Kisah Yang Membuat Allah Tertawa 3x Dalam Sehari, Shahih Atau Palsu?

Kisah Yang Membuat Allah Tertawa 3x Dalam Sehari, Shahih Atau Palsu?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan pembahasan mengenai kebenaran kisah yang membuat Allah tertawa 3x dalam sehari, shahih atau palsu? Selamat membaca.
Pertanyaan:
Assalāmu’alaikum ustadz. Semoga Allāh selalu melindungi dan merahmati ustadz dan seluruh umat muslim. Ustadz, saya pernah mendengarkan seorang da’i menyebutkan kisah Barkh al-‘Abid al-Aswad yang membuat Allāh tertawa 3x dalam sehari. Apakah kisah ini nyata dan shahih?
Saya cari kisahnya ada dalam kitab Ittihafus Sadatil Muttaqin Bisyarhi Ihyai Uluumiddin (Muhammad ibn Muhammad al-Hasaniy az-Zabidiy:1205 H), Kitab Minanul Kubra (Imam Abdul Wahab As-Sya’raniy: 973 H), dan kitab Musakkinul Fuad (Syeikh Zainuddin Ibn Ali ibn Ahmad al-Jab’i al-Aamiliy: 965 H). Dan apakah kitab-kitab ini sejalan dengan manhaj salaf? Jazākallāhu khairan.
(Ditanyakan oleh Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullah wabarokatuh.
Kami belum mendapatkan penjelasan dari para ulama salaf mengenai cerita tersebut. Dinyatakan di atas, bahwa cerita tersebut adalah dari cerita israiliyat, yang kita tidak mendustakan atau mempercayainya, bila memang riwayat diatas benar dan tidak mengandung kelemahan/dusta.
Bila melihat sikap para salafusshalih mengenai tertawanya Allah ta`alaa, maka sikap ahlussunnah waljamaah menetapkan sifat tersebut tanpa menyerupakan dengan sifat makhlukNya.
Sehingga Penetapan sifat “tertawa” bagi Allah ﷻ yang merupakan salah satu dari sifat tsubutiyah, fi’liyah, ditetapkan sebagaimana zahirnya, sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya, tanpa menyerupakan atau menyamakan dengan mahluk, dan tidak menanyakan kaifiyahnya. Ditetapkan berdasarkan Alquran dan Assunnah.
Di antara dalil yang menetapkan sifat tertawanya Allah sebagaimana yang disebutkan dalam hadist berikut,”
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
يَضْحَكُ اللَّهُ إِلَى رَجُلَيْنِ يَقْتُلُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ يَدْخُلَانِ الْجَنَّةَ، يُقَاتِلُ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلُ، ثُمَّ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَى الْقَاتِلِ فَيُسْتَشْهَدُ
“Allah tertawa kepada dua orang yang salah satunya membunuh yang lain, sedangkan kedua-duanya (akhirnya) masuk Surga. Orang yang satu berperang di jalan Allah, lantas ia terbunuh (oleh orang kedua). Kemudian Allah menerima tobat si pembunuh (karena masuk Islam). Lalu si pembunuh tadi akhirnya juga mati syahid (di jalan Allah)” [HR. Al-Bukhariy no. 2614, Muslim no. 3504, An-Nasaa’iy no. 3115, Ahmad no.9597 dan yang lainnya]
Sehingga, sifat yang menyatakan Allah tertawa tidaklah bertentangan dengan sikap salaf/ahlussunnah waljamaah dengan catatan yang dijelaskan di atas. Namun, apakah riwayat tersebut sahih, bahwa Allah tertawa sebanyak tiga kali dalam sehari karena perilaku seorang hamba? Terlebih riwayat tersebut dinukilkan dari kisah israiliyat?
Maka perkara ini yang perlu ditelaah kembali validitasnya. Terlebih bagaimana sifat yang jelas dari para salaf terkait dengan kisah kisah yang bersumber dari israiliyat.
Berita Israiliyat terbagi menjadi beberapa bagian dalam beberapa kategori. Akan tetapi, adanya perubahan dan penyelewengan yang menimpa Taurat dan Injil, menyebabkan syariat ini melarang kitab-kitab tersebut dibaca.
Oleh sebab itu, yang diperhatikan dalam kisah tersebut ialah sesuai atau tidaknya berita itu dengan syariat yang mulia ini.
Yang pertama adalah berita yang sesuai dengan syariat kita, yaitu berita yang kita ketahui kesahihannya melalui keterangan yang ada pada kita,atau dijelaskan oleh Rasulullah shallahu alaihi wasallam maka berita Israiliyat itu sahih.
Yang kedua, yang kita ketahui kedustaannya, dengan apa yang ada pada kita, yang menyelisihinya, maka harus ditolak.
Yang ketiga, berita yang tidak ada penegasan tentang kebenaran atau kedustaannya. Inilah yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu diatas, ketika ahli Kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani, lalu menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk orang-orang Islam,
لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوهُمْ. قُولُوا: آمَنَّا بِا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ.
“Janganlah kamu membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakan mereka, ucapkanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu’.” [HR. al-Bukhari (4485)]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً ، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat. Ceritakanlah tentang Bani Israil, dan tidak apa-apa. Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatilah tempat duduknya dineraka.”[HR. al-Bukhari (3461)]
Jenis yang ketiga ini, seringnya berisi hal yang tidak ada faedahnya, seperti: nama pemuda yang tertidur di dalam gua, warna anjing yang menyertai mereka, burung yang dihidupkan oleh Allah ‘azza wa jalla untuk Nabi Ibrahim, serta penentuan bagian tubuh sapi yang mana yang dipukulkan kepada korban pembunuhan di tengah-tengah Bani Israil dahulu.
Karena itu, terhadap berita yang ketiga ini, kita tidak boleh mengakui kebenarannya, tidak pula boleh mendustakannya sama sekali. Sebab, bisa jadi, kita mengakui kebenarannya, ternyata hal itu adalah sebuah kebatilan, atau kita mendustakannya, ternyata itu adalah sebuah kebenaran.
Kisah yang ditanyakan terkait dengan tertawanya Allah, maka benar Allah mempunyai sifat tertawa.
Apakah benar Allah tertawa sebanyak 3 kali karena sebab orang tersebut, karena tidak ada riwayat yang shahih dan bahkan ia termasuk cerita israiliyat maka kami mendapatkan kelemahan dari cerita tersebut dan tidak perlu dijadikan sebagai dasar pijakan dalam beramal. Sebaiknya cukup menggunakan cerita dan riwayat yang shahih untuk memberikan motivasi menginspirasi.
Terkait dengan kitab yang disebutkan, kami mendapatkan beberapa pendapat para ulama yang mengomentari isi yang disebutkan, terutama dalam kitab ihya’ yang sebagian ulama mengkritisi riwayat riwayat yang ada di dalamnya dengan riwayat riwayat lemah yang disebutkan semisal perkataan Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah berkata : “Ketahuilah bahwa kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn memuat banyak kerusakan (penyimpangan) yang tidak diketahui kecuali oleh para ulama. Penyimpangannya yang paling ringan (dibandingkan penyimpangan-penyimpangan besar lainnya) adalah adanya hadits-hadits palsu dan batil (yang termaktub di dalamnya), juga hadits-hadits mauquf (ucapan Sahabat atau Tabi’in) yang dijadikan sebagai hadits marfû’ (ucapan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Semua itu dinukil oleh penulisnya dari referensinya, meskipun bukan dia yang memalsukannya. Dan (sama sekali) tidak dibenarkan mendekatkan diri (kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) dengan hadits yang palsu, serta tidak boleh tertipu dengan ucapan yang didustakan (atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam )”. (Dalam kitab beliau Minhâjul Qâshidîn . Nukilan dari al-Bayân edisi 48 hlm. 81)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dalam kitab ini terdapat hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang lemah, bahkan (juga mengandung) banyak hadits yang palsu, serta berisi banyak kebatilan dan kebohongan orang-orang ahli tasawwuf” (Majmû’ al-Fatâwa 10/552)
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Adapun kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn, di dalamnya terdapat sejumlah (besar) hadits-hadist yang batil (palsu)” [Siyaru A’lâmin Nubalâ19/339]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “…Akan tetapi, dalam kitab ini (Ihyâ’ Ulûmiddîn ) banyak terdapat hadits-hadits yang asing, mungkar dan palsu” [Al-Bidâyah wan Nihâyah 12/214)]
Wallahu a`lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله
Safar 1444 H/ 2022 M
Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di sini