Wanita Sebagai Tentara Meneladani Aisyah, Apa Benar?

Wanita Sebagai Tentara Meneladani Aisyah, Apa Benar?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang wanita sebagai tentara meneladani aisyah? apa benar?
selamat membaca.
Pertanyaan :
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga. Saya mau bertanya ustadz.
Ustadz, fitrohnya seorang wanita itu berdiam dirumah.
Dan jika seorang wanita ikut berdemo, unjuk rasa itu berarti keluar dari fitroh. Dan suami yang menanggung dosa.
1. Bagaimana jika wanita sebagai tentara apakah berdosa juga??
2. Bagaimana yang dilakukan ibunda Siti Aisyah Radhiyallahu Anha ketika memimpin perang atas Ali radhiyallahu anhu. Apakah beliau durhaka kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam??
(Disampaikan oleh Fulanah, sahabat belajar grup WA Bimbingan Islam – BiAS)
Jawaban :
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.
Hukum asalnya memang seorang perempuan itu tugasnya adalah mengurus/memimpin rumahnya, anak dan suaminya, ini berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:
الْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا، وَمَسْئُولَة عَنْ رَعِيَّتها – أخرجه البخاري
“Perempuan itu sebagai pemimpin di rumah suaminya dan bertanggungjawab atas bawahan yang dipimpinnya”.
(H.R Bukhory)
Melainkan memang seorang perempuan boleh untuk keluar untuk bekerja dengan syarat terpenuhinya beberapa hal berikut:
1. Diberi izin oleh walinya, atau oleh suaminya, maknanya bahwa tidak boleh ia keluar kecuali mendapatkan izin.
2. Amal/pekerjaan yang ia lakukan bagian dari perkara yang fardhu kifayah dan menjadi kebutuhan kaum muslimin, seperti profesi dokter, perawat, guru untuk anak-anak dan kaum perempuan.
3. Pekerjaan yang ditujukan untuk mencari penghasilan, jika si perempuan tidak mendapati orang yang menanggung nafkahnya, atau pada kondisi suaminya kesulitan dalam mencukupi nafkah.
4. Pekerjaan yang dilakukan bukan kemaksiatan seperti penyanyi, musik, dan hal-hal sia-sia & melalaikan.
5. Tidak ada campur baur antara lelaki dan perempuan dalam pekerjaan yang digeluti, kecuali dalam hal yang mendesak.
6. Pekerjaannya tidak menuntut adanya kholwat/berduaan dengan lawan jenis.
7. Konsisten mengenakkan pakaian syari yang menutup aurot dengan tanpa ada tabarruj (berdandan ala jahiliyah).
Yang disebutkan di atas adalah syarat global bolehnya seorang perempuan untuk bekerja di luar rumah.
Adapun hal terkait pekerjaan wanita dalam bidang kepolisian/militer:
Hukum asal dari pekerjaan yang demikian adalah tidak boleh untuk menceburkan diri dalam bidang tersebut, karena konsekuensi dari bidang yang disebutkan adalah adanya ikhtilat/campur baur dengan lelaki asing dengan tidak ada kebutuhan mendesak atau darurat, dan sejatinya kebutuhan dalam bidang ini masih bisa diisi celahnya oleh para lelaki, juga karena pekerjaan yang demikian sejatinya bertentangan dengan fitrah dan tabiat bawaan wanita, bertentangan dengan sifat feminimnya, yang kita lihat bahwa hukum-hukum syari telah mengarahkan perempuan agar tidak berperilaku menyerupai lelaki, Nabi sallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda:
«لَعَنَ اللَّهُ الْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ، وَالْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ» رواه الطبراني
“Allah melaknat para perempuan yang menyerupai lelaki, juga melaknat para lelaki yang menyerupai perempuan”.
(H.R Tabrani)
Dikecualikan dari kondisi asal tidak bolehnya perempuan menceburkan diri dalam bidang ini adalah beberapa keadaan yang memang sangat dibutuhkan dan menuntut harus perempuan yang melakukannya untuk menjadi polisi ataupun tentara, seperti dalam kondisi pengecekan fisik khusus perempuan, atau dalam penyelidikan kepribadian (interogasi) khusus perempuan, atau dalam penjagaan di penjara khusus putri.
Adapun pekerjaan dalam bidang militer, maka hukum asal ikut serta dalam peperangan tidaklah wajib atas perempuan, konsekuensinya tidak usah bagi perempuan masuk pendidikan militer seperti belajar mengangkat senjata dan pengoprasiannya. Justru perempuan itu terlarang untuk bercampur baur dengan lelaki asing, karena ketika ia belajar militer, mau tidak mau pasti bercampur baur dengan lelaki dalam masa latihan.
Dasar dari hukum asal tidak wajibnya perempuan untuk menceburkan diri dalam bidang ini adalah sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Aisyah, apakah ada kewajiban jihad untuk perempuan? Nabi menjawab:
جِهَادٌ لَا قِتَالَ فِيهِ: الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
“Iya ada, tetapi jihad dengan tanpa peperangan, yaitu berhaji dan berumroh”.
Karena ketika perempuan masuk pada medan peperangan, ini akan menghadapkan perempuan pada kemungkinan untuk ditawan musuh, dan hal ini tentunya bertentangan dengan apa yang diperintahkan dalam syariat berupa penjagaan kehormatan perempuan, dan pencegahan agar tidak mendapat perlakuan kasar apalagi sampai dibunuh.
Dikecualikan dalam hal ini dua keadaan:
Pertama: kebutuhan peran perempuan dalam perawatan dan pengobatan di kala perang, dimana dalam kondisi ini tidak didapati kecukupan dari para tentara lelaki, sahabiyah Rabi’ bintu al-mu’awwidz pernah berkata:
كنا نغزو مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فنسقي القوم الماء ونخدمهم ونرد الجرحى والقتلى إلى المدينة – أخرجه البخاري
“Kami dahulu ikut berperang bersama Rasulillah sallallahu alaihi wa sallam, kami memberi minuman kepada pasukan, kami melayani kebutuhan mereka, juga kami ikut membawa para korban luka dan wafat ke madinah”.
(H.R Bukhary).
2. Ketika jihad hukumnya menjadi fardhu ‘ain, maka keluar untuk berperang hukumnya menjadi wajib atas setiap personal yang mampu, baik lelaki maupun perempuan, seperti ketika musuh menyerang negeri kaum muslimin, atau ketika imam (pemimpin kaum muslimin) meminta kepada setiap rakyat untuk ikut serta berperang, ini berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:
لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا – أخرجه البخاري
“Tidak ada hijrah lagi (ke makkah) setelah pembebasannya, namun masih ada jihad dan niat, jika pemimpin meminta kalian untuk berjihad (ikut serta berperang) maka ikutilah”.
(H.R Bukhari)
Para fuqoha telah menegaskan bahwa jihad menjadi fardhu ain dengan penunjukan dari Imam/pemimpin, bahwa walaupun jika yang ditunjuk adalah anak yang masih kecil namun ia punya kemampuan untuk berperang, atau juga untuk perempuan, maksud dari penunjukkan dari pemimpin adalah ketika pemimpin mewajibkan dam memaksakannya kepada rakyat.
Jika perempuan bisa memenuhi syarat-syarat seperti yang disebutkan di atas, juga mendapati kondisi seperti yang disebutkan pada penjelasan, boleh baginya masuk divisi militer, namun jika persyaratan tidak terpenuhi, kondisi juga tidak mendesak seperti yang disebutkan, maka hukum asalnya perempuan itu di rumah untuk mengurus keluarganya, suami dan anak-anaknya.
Aisyah Berperang, Apakah Benar?
Adapun masalah ibunda Aisyah rodiyallahu anha pada perang jamal, apa yang beliau lakukan, dan apa yang telah terjadi antara beliau dengan Ali rodiyallahu anhu adalah fitnah/ujian yang terjadi di tengah kaum muslimin.
Dan ideologi ahlus sunnah wal jamaah pada apa yang terjadi diantara mereka adalah dengan menahan diri untuk tidak berpikiran negatif, menuduh yang tidak-tidak atas apa yang terjadi dari fitnah yang ada antara para sahabat Nabi sallallahu alaihi wa sallam tersebut, baik perang jamal maupun siffin, kita tetap mendoakan keridoan kepada mereka, dan kita meyakini bahwa mereka semua berijtihad dalam mencari kebenaran, bagi yang benar ijtihadnya mendapat dua pahala, bagi yang keliru mendapat satu pahala.
Dengannya, tidak diperkenankan untuk mengatakan bahwa Ibunda Aisyah rodiyallahu anha bermaksiat baik kepada Allah maupun kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam.
Karena sejatinya dari awal ibunda Aisyah tidak menginginkan peperangan, justru beliau pergi bersama sahabat Talhah dan al-Zubair dalam rangka menyelesaikan masalah dan mewujudkan perdamaian, namun perbuatan orang-orang khawarijlah yang menjadikan adanya peperangan diantara dua kubu.
Berkata syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
فإنَّ عائشة لم تقاتِل ، ولم تخرج لقتال ، وإنما خرجتْ لقصد الإصلاح بين المسلمين ، وظنَّتْ أنَّ في خروجها مصلحةً للمسلمين ، ثم تبيَّن لها فيما بعد أنَّ ترك الخروج كان أولى ، فكانتْ إذا ذكرتْ خروجَها تبكي حتى تبل خمارها ، وهكذا عامة السابقين ندموا على ما دخلوا فيه من القتال ، فندم طلحة ، والزبير ، وعلي ، رضي الله عنهم أجمعين ، ولم يكن ” يوم الجمل ” لهؤلاء قصد في الاقتتال ، ولكن وقع الاقتتال بغير اختيارهم.
“Sejatinya ibunda Aisyah tidak berperang, tidaklah beliau keluar dengan tujuan perang, justru beliau keluar dengan tujuan untuk mendamaikan kaum muslimin, beliau mengira bahwa ketika beliau keluar akan ada maslahat bagi kaum muslimin, walaupun akhirnya menjadi terang bahwa andai beliau mengurungkan niat untuk keluar, itu menjadi perkara yang lebih utama (baik).
Setelah itu setiap beliau mengingat keluarnya beliau (ke bashroh) beliau menangis bersedih sampai air matanya membasahi kerudungnya, ini yang terjadi juga pada sahabat-sahabat yang lain, mereka menyesal kenapa sampai masuk pada peperangan, menyesallah Talhah, al-Zubair, Ali, semoga Allah meridoi semuanya, tidaklah peristiwa hari “jamal” mereka tujukan untuk perang, namun peperangan terjadi antara mereka dengan tanpa pilihan dan maksud mereka”.
(Minhaj al-Sunnah juz:4 hal:316)
Referensi:
1. Fatawa قيام المرأة في الجيش والشرطة بأعمال تناسبها
2. IslamQA لماذا كان مَن لعن عائشة رضي الله عنها كافراً ولم يكن كذلك مَن قاتلها يوم ” الجمل ” ؟
3. https://www.islamweb.net/ar/fatwa/10605/
Wallahu a’lam.
Dijawab oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله
Kamis, 25 Rabiul Akhir 1442 H/ 10 Desember 2020 M
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله
Beliau adalah Alumnus S1 Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta dan S2 Hukum Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله klik disini