Muamalah

Hukum Hadiah Dari Penghutang Untuk Pemberi Hutang

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Hukum Hadiah Dari Penghutang Untuk Pemberi Hutang

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Hukum Hadiah Dari Penghutang Untuk Pemberi Hutang. selamat membaca.

Pertanyaan:

bismillaah… semoga Allaah senantiasa memberikan keberkahan ilmu dan waktu ustadz dan tim mahad bimbingan Islam. aamiin izin bertanya ustadz, ada kasus, A berhutang pada B dan belum melunasinya

Suatu ketika B mengadakan hajat, yang mana pada saat ini kawan2 dari B (termasuk si A) patungan untuk memberikan hadiah pada B. yang ingin saya tanyakan, apakah uang patungan dari A jika diberikan pada B, baik bentuk uang maupun barang, termasuk riba? mohon penjelasannya ustadz. jazaakumullaahu khoiroo.

Ditanyakan oleh Santri Mahad Bimbingan Islam


Jawaban:

Bismillah,

Riba yang dimaksudkan dalam hutang piutang adalah selisih pembayaran yang telah disyaratkan di dalam awal akad hutang, baik secara terang terangan ataupun secara implisit.

Sehingga apa yang diberikan dari barang atau manfaat karena bantuan atau jual beli yang lain atau muamalah yang lainnya yang tidak terkait dengan hutang piutang tersebut tidak disebut sebagai riba.

Ibnu Qudamah menekankan dengan syarat yang didapatkan dalam akad jual beli dengan menyebutkan:

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ .

“Setiap piutang yang mensyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”

Lalu Ibnu Qudamah kemudian membawakan perkataan Ibnul Mundzir. Beliau mengatakan,“Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan utang “mensyaratkan” kepada orang yang berutang agar memberikan tambahan, hadiah, lalu dia pun memenuhi persyaratan tadi, maka pengambilan tambahan tersebut adalah riba.”

Lalu kenapa bentuk pengambilan keuntungan dalam utang piutang ini terlarang?

Ibnu Qudamah mengatakan, “Karena yang namanya utang piutang adalah bentuk tolong menolong dan berbuat baik. Jika dipersyaratkan adanya tambahan ketika pengembalian utang, maka itu sudah keluar dari tujuan utama mengutangi (yaitu untuk tolong menolong).” (Lihat Al Mughni, 9/104)

Begitupula ketika ada jual beli yang mengiringi akad hutang piutang maka masuk di dalamnya riba karena ada hal yang dikhawatirkan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ

“Tidak boleh ada piutang bersamaan dengan jual beli (mencari keuntungan).” (HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasaa’i. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Sebagaimana kaidah :

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.”

Juga ditakutkan ada akibat negatif dengan manfaat yang diberikan di balik hutang yang dilakukan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syaukani:

وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْهَدِيَّةَ وَالْعَارِيَّةَ وَنَحْوَهُمَا إذَا كَانَتْ لِأَجْلِ التَّنْفِيسِ فِي أَجَلِ الدَّيْنِ، أَوْ لِأَجْلِ رِشْوَةِ صَاحِبِ الدَّيْنِ، أَوْ لِأَجْلِ أَنْ يَكُونَ لِصَاحِبِ الدَّيْنِ مَنْفَعَةٌ فِي مُقَابِلِ دَيْنِهِ فَذَلِكَ مُحَرَّمٌ؛ لِأَنَّهُ نَوْعٌ مِنْ الرِّبَا أَوْ رِشْوَةٌ

“Kesimpulannya, hadiah atau pinjaman atau semisalnya jika diberikan untuk menunda tempo pembayaran atau sebagai risywah (sogokan), atau untuk memberikan manfaat kepada pemberi hutang atas hutang yang diberikan, maka ini haram. Karena ini merupakan bentuk riba atau risywah” (Nailul Authar, 5/275)

lalu kenapa bila tidak disyaratkan tidak dianggap sebagai riba?
Ibnul Qayyim menjelaskan:

فَكَانَ رَدّ عُمَر لَمَّا تَوَهَّمَ أَنْ تَكُون هَدِيَّته بِسَبَبِ الْقَرْض فَلَمَّا تَيَقَّنَ أَنَّهَا لَيْسَتْ بِسَبَبِ الْقَرْض قَبِلَهَا وَهَذَا فَصْل النِّزَاع فِي مَسْأَلَة هَدِيَّة الْمُقْتَرِض

“Umar menolak hadiah dari Ubay karena beliau menyangka hadiah tersebut diberikan karena sebab hutang yang ia berikan kepada Ubay. Namun ketika ia yakin hadiah tersebut bukan karena sebab hutang, beliau menerima hadiah tersebut. Maka inilah patokan utama dari masalah hadiah dari penghutang kepada yang menghutangi” (Hasyiyah Ibnul Qayyim Ala Sunan Abi Dawud, 9/296).

Asy-Syaukani juga mengatakan:

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِغَرَضٍ أَصْلًا فَالظَّاهِرُ الْمَنْعُ لِإِطْلَاقِ النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَّا الزِّيَادَةُ عَلَى مِقْدَارِ الدَّيْنِ عِنْدَ الْقَضَاءِ بِغَيْرِ شَرْطٍ وَلَا إضْمَارٍ فَالظَّاهِرُ الْجَوَازُ مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ الزِّيَادَةِ فِي الصِّفَةِ وَالْمِقْدَارِ وَالْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي رَافِعٍ وَالْعِرْبَاضِ وَجَابِرٍ، بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ

“Jika hadiah tersebut diberikan tidak untuk suatu tujuan yang diketahui, maka pendapat yang tepat adalah hal ini terlarang karena larangan dalam masalah ini sifatnya mutlak. Adapun tambahan yang diberikan ketika pelunasan yang tidak disyaratkan sebelumnya dan tanpa ada kesepakatan sebelumnya maka yang tepat ini dibolehkan, baik berupa tambahan dalam sifatnya atau kadarnya, baik tambahannya sedikit atau banyak. Berdasarkan hadits Abu Hurairah, Abu Rafi’, Al Irbadh dan Jabir (tentang melebihkan pelunasan hutang). Bahkan ini mustahab (dianjurkan)” (Nailul Authar, 5/275).

Dalam kitab Mughnil Muhtaj disebutkan

وَلَا يُكْرَهُ لِلْمُقْرِضِ أَخْذُ هَدِيَّةِ الْمُسْتَقْرِضِ بِغَيْرِ شَرْطٍ. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالتَّنَزُّهُ عَنْهُ أَوْلَى قَبْلَ رَدِّ الْبَدَلِ.

[الخطيب الشربيني، مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج، ٣٤/٣]

“Tidak Makruh bagi orang yang menghutangi untuk menerima hadiah dari orang yang berhutang jika tidak disyaratkan di awal. Imam Mawardi berkata ‘hanya saja lebih baik menghindarinya jika hadiah tersebut diberikan sebelum pelunasan hutang”

Wallahu a`lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله

Kamis, 16 Sya’ban 1444H / 9 Maret 2023 M 


Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di

Ustadz Mu’tasim, Lc. MA.

Beliau adalah Alumni S1 Universitas Islam Madinah Syariah 2000 – 2005, S2 MEDIU Syariah 2010 – 2012 | Bidang khusus Keilmuan yang pernah diikuti beliau adalah Syu’bah Takmili (LIPIA), Syu’bah Lughoh (Universitas Islam Madinah) | Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial Taklim di beberapa Lembaga dan Masjid

Related Articles

Back to top button