KonsultasiMuamalahZakat

Panen Tetapi Punya Hutang, Apa Wajib Bayar Zakat?

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Panen Tetapi Punya Hutang, Apa Wajib Bayar Zakat?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang panen tetapi punya hutang, apa wajib bayar zakat?
selamat membaca.

Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam kebaikan dan lindungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Afwan ana ada titipan pertanyaan dari teman tentang zakat hasil panen. Bapak A punya sawah, hasil panennya sudah mencapai nishob, tetapi hasil panennya tersebut sebagian untuk membayar hutang-hutangnya yang lumayan banyak untuk masa sebelum panen dan kebutuhan sehari-hari untuk mengurusi sawah.
Nah, apakah Bapak A tersebut masih wajib membayar zakat?

(Disampaikan oleh Fulanah, penanya dari media sosial bimbingan islam)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Zakat merupakan kewajiban agama yang sangat terkenal, termasuk salah satu rukun Islam yang lima. Namun pelaksananya masih sangat minim, karena ketidaktahuan banyak orang. Dan termasuk kewajiban zakat adalah zakat pertanian.

Nishob Zakat Pertanian

Ulama berbeda pendapat, apakah zakat hasil tanaman ada nishobnya (ukuran minimum wajib zakat)?

Abu Hanifah berpendapat tidak ada nishob. Beliau mewajibkan zakat pada hasil tanaman yang banyak atau sedikit dengan dalil umum, antara lain:

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ ، وَمَا سُقِىَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ

Dari Salim bin Abdillah, dari bapaknya (Abdullah bin Umar-pen), dari Nabi sholallahu ‘alaihi was sallam, beliau bersabda, “Pada (hasil pertanian) yang diairi dengan air hujan, mata air, mendapatkan air sendiri (zakatnya) sepuluh persen dan (pada pertanian) yang diairi dengan alat angkutan (zakatnya) lima persen”.
(HR. Bukhori, no. 1483; Abu Dawud, no. 1596; Tirmidzi, no. 640; Ibnu Majah, no. 1817; Nasai, 5/41)

Di sini tidak ada perbedaan antara hasil pertanian sedikit atau banyak, maka semua kena zakat.

Tetapi pendapat ini lemah, karena memegangi sebagian dalil, dan meninggalkan dalil yang lain. Hadits ini hanyalah menjelaskan ukuran kadar zakat, yaitu yang 10 persen dan yang 5 persen, bukan membicarakan masalah nishob yang diterangkan di dalam hadits yang lain.

Jumhur (mayoritas) ulama menetapkan bahwa produksi pertanian tidak wajib dikeluarkan zakatnya kecuali setelah mencapai nisab, yaitu lima wasaq. Inilah pendapat yang benar, dalilnya adalah:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ – رضى الله عنه – يَقُولُ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم –  لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ

Dari Abu Sa’id rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata: Nabi sholallahu ‘alaihi was sallam bersabda: “Tidak wajib zakat bagi (produksi pertanian) yang kurang dari lima wasaq”.
(HR Bukhari, no. 1405; Muslim, no. 979)

Hadits ini dengan tegas menetapkan adanya nishob pada hasil pertanian, sehingga tidak boleh ditolak dengan perkataan siapapun juga.

Adapun 1 wasaq = 60 sho’, sedangkan 1 sho’ = 4 mud.

Para ulama berbeda-beda menjelaskan ukuran 1 sho’, tetapi yang umum di Indonesia adalah sama dengan 2,5 kg.

Dengan demikian  5 wasaq adalah: 5 x 60 x 2,5 kg = 750 kg = 7,5 kwintal.

Nishob Dihitung Sesudah Kering dan Dihilangkan Kulitnya

Nishob ini dinilai setelah pengeringan dan dihilangkan kulitnya.

Syaikh Adil bin Yusuf Al-‘Azazi Al-Mihsri hafizhohulloh berkata, “Dan diperhatikan bahwa nishob adalah dengan ukuran setelah dibersihkan biji-bijian dari kulitnya, dan keringnya buah.
Imam Ibnu Qudamah berkata, ‘Lima wasaq dinilai pada biji-bijian setelah dibersihkan dari kulitnya, dan pada buah-buahan setelah kering. Jika seseorang memiliki 10 wasaq ‘inab (anggur basah) yang tidak mencapai 5 wasaq zabib (anggur kering), tidak ada kewajiban zakat padanya’.
(Al-Mughni, 2/696)

Tetapi jika dia ingin menyimpan dengan kulitnya, maka yang rojih: orang-orang terpercaya dari kalangan orang-orang yang berpengalaman menaksir kadar zakat yang akan dikeluarkan setelah dibersihkan biji-bijian dari kulitnya”.
(Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Shohihis Sunnah, 2/247)

Dalil penilaian ukuran zakat setelah pengeringan dan dihilangkan kulitnya adalah bahwa ketika Nabi sholallahu ‘alaihi was sallam menyebutkan zakat, beliau menyebutkan dengan tamar (korma kering), bukan dengan ruthob (kurma basah); dan dengan zabib (anggur kering), bukan dengan ‘inab (anggur basah), wallohu a’lam.

Nishob dihitung setiap panen atau setahun sekali?

Jika satu kali panenan belum mencapai nishob, maka hasil satu tahun digabungkan, walaupun tempanya berbeda, dengan syarat jenisnya sama, wallohu a’lam.
(Lihat: Shohih Fiqhus Sunnah 2/45)

Tidak terkena zakat hasil panen yang dimakan sendiri dan keluarganya, atau dimakan binatang, atau diambil oleh orang, atau yang dishodaqohkan ketika panen.
(Lihat: Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Shohihis Sunnah, 2/249-250)

Kadar Zakat Pertanian

Zakat hasil pertanian dikeluarkan sebanyak:

  • 10 % apabila diairi dengan air hujan, sungai, waduk, kolam, dan semacamnya.
  • 5% apabila diairi dengan menggunakan tenaga angkutan atau sejenis pompa air.

Hal ini berdasarkan hadits:

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ :  فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ ، وَمَا سُقِىَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ 

Dari Salim bin Abdillah, dari bapaknya (Abdullah bin Umar-pen), dari Nabi sholallahu ‘alaihi was sallam , beliau bersabda, “Pada (hasil pertanian) yang diairi dengan air hujan, mata air, mendapatkan air sendiri (zakatnya) sepuluh persen dan (pada pertanian) yang diairi dengan onta (zakatnya) lima persen”.
(HR. Bukhori, no. 1483; Abu Dawud, no. 1596; Tirmidzi, no. 640; Ibnu Majah, no. 1817; Nasai, 5/41)

Imam al-Nawawi:

وَفِي هَذَا الْحَدِيث وُجُوب الْعُشْر فِيمَا سُقِيَ بِمَاءِ السَّمَاء وَالْأَنْهَار وَنَحْوهَا مِمَّا لَيْسَ فِيهِ مُؤْنَة كَثِيرَة ، وَنِصْف الْعُشْر فِيمَا سُقِيَ بِالنَّوَاضِحِ وَغَيْرهَا مِمَّا فِيهِ مُؤْنَة كَثِيرَة ، وَهَذَا مُتَّفَق عَلَيْهِ 

“Di dalam hadits ini (terdapat dalil) kewajiban zakatnya 10 persen pada (hasil pertanian) yang diairi dengan air hujan, sungai, dan semacamnya yang tidak ada biaya yang banyak.
Dan kewajiban zakatnya 5 persen pada (hasil pertanian) yang diairi dengan onta-onta untuk pengairan, dan semacamnya yang ada biaya yang banyak. Ini disepakati (oleh ulama)”.
(Syarah Muslim, juz 3/412, Syamilah).

Hikmah Kadar Zakat

Jika kita perhatikan, Syari’at Islam menentukan kadar zakat disesuaikan dengan berat dan ringannya usaha yang dibutuhkan.

Usaha paling ringan adalah memperoleh harta rikaz (penemuan harta peningalan umat zaman dahulu), maka zakatnya 20 %.

Berikutnya adalah pertanian yang diairi dengan air hujan dan semacamnya, yang biayanya relatif ringan, zakatnya 10%.

Pertanian yang diairi dengan mengunakan tenaga yang biayanya lebih besar, zakatnya 5%.

Emas, perak dan harta perniagaan yang beresiko tinggi dan biayanya cukup besar, maka zakatnya 2,5%.

Bagaimana jika terkadang diairi dengan air  hujan dan terkadang dengan biaya, seperti diesel?

Imam Ibnu Qudamah berkata, “Jika tanah separuh waktu diairi dengan usaha dan separuhnya tanpa usaha, maka zakatnya 7,5 persen dengan kesepakatan (ulama). Jika tanah diairi dengan  pengairan yang lebih banyak dari pengairan yang lain, maka jumhur  ulama menilai dengan yang dominan, dan hukum yang sedikit gugur.
Ada juga yang berpendapat: keduanya dinilai  dengan bagiannya. Jika tidak diketahui yang doiman, maka dikeluarkan 10 persen karena kehati-hatian, karena kewajiabn asal adalah 10 persen, dan gugur asal ini dengan adanya usaha”.
(Al-Mughni 2/699; dinukil dari Shohih 2/47)

Jika Pemilik Tanaman Punya Hutang

Hutang ini ada dua macam:

1) Hutang karena biaya produksi,
seperti beli bibit, pupuk, biaya pekerja, dan semacamnya. Maka hasil panen dikurangi hutang ini sebelum dihitung zakatnya. Ini adalah pendapat Ibnu Umar, Sufyan ats-Tsauri, Yahya bin Adam,dan Ahmad bin Hanbal.
(Lihat: Shohih Fiqhus Sunnah 2/47)

2) Hutang untuk nafkah dirinya dan keluarga

Ibnu Umar berpendapat  hasil panen dikurangi hutang ini juga sebelum dihitung zakatnya.

Namun Ibnu Abbas berpendapat hasil panen tidak dikurangi hutang ini.

Abu Ubaid menguatkan pendapat Ibnu Umar, karena orang yang memiliki hutang sampai menghabiskan hartanya dia termasuk orang yang berhak mendapatkan zakat, maka bagaimana dia wajib membayar zakat, padahal  dia berhak mendapatkannya? Bagaimana mungkin dia menjadi orang yang kaya dan miskin dalam satu keadaan?

Dengan penjelasan ini, maka pendapat Ibnu Umar lebih kuat, walloh a’lam. (Lihat: Shohih Fiqhus Sunnah 2/47-48)

Apakah Biaya Bukan Hutang Untuk Pengolahan Dan Sewa Dihitung?

Di zaman sekarang pertanian memerlukan banyak biaya. Sebagian petani menyewa lahan pertaniannya. Walaupun memiliki lahan sendiri, namun petani juga mengeluarkan biaya pengolahan, biaya pekerja, pupuk, obat-obatan, pengairan dengan diesel, biaya pekerja memanen, dan lainnya. Maka apakah hasil panen dikurang semua biaya ini? Ada dua pendapat ulama:

Hasil panen tidak dikurangi biaya pertanian.
Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm dengan alasan bahwa Nabi telah membedakan ukuran wajib zakat dengan sebab biaya usaha. Maka jika telah dikurangi menjadi 5 persen seharusnya tidak ada pengurangan lagi.

Hasil panen dikurangi biaya pertanian.
Ini adalah pendapat Hanabilah dan Ibnul Arobi. Pendapat ini lebih kuat dengan alasan:

Bahwa usaha/tenaga memiliki nilai di hadapan Syari’at. Terkadang bisa mengurangi kadar kewajiban seperti pengairan dengan alat. Dan terkadang menggugurkan kewajiban zakat, seperti binatang ternak yang dicarikan makanan pada mayoritas waktu di dalam setahun. Maka tidak mengherankan jika biaya pertanian ini juga menggugurkan hasil pertanian yang sebanding dengannya.

Bahwa hakekat zakat adalah pertumbuhan. Maka tidak dihitung harta bertambah atau hasil usaha, jika dia harus mengeluarkan biaya semisalnya untuk mendapatkannya, apalagi jika sampai merugikannya. Wallahu a’lam.
(Lihat: Shohih Fiqhus Sunnah 2/48, 50)

Kesimpulan

Ketika seorang petani padi panen, maka hasil panennya dikurangi hutang-hutangnya dan biaya pengerjaannya.

Jika hasil akhir  mencapai nishob, maka dia wajib membayar zakat.

Jika setelah dikurangi ternyata tidak mencapai nishob, maka hasil panen setahun dijumlahkan, jika mencapai nishob, wajib membayar zakat.

Namun jika tidak mencapai nishob, maka dia tidak wajib membayar zakat, namun dianjurkan sedekah sesuai dengan kelonggaran. Wallohu a’lam.

Baca juga :

Bagaimana Hukum Zakat Dari Pertanian?

 

Disusun oleh:
Ustadz Muslim Al-Atsari حفظه الله
Jum’at, 23Sya’ban 1441 H/ 17 April 2020 M



Ustadz Muslim Al-Atsari حفظه الله
Beliau adalah Pengajar di Pondok Pesantren Ibnu Abbas As Salafi, Sragen
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Muslim Al-Atsari حفظه الله 
klik disini

Ustadz Muslim Al-Atsary

Beliau adalah Pengajar di Pondok Pesantren Ibnu Abbas As Salafi, Sragen

Related Articles

Back to top button