Suami Tidak Kasih Nafkah, Apa Boleh Istri Nikah Lagi?
![Suami Istri Pisah Rumah, Lalu Suami Tidak Kasih Nafkah, Apa Boleh Istri Nikah Lagi? Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Suami Tidak Kasih Nafkah Karena Pisah Rumah, Apa Boleh Istri Nikah Lagi?, selamat membaca. Pertanyaan: بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ Izin bertanya Ustadz, Suami istri sudah pisah rumah kurang lebih selama 9 bulan. Suami tidak memberikan nafkah lahir maupun batin, serta menggantungkan status pernikahannya. Apakah talak sudah jatuh? apakah istri boleh menikah lagi? Jazaakallahu khoiron. Ditanyakan oleh Santri Mahad Bimbingan Islam Jawaban: وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ بِسْـمِ اللّهِ Alhamdulillāh Washshalātu wassalāmu 'alā rasūlillāh, wa 'alā ālihi wa ash hābihi ajma'in. Dalam menyikapi permalahan diatas, ketika seorang suami dianggap melakukan kelalaian kepada istrinya, sehingga kewajiban untuk memberikan nafkah tidak di lakukan, terlebih ada persyaratan yang di gantungkan ketika melafazkan akad nikah sebelumya, maka menjadi hak seorang istri untuk mengajukan gugatan cerai ( khulu`) kepada suaminya atau seorang hakim. Sebagaimana firman Allah ta`ala,” وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim" [QS. Al-Baqarah : 229] Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma. جَاءَتْ امرَأَةُ ثَابِت بْنِ قَيْس بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّه مَاأَنقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِيْنٍ وَلاَ خُلُقِ إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ فَقَالَ رَسُواللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيقََتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا “Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” [HR. Al-Bukhari] Imam Ibnu Qudamah – ulama madzhab hambali – menjelaskan, وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها منه “Kesimpulan dalam masalah ini, bahwa seorang wanita, jika membenci suaminya karena akhlaknya atau karena fisiknya atau karena agamanya, atau karena usianya yang sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ (gugat cerai) kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk melepaskan dirinya.” (Al-Mughni, 7/323). Apakah akan otomatis menjadi batal atau terjadi thalak dalam pernikahannya tanpa suami menyetujui atau proses pemaksaan dari seorang hakim kepada suami yang telah melakukan kelalaian atau kezaliman kepada istrinya, maka tentunya tidak bisa seperti itu. Sebagaimana yang telah di sebutkan oleh Ibnu Qudamah ketika menyebutkan macam-macam syarat yang diajukan dalam suatu pernikahan, atau yang biasa kita sebut dengan shighah ta`liq, beliau menjelaskan,” الشروط في النكاح تنقسم أقساما ثلاثة : أحدها : ما يلزم الوفاء به وهو ما يعود إليها نفعه وفائدته مثل أن يشترط لها أن لا يخرجها من دارها أو بلدها أو لا يسافر بها ولا يتزوج عليها ولا يتسرى عليها فهذا يلزمه الوفاء لها به فإن لم يفعل فلها فسخ النكاح يروى هذا عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه وسعد بن أبي وقاص ومعاوية وعمرو بن العاص رضي الله عنهم “Syarat yang diajukan dalam nikah, terbagi menjadi tiga: Pertama, syarat yang wajib dipenuhi. Itulah syarat yang manfaat dan faidahnya kembali kepada pihak wanita. Misalnya, syarat agar si wanita tidak diajak pindah dari rumahnnya atau daerahnya, atau tidak diajak pergi safar, atau tidak poligami selama istri masih hidup, atau tidak menggauli budak. Wajib bagi suami untuk memenuhi semua persyaratan yang diajukan ini. Jika suami tidak memenuhinya maka istri punya hak untuk melakukan fasakh (membatalkan nikah). Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Khatab, Sa’d bin Abi Waqqash, Muawiyah, dan Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhum.” (Al-Mughni, 7/448). Sehingga bila khulu yang memang telah dibenarkan dalam syariat, dijalankan sesuai aturan nya, dimana seorang wanita mengadukan kepada seorang hakim dalam khulu dengan mengembalikan mahar yang telah di terima dan dibayarkan oleh suaminya , maka dengan pertimbagan yang cermat dari seorang hakim dengan melihat kebenaran dan kemaslahatn bisa jadi akan memngabulkan permintaan seorang istri. Namun bila ternyata, seorang wanita hanya karena nafsu dan sebab lain yang tidak beralasan, meminta cerai/khuluk kepada suaminya maka hendaknya ia merenungkan apa yang telah di camkan oleh Rasulullah shallahu alaihi wasallam dalam salah satu sabdanya,’ أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِي غَيْرِ مَا بَاْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ “Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya aroma surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil, no. 2035] Kembali ketika melihat masalah yang di sebutkan di atas, seorang istri ketika akan menikah kembali dengan orang lain tanpa ada keputusan hakim dan proses khulu` dijalankan, maka tidak diperbolehkan. Hendaknya wanita itu bersabar dan mencoba menyelesaiakannya proses perceraian atau khulu terlebih dahulu, bila telah selesai khulu/cerai dan masa iddah telah di jalankan maka diperbolehkan untuk menikah dengan lelaki laki. Semoga Allah Ta'ala memberikan kemudahakan kepada semua, dengan terus mencoba memperbaiki atau meningkatkan katakwaan, insyaallah akan memberikan kemudahan dan pilihan yang tepat untuk semua. Wallahu A'lam, Wabillahittaufiq. Dijawab dengan ringkas oleh: Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله](/wp-content/uploads/2023/06/Suami-Tidak-Kasih-Nafkah-Apa-Boleh-Istri-Nikah-Lagi.webp)
Suami Istri Pisah Rumah, Lalu Suami Tidak Kasih Nafkah, Apa Boleh Istri Nikah Lagi?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Suami Tidak Kasih Nafkah Karena Pisah Rumah, Apa Boleh Istri Nikah Lagi?, selamat membaca.
Pertanyaan:
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Izin bertanya Ustadz, Suami istri sudah pisah rumah kurang lebih selama 9 bulan. Suami tidak memberikan nafkah lahir maupun batin, serta menggantungkan status pernikahannya. Apakah talak sudah jatuh? apakah istri boleh menikah lagi? Jazaakallahu khoiron.
Ditanyakan oleh Santri Mahad Bimbingan Islam
Jawaban:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.
Dalam menyikapi permalahan diatas, ketika seorang suami dianggap melakukan kelalaian kepada istrinya, sehingga kewajiban untuk memberikan nafkah tidak di lakukan, terlebih ada persyaratan yang di gantungkan ketika melafazkan akad nikah sebelumya, maka menjadi hak seorang istri untuk mengajukan gugatan cerai ( khulu`) kepada suaminya atau seorang hakim.
Sebagaimana firman Allah ta`ala,”
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim” [QS. Al-Baqarah : 229]
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.
جَاءَتْ امرَأَةُ ثَابِت بْنِ قَيْس بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّه مَاأَنقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِيْنٍ وَلاَ خُلُقِ إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ فَقَالَ رَسُواللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيقََتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا
“Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” [HR. Al-Bukhari]
Imam Ibnu Qudamah – ulama madzhab hambali – menjelaskan,
وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها منه
“Kesimpulan dalam masalah ini, bahwa seorang wanita, jika membenci suaminya karena akhlaknya atau karena fisiknya atau karena agamanya, atau karena usianya yang sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ (gugat cerai) kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk melepaskan dirinya.” (Al-Mughni, 7/323).
Apakah akan otomatis menjadi batal atau terjadi thalak dalam pernikahannya tanpa suami menyetujui atau proses pemaksaan dari seorang hakim kepada suami yang telah melakukan kelalaian atau kezaliman kepada istrinya, maka tentunya tidak bisa seperti itu.
Sebagaimana yang telah di sebutkan oleh Ibnu Qudamah ketika menyebutkan macam-macam syarat yang diajukan dalam suatu pernikahan, atau yang biasa kita sebut dengan shighah ta`liq, beliau menjelaskan,”
الشروط في النكاح تنقسم أقساما ثلاثة : أحدها : ما يلزم الوفاء به وهو ما يعود إليها نفعه وفائدته مثل أن يشترط لها أن لا يخرجها من دارها أو بلدها أو لا يسافر بها ولا يتزوج عليها ولا يتسرى عليها فهذا يلزمه الوفاء لها به فإن لم يفعل فلها فسخ النكاح يروى هذا عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه وسعد بن أبي وقاص ومعاوية وعمرو بن العاص رضي الله عنهم
“Syarat yang diajukan dalam nikah, terbagi menjadi tiga: Pertama, syarat yang wajib dipenuhi. Itulah syarat yang manfaat dan faidahnya kembali kepada pihak wanita. Misalnya, syarat agar si wanita tidak diajak pindah dari rumahnnya atau daerahnya, atau tidak diajak pergi safar, atau tidak poligami selama istri masih hidup, atau tidak menggauli budak. Wajib bagi suami untuk memenuhi semua persyaratan yang diajukan ini. Jika suami tidak memenuhinya maka istri punya hak untuk melakukan fasakh (membatalkan nikah). Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Khatab, Sa’d bin Abi Waqqash, Muawiyah, dan Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhum.” (Al-Mughni, 7/448).
Sehingga bila khulu yang memang telah dibenarkan dalam syariat, dijalankan sesuai aturan nya, dimana seorang wanita mengadukan kepada seorang hakim dalam khulu dengan mengembalikan mahar yang telah di terima dan dibayarkan oleh suaminya , maka dengan pertimbagan yang cermat dari seorang hakim dengan melihat kebenaran dan kemaslahatn bisa jadi akan memngabulkan permintaan seorang istri.
Namun bila ternyata, seorang wanita hanya karena nafsu dan sebab lain yang tidak beralasan, meminta cerai/khuluk kepada suaminya maka hendaknya ia merenungkan apa yang telah di camkan oleh Rasulullah shallahu alaihi wasallam dalam salah satu sabdanya,’
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِي غَيْرِ مَا بَاْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya aroma surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil, no. 2035]
Kembali ketika melihat masalah yang di sebutkan di atas, seorang istri ketika akan menikah kembali dengan orang lain tanpa ada keputusan hakim dan proses khulu` dijalankan, maka tidak diperbolehkan.
Hendaknya wanita itu bersabar dan mencoba menyelesaiakannya proses perceraian atau khulu terlebih dahulu, bila telah selesai khulu/cerai dan masa iddah telah di jalankan maka diperbolehkan untuk menikah dengan lelaki laki.
Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahakan kepada semua, dengan terus mencoba memperbaiki atau meningkatkan katakwaan, insyaallah akan memberikan kemudahan dan pilihan yang tepat untuk semua.
Wallahu A’lam,
Wabillahittaufiq.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله