Laki-Laki Menikah Tanpa Restu Orang Tua, Bagaimana Hukumnya?

Laki-Laki Menikah Tanpa Restu Orang Tua, Bagaimana Hukumnya?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang baik hati berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang suami laki-laki menikah tanpa restu orang tua, bagaimana hukumnya?
Silahkan membaca.
Pertanyaan :
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.
Ustadz, saya ada rencana nikah tahun ini, tapi orang tua calon tidak setuju karena financial calon suami yang masih belum cukup di mata orang tuanya. Apa boleh calon suami menikahi saya diam-diam, tanpa memberitahu orang tuanya?
Orang tua saya (pihak wanita) mengetahui, tapi orang tua pihak pria tidak mengetahui, setelah nikah (akad), kita tetep tinggal masing-masing, setidaknya saya udah halal sama pasanganku.
(Fulannah, SAHABAT BiAS T 09, G24)
Jawaban :
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du
Ayyuhal Ikhwan wal Akhwat baarakallah fiikum Ajma’in.
Kalau dalam hukum syar’i maka sekedar boleh, hukumnya boleh.
Karena keberadaan wali pria atau orang tua dari mempelai pria itu bukan rukun dan syarat dari sebuah pernikahan. Tapi kami tidak menganjurkannya, dan merekomendasikan, karena banyak pertimbangan yang harus dilihat terlebih dahulu.
Menikah itu bukan masalah sepele dan main-main, bukan hanya sekedar melepaskan syahwat semata, bukan hanya mempersatukan calon suami dan istri, tapi mempersatukan juga keluarga besar masing-masing pasangan, maka berlaku hukum mahram karena pernikahan, warisan, berbakti kepada orang tua, tanggung jawab nafkah suami terhadap istri dan masalah lainnya.
Jangan sampai calon suami ternyata belum mandiri dan selama ini masih dibiayai oleh orang tua kesehariannya, maka paling tidak beban akan bertambah juga buat orang tua calon mempelai pria.
Dari sahabat mulia Abdullah bin ’Amru radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua”
(Hadits Hasan. HR. at-Tirmidzi, no. 1899, dan lainnya).
Berdasarkan hadits ini, maka menikah itu butuh kepada keridhoan orang tua masing-masing calon pasangan.
Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa ridha Allah Ta’ala bergantung pada ridha orang tua. Sama halnya dengan mencari ridha Allah yang merupakan suatu kewajiban, demikian pula dengan mencari ridha orang tua.
Konsekuensi terbaliknya, hukumnya haram melakukan segala sesuatu yang memancing kemarahan kedua orang tua. Sama halnya dengan mengundang kemarahan Allah Ta’ala yang merupakan suatu keharaman, demikian pula dengan melakukan sesuatu yang dapat memancing kemarahan mereka.
Dasar pertimbangan ini juga tidak main-main. Sebagian ulama berpendapat keridhaan orang tua wajib diprioritaskan ketimbang melakukan amalan wajib yang hukumnya fardhu kifayah seperti jihad. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Amru radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الجِهَادِ، فَقَالَ: «أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
“Seorang pria mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta izin beliau agar diberangkatkan berjihad. Maka beliau bertanya, ”Apakah kedua orang tua Anda masih hidup?”
Pria tersebut menjawab, ”Iya”.
Maka Nabi pun berkata, ”Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya.”
(Shahih. HR. Bukhari, no. 3004 dan Muslim, no. 5).
Nasehat kami adalah Bersabar tidak menikah dahulu sembari berdoa Kepada Allah Yang Maha Pemurah, semoga Allah Ta’ala memberikan kecukupannya dan Taufiq kepada orang tua.
Dikecualikan dalam kasus ini, jika calon suami sudah ‘tidak tahan’, kalau tidak jadi menikah akan jatuh kepada dosa besar, maka ini ada hukum tersendiri, yang semoga dapat kami bahas di lain kesempatan.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Jum’at, 13 Jumadal Akhirah 1441 H/ 07 Februari 2019 M
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Beliau adalah Alumni STDI Imam Syafi’i Jember (ilmu hadits), Dewan konsultasi Bimbingan Islam
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Fadly Gugul حفظه الله تعالى klik disini