Dilamar Lelaki Yang Belum Mengenal Sunnah, Harus Bagaimana?

Dilamar Lelaki Yang Belum Mengenal Sunnah, Harus Bagaimana?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang dilamar lelaki yang belum mengenal sunnah, harus bagaimana?
selamat membaca.
Pertanyaan :
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Ahsanallah ilaikum ustadz. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga.
Ustadz, saya mau bertanya. Seorang ikhwan yang sangat baik akhlaknya (saya cukup mengenalnya karena merupakan teman kuliah dan kerja saya) datang melamar. Orangtua saya ridho dengannya, karena secara penghasilan pun sudah cukup mapan dan berasal dari keluarga yang baik. Saya pun merasa tertarik dengannya.
Tetapi ada sedikit keraguan karena dia belum mengenal sunnah. Saya pun sebenarnya masih sangat baru mengenal dakwah sunnah ini, masih di tahap awal dalam belajar, namun sudah berada di titik di mana terbetik keinginan untuk memiliki imam yang sudah mengenal sunnah pula, atau setidaknya mau belajar bersama-sama karena saya toh juga masih sangat baru mengenal manhaj ini.
Pertanyaannya, apakah sebaiknya saya tetap menerimanya dengan pertimbangan dan keyakinan bahwa saya bisa mengajak ikhwan ini untuk belajar bersama?
Apakah ada hal-hal yang saya harus pastikan terlebih dulu untuk menerimanya? Terima kasih, Ustadz. Jazaakaallahu khayran.
(Disampaikan oleh Fulanah, anggota grup BiAS)
Jawaban :
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.
Ikhwatal Iman Ahabbakumulloh, saudara saudariku sekalian yang mencintai Sunnah dan dicintai oleh Alloh..
Memilih seorang suami memang hal yang sakral, bukan cuma pendamping hidup, tapi juga imam dalam mengarungi kehidupan. Idealnya kita pasti memilih yang terbaik, tapi secara realita itu tidak mudah, antara jumlah lelaki dan wanita yang tidak setara, juga kesiapan lelaki yang tidak semua ada. Standar utamanya jelas Agama, Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ، وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
“Jika ada orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, yang meminang putri kalian nikahkanlah. Jika tidak maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar”
[HR Tirmidzi 1084, Ibnu Majah 1967]
Maka kalau ada ikhwan sepemahaman, sama-sama mengenal sunnah, sama-sama semanhaj ya Alhamdulillah itu rezeki dari Alloh. Tapi kalau tidak, maka ada beberapa batasan yang harus diperhatikan, minimal lelaki itu harus;
1. Baik akhlaknya, sopan dan santun.
Akhlak itu buah dari agama yang baik. Semakin baik agama seseorang, semakin santun dan lemah lembutlah dia, tidak suka teriak, tidak suka mengumpat, apalagi keluar kata-kata binatang. Sehingga rumah tangga pun nyaman dan jauh dari KDRT, Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan menyertai sesuatu maka dia akan menghiasinya, dan tidaklah kelembutan itu dicabut dari sesuatu, melainkan akan semakin memperburuknya”
[HR Muslim 2594, Abu Daud 2478]
2. Tanggung jawab, nafkah lahir dan batin.
Ini merupakan pengamalan dari perintah Allah untuk semua suami
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
”Pergaulilah istri-istrimu dengan cara yang baik”
(QS An-Nisa’ 19)
Sebagian suami terkadang lebih memprioritaskan kebutuhan pribadinya dan tidak perhatian dengan keluarganya. Mayoritas penghasilannya untuk hobby, sementara kebutuhan keluarga ditanggung oleh istrinya. Mayoritas waktunya untuk teman-temannya, sementara family time menjadi momen langka yang sering disepelekan.
Jangan Menerima Calon Suami yang….
Dan jangan sampai anda menerima lelaki yang;
1. Tidak menjaga sholat.
Sebab sholat merupakan tolok ukur agama seseorang, jika ia mudah meninggalkan sholat, maka pasti akan mudah meninggalkan aturan agama yang lain. Terlebih sholat menjadi pembeda kesyirikan dan kekufuran, Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ
“Sesungguhnya pembatas antara seseorang dengan kesyirikan atau kekufuran adalah meninggalkan sholat”
(HR Muslim 82, Ahmad 15183]
2. Memiliki penghasilan yang Haram.
Hidup layak dan mapan dengan segala fasilitas memang keinginan semua orang, namun sejatinya itu hanya standar dunia yang semu. Yang hakiki adalah standar akhirat, yakni segala sesuatu yang halal dan diridhoi Alloh ‘Azza wa Jalla. Jika kaya dari sesuatu yang Halal Alhamdulillah, tapi jika dari sesuatu yang haram Na’udzubillah.
Maka menikah dengan lelaki berpenghasilan haram berarti siap untuk makan harta haram hasil kerja suami, berarti ridho untuk bahagia dengan yang haram, padahal Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda
لَا يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلَّا كَانَتْ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang harom kecuali Neraka lebih berhak atasnya”
[HR Tirmidzi 558]
Setidaknya ini yang bisa dijadikan standar minimal untuk memilih Imam dalam kehidupan rumah tangga, jika lolos standar ini maka munajatlah pada Alloh lewat istikhoroh. Jika tidak lolos standar maka coba datang ke majelis ilmu, minta tolong kepada Ustadzah atau Ustadz untuk mewasilahkan jodoh, semoga Alloh berikan yang terbaik bagi kita semua.
Semoga Alloh menganugerahkan kehati-hatian bagi kita semua.
Wallahu A’lam,
Wabillahittaufiq.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله
Rabu, 03 Dzulqa’dah 1441 H/ 24 Juni 2020 M
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله
Beliau adalah Alumni STDI IMAM SYAFI’I Kulliyyatul Hadits, dan Dewan konsultasi Bimbingan Islam,
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله klik disini