Memberi Syarat Nikah Agar Tidak Poligami, Apakah Boleh?

Memberi Syarat Nikah Agar Tidak Poligami, Apakah Boleh?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan pembahasan tentang bolehkah memberi syarat nikah agar tidak poligami. Selamat membaca.
Pertanyaan:
Bismillah, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarahkatuh..
‘Afwan ustadz ana mau bertanya. Jika seorang akhwat memberikan syarat nikah kepada calon suami nya agar tidak dipoligami apakah syarat tersebut diperbolehkan atau bagaimana ustadz? Syukron ustadz, barakhaallahu fiikum.
(Ditanyakan oleh Sahabat BIAS melalui Grup WA)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Warahmatullah Wabaraktuh
Para ulama berbeda pandangan tentang seorang akhwat memberikan syarat nikah kepada calon suaminya agar tidak dipoligami, apakah syarat tersebut diperbolehkan atau tidak?
- Pendapat Madzhab Hanafi maka persyaratan ini diperbolehkan jika sang wanita menjatuhkan sebagian nilai maharnya. Dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan persyaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikannya maka sang wanita mendapatkan mahr al-mitsl (sepadan atau mahar yang menjadi standar di kaumnya). (lihat Al-‘Inaayah bi syarh Al-Hidaayah, 5/10, fathul Qodiir, 7/176 maktabah syamilah)
- Pendapat Madzhab Maliki memandang persyaratan ini merupakan persyaratan yang makruh. ((lihat perincian ini di At-Taaj wa Al-Ikliil, 3/513).
- Pendapat madzhab Syafii maka ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan. Akan tetapi jika terjadi maka persyaratan tersebut tidak merusak akad nikah, hanya saja merusak mahar yang telah ditentukan, sehingga mahar sang wanita nilainya berubah menjadi mahar al-mitsl.(lihat pembahasannya dalam kitab Al-Haawi, 9/506-508).
- Madzhab Hanbali membolehkan persyaratan seperti ini, dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan persyaratan tersebut. Dan persyaratan ini sama sekali tidak merusak akad nikah dan juga tidak merusak mahar.
Dan pendapat yang terakhir ini termasuk pendapat yang kuat, karena didukung beberapa argumen sebagai berikut;
Pertama:
Keumuman dalil-dalil yang memerintahkan seseorang untuk menunaikan janji atau kesepakatan. Seperti firman Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (QS Al-Maaidah :1)
Kedua:
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ
“Syarat yang palih berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita)” (HR Al-Bukhari, no. 2721 dan Muslim, no. 1418)
Dan persyaratan untuk tidak berpoligami merupakan persyaratan yang diajukan oleh sang wanita dalam akad nikahnya, sehingga wajib bagi sang lelaki untuk menunaikannya.
Ketiga:
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Dan kaum muslimin tetap berada di atas persyaratan mereka (tidak menyelisihinya -pen), kecuali persyaratan yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram” (HR At-Thirimidzi, no. 1352 dan Abu Daud, no. 3596 dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Dan jelas bahwasanya seseorang yang menikah dan tidak berpoligami maka hal ini diperbolehkan dan tidak melanggar persyaratan. Maka jika perkaranya demikian berarti persyaratan untuk tidak berpoligami diperbolehkan dan harus ditunaikan oleh sang suami.
Adapun persyaratan yang menghalalkan sesuatu yang haram maka tidak diperbolehkan, seperti seorang wanita yang menikah dengan mempersyaratkan agar calon suaminya menceraikan istri tuanya. Hal ini jelas diharamkan oleh syari’at.
Keempat:
Hukum asal dalam masalah akad dan transaksi –jika diridhoi oleh kedua belah pihak- adalah mubah hingga ada dalil yang mengharamkan.
Pendapat Ini adalah pendapat Imam Ahmad yang diperkuat oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu al-Qayyim. Demikian pula, ini adalah pendapat ‘Umar bin al-Khaththab, Sa’ad bin Abi Waqqash, Mu’awiyah, ‘Amr bin al-‘Ash, Jabir bin Zaid, Thawus, Imam Auza’iy, Ishaq dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. (lihat Al-Mughni, 7/448)
Tapi, Sebelum Semua Itu Terjadi . . .
Bila sang wanita mempersyaratkan tidak poligami sebelum menikah, maka hendaknya sang lelaki tidak langsung menerima, dan hendaknya ia berpikir panjang. Karena ia tidak tahu bagaimana dan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bisa saja nantinya sang wanita sakit sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri sebagaimana mestinya atau hal-hal lain yang nantinya memaksa dia untuk berpoligami. Dan hendaknya sang lelaki ingat bahwa jika ia menerima persyaratan tersebut maka hendaknya ia menunaikannya karena seorang mukmin tidak mengingkari janji dan tidak menyelisihi kesepakatan.
Hendaknya para wanita yang memberi persyaratan ini jangan sampai terbetik dalam benaknya kebencian terhadap syari’at poligami, hendaknya ia tetap meyakini bahwa poligami adalah disyari’atkan dan mengandung banyak hikmah di balik itu. Wanita ini juga tidaklah memberi persyaratan tersebut kecuali jika memang kondisinya mendesak, karena sesungguhnya di balik poligami banyak sekali hikmah.
Sebaliknya persyaratan seperti ini bisa jadi membawa keburukan. Bisa jadi sang wanita akhirnya memiliki anak banyak, dan telah mencapai masa monopouse, sedangkan sang suami masih memiliki syahwat dan ingin menjaga kehormatannya, namun akhirnya ia tidak bisa berpoligami. Maka jadilah sang lelaki membenci sang wanita namun apa daya ia tidak mampu untuk berpisah dari sang wanita mengingat kemaslahatan anak-anaknya.
Jika akhirnya sang lelaki berpoligami maka sang wanita diberi pilihan, yaitu menggugurkan persyaratannya tersebut dan menerima suaminya yang telah menyelisihi janji sehingga berpoligami ataukah sang wanita memutuskan tali akad pernikahan. Dan terputusnya tali pernikahan di sini bukanlah perceraian, akan tetapi akad nikahnya batal. Sehingga jika sang wanita ingin kembali lagi ke suaminya maka harus dengan pernikahan yang baru.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Kamis, 5 Ramadan 1443 H/ 7 April 2022 M
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Beliau adalah Alumni STDI Imam Syafi’i Jember (ilmu hadits), Dewan konsultasi Bimbingan Islam
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Fadly Gugul حفظه الله تعالى klik di sini