس إنما يكون لو كان على خلاف النص
“Sejatinya sebuah analogi tidak teranggap jika menyelishi nash (Alquran dan sunnah).” (Al-Asybah wan Nazhair: 1/409).
2. Pernyataan Sebagian Ulama Tidak Ada Analogi dalam Akidah
Jika kita membaca kitab-kitab akidah, maka kita akan mendapati perkataan sebagian ulama yang seolah-olah meniadakan semua bentuk analogi dalam pembahasan akidah. Di antaranya adalah perkataan Imam Ahmad bin Hanbal di dalam Ushul Sunnah:
لا قياس في السنة ولا تضرب لها الأمثال
“Tidak ada analogi dan permisalan dalam sunnah (pembahasan akidah).
Begitu juga perkataan Al-Qadhi Abu Yusuf:
لَيْسَ التَّوْحِيدُ بِالقِياسِ
“Pembahasan tauhid tidak bisa diqiyaskan.” (Alhujjah Fi Bayanil Mahajjah: 1/122).
Namun, jika kita meneliti perkataan tersebut, kita akan mendapati bahwa para ulama tidaklah meniadakan semua bentuk analogi. Buktinya, Imam Ahmad sendiri menggunakan analogi lebih utama (qiyas aulawi) dalam menetapkan sifat-sifat Allah ﷻ. Beliau berkata:
لو أن رجلًا كان في يديه قدح من قوارير صافٍ وفيه شراب صافٍ، كان بصر ابن آدم قد أحاط بالقدح من غير أن يكون ابن آدم في القدح، فالله وله المثل الأعلى قد أحاط بجميع خلقه، من غير أن يكون في شيء من خلقه
“Seandainya seseorang memegang sebuah gelas kaca yang bersih dan di dalamnya ada air putih, maka dia pasti bisa melihat detail gelas tersebut tanpa dia harus berada di dalam gelas. Jika demikian halnya, maka Allah yang baginya permisalan tertinggi bisa mengetahui semua makhluk tanpa Dia harus berada di dalam makhlukNya.” (Arraddu ‘Alal Jahmiyyah Waz Zanadiqah, Hal. 149).
Ibnu Taimiyyah mengomentari pernyataan Imam Ahmad tersebut:
فضرب أحمد مثلًا وذكر قياسًا وهو أن العبد إذا أمكنه أن يحيط بصره بما في يده وقبضته من غير أن يكون داخلًا فيه ولا محايثًا له فالله سبحانه أولى باستحقاق ذلك واتصافه به وأحق بأن لا يكون ذلك ممتنعًا في حقه
“Ahmad memberikan permisalan dan menyebutkan sebuah analogi, yaitu: jika seorang hamba mungkin baginya untuk mengetahui detail benda yang ada di dalam genggamannya tanpa harus masuk dan bertempat di dalamnya, maka Allah ﷻ lebih pantas dan lebih berhak untuk sifat tersebut, dan hal tersebut tidak mustahil bagi Allah.” (Bayan Talbis Jahmiyyah: 5/109).
Berdasarkan hal di atas, analogi tidak bisa ditiadakan secara mutlak dalam pembahasan akidah, namun juga tidak bisa dikatakan bahwa analogi masuk dalam setiap pembahasan akidah, sehingga kita harus merinci mana pembahasan yang dibolehkan untuk beranalogi dan mana yang tidak.
Insya Allah, akan dibahas pada artikel berikutnya.
Wallahu a’lam
Disusun oleh:
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله
Selasa, 24 Jumadil Awwal 1443 H/28 Desember 2021 M
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله تعالى
Beliau adalah Alumni STDI Imam Syafi’i Jember (ilmu hadits), Dewan konsultasi Bimbingan Islam
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله تعالى klik disini