IbadahKonsultasi

Amalan Bagi Wanita Nifas dan Menyusui

Pendaftaran Mahad Bimbingan Islam

Amalan Bagi Wanita Nifas dan Menyusui

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang amalan bagi wanita nifas dan menyusui.
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam kebaikan dan lindungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ustadz, selain membaca dzikir pagi petang, amalan apalagi yang bisa dilakukan oleh wanita yang sedang nifas dan menyusui?
Syukron

(Disampaikan oleh Fulanah, penanya dari media sosial bimbingan islam)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Amalan bagi wanita yang menyusui

Amalan bagi wanita yang menyusui sama dengan wanita lainnya, tidak ada larangan-larangan khusus baginya. Oleh karena itu, dia bisa melakukan amalan apapun yang bisa diamalkan oleh wanita yang lain.

Amalan bagi wanita yang sedang nifas

Adapun wanita yang sedang nifas, maka hukumnya seperti wanita yang haidh. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah menyebut haidh dengan nifas.

عَنْ عَائِشَةَ تَقُولُ: خَرَجْنَا لاَ نَرَى إِلَّا الحَجَّ، فَلَمَّا كُنَّا بِسَرِفَ حِضْتُ، فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي، قَالَ: «مَا لَكِ أَنُفِسْتِ؟». قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: «إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ، فَاقْضِي مَا يَقْضِي الحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ»

Dari ‘Aisyah, dia berkata, “Kami keluar dan tidak ada tujuan selain untuk ibadah haji. Ketika tiba di Sarif aku mengalami haid, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk menemuiku sementara aku sedang menangis.”
Beliau bertanya: “Apa yang terjadi denganmu? Apakah kamu mengalami nifas (haid)?”
Aku jawab, “Ya.”
Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya ini adalah perkara yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita dari anak cucu Adam. Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang-orang yang haji, kecuali thawaf di Ka’bah.”
(HR. Bukhori, no. 294)

Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rohimahulloh (wafat th 456 H) berkata:

وَدَمُ النِّفَاسِ يَمْنَعُ مَا يَمْنَعُ مِنْهُ دَمُ الْحَيْضِ. هَذَا لَا خِلَافَ فِيهِ مِنْ أَحَدٍ

“Darah nifas menghalangi apa yang darah haidh menghalangi darinya, ini tidak ada perbedaan pendapat dari seorangpun”.
(Al-Muhalla bil Atsar, 1/400)

Maka kita perlu mengetahui amalan-amalan yang dilarang bagi wanita yang sedang haidh dan wanita yang sedang nifas, kemudian selain itu berarti dibolehkan.

Larangan-Larangan Yang Berkaitan Wanita Haidh dan Nifas

Adapun perkara-perkara yang dilarang berkaitan dengan wanita yang sedang hadih dan nifas adalah sebagai berikut:

1-Sholat.

Sholat disyaratkan dalam keadaan suci dan bersuci, sedangkan wanita hadih dan nifas tidak dalam keadaan suci. Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

“Tidak akan diterima shalat dengan tanpa bersuci dan tidak akan diterima shadaqah dari (hasil) ghulul (khianat).”
(HR. Muslim, no. 224)

Nabi sholallohu ‘alaihi was salam bersabda:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا

“Bukankah jika seorang wanita sedang hadih, dia tidak melakukan sholat dan tidak berpuasa?”
Para wanita menjawab, “Ya”.
Beliau bersabda, “Itu di antara kekurangan agama wanita”.
(HR. Bukhori, no. 304)

2-Thowaf.

Thowaf di ka’bah disyaratkan dalam keadaan suci dari hadits besar dengan kesepakatan ulama, maka wanita hadih dan nifas tidak boleh melakukan thawaf. Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal ini ketika Asma’ binti ‘Umais ketika melahirkan anaknya, Abdurrahman bin Abi Bakar- :

عَنْ أَبِي بَكْرٍ، أَنَّهُ خَرَجَ حَاجًّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ، وَمَعَهُ امْرَأَتُهُ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ الْخَثْعَمِيَّةُ، فَلَمَّا كَانُوا بِذِي الْحُلَيْفَةِ، وَلَدَتْ أَسْمَاءُ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ، فَأَتَى أَبُو بَكْرٍ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ، “فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْمُرَهَا، أَنْ تَغْتَسِلَ ثُمَّ تُهِلَّ بِالْحَجِّ، وَتَصْنَعَ مَا يَصْنَعُ النَّاسُ، إِلَّا أَنَّهَا لَا تَطُوفُ بِالْبَيْتِ”

Dari Abu Bakar, bahwa ia pergi untuk melakukan haji wada’ bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau bersama isterinya, yaitu Asma` bintu ‘Umais Al Khats’amiyyah. Kemudian setelah mereka telah sampai di Dzul Hulaifah, Asma` melahirkan Muhammad bin Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengabarkan kepadanya, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar agar memerintahkan kepada Asma` supaya mandi kemudian mengucapkan do’a talbiyah untuk melakukan haji, serta melakukan apa yang dilakukan orang-orang (yang berhaji), hanya saja ia tidak melakukan thawaf di baitullah.
(HR. Nasai, no. 2664; Ibnu Majah, no. 2912. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani)

3-Berpuasa.

Wanita yang sedang hadih dan nifas tidak boleh berpuasa. Nabi sholallohu ‘alaihi was salam bersabda:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا

“Bukankah jika seorang wanita sedang hadih, dia tidak melakukan sholat dan tidak berpuasa?”
Para wanita menjawab, “Ya”.
Beliau bersabda, “Itu di antara kekurangan agama wanita”.
(HR. Bukhori, no. 304)

Jika keduanya telah bersih, mereka berkewajiban qodho’ puasa Romadhon.

عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

Dari Mu’adzah, dia berkata, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah, ‘Kenapa wanita haidh mengqodho’ puasa, tetapi tidak mengqodho’ sholat?”
‘Aisyah berkata, “Apakah engkau Haruriyyah (Khowarij)?”
Aku menjawab, “Aku bukan Haruriyyah, tetapi aku bertanya”.
‘Aisyah berkata, “Kami dahulu mengalaminya, lalu kami diperintahkan mengqodho’ puasa, tetapi kami tidak diperintahkan mengqodho’ sholat”.
(HR. Muslim, no. 335)

4-Berhubungan badan dengan suami.

Allah Ta’ala berfirman:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci”.
(QS. Al-Baqoroh/2: 222)

Maksud “menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh”, yaitu tidak berhubungan badan, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits berikut ini:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا، وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى {وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ} [البقرة: 222] إِلَى آخِرِ الْآيَةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ

Dari Anas, bahwa kebiasaan kaum Yahudi dahulu apabila seorang wanita di kalangan mereka mengalami haidh, mereka tidak makan bersamanya dan tidak berkumpul dengannya di dalam rumah. Maka para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Lalu Allah Ta’ala menurunkan (ayat Al-Qur’an), “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh itu adalah suatu kotoran’. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka di masa haidh”, sampai akhir ayat (QS. Al-Baqarah/2: 222).
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Perbuatlah segala sesuatu kecuali nikah (hubungan badan)”.
(HR. Muslim, no. 302; Tirmidzi, no. 2977; Nasai, no. 288; Abu Dawud, no. 258; Ahmad, no. 12354)

5-Menyentuh mush-haf Al-Qur’an

Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menyentuh mushhaf Al-Qur’an bagi orang yang berhadats. Mayoritas ulama melarang berdasarkan hadits:

لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ

“Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”.
(HR. Daruquthniy, dll. Dinyatakan kuat oleh Syaikh Al-Albani karena banyak jalur riwayatnya dan saling menguatkan. Lihat: Irwaul Gholil, no. 122)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baz rohimahulloh (wafat th 1420 H) berkata:

Baca Juga:  Hukum Asuransi dan Membayarkan Asuransi Orang Tua

لا يجوز للمسلم مس المصحف وهو على غير وضوء عند جمهور أهل العلم وهو الذي عليه الأئمة الأربعة رضي الله عنهم وهو الذي كان يفتي به أصحاب النبي عليه الصلاة والسلام

“Seorang muslim tidak boleh menyentuh mushhaf dengan tanpa wudhu’ menurut jumhur (mayoritas) ulama. Ini juga pendapat imam empat, semoga Alloh meridhoi mereka. Dan ini juga yang difatwakan oleh sahabat-sahabat Nabi ‘alaihi shalatu wasallam”.
(Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 4/383)

Oleh karena itu, yang lebih selamat adalah tidak memegang mushhaf Al-Qur’an kecuali dalam keadaan suci. Jika dibutuhkan untuk menyentuh mushhaf Al-Qur’an, maka bisa menggunakan pelapis kain atau lainnya.

6-Masuk dan duduk di dalam masjid

Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan wanita haidh masuk masjid dan duduk di dalamnya.

Sebagian ulama melarangnya dengan dalil berikut ini:

Hadits Aisyah

عَنْ جَسْرَةَ بِنْتِ دَجَاجَةَ قَالَتْ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ: جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوُجُوهُ بُيُوتِ أَصْحَابِهِ شَارِعَةٌ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَالَ: “وَجِّهُوا هَذِهِ الْبُيُوتَ عَنِ الْمَسْجِدِ”. ثُمَّ دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَمْ يَصْنَعِ الْقَوْمُ شَيْئًا رَجَاءَ أَنْ تَنْزِلَ فِيهِمْ رُخْصَةٌ، فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ بَعْدُ فَقَالَ: “وَجِّهُوا هَذِهِ الْبُيُوتَ عَنِ الْمَسْجِدِ، فَإِنِّي لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ”

Dari Jasroh binti Dajajah, dia berkata; Saya mendengar Aisyah radliallahu ‘anha berkata; Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam datang, sementara pintu-pintu rumah sahabat beliau terbuka dan berhubungan dengan masjid. Maka beliau bersabda: “Pindahkanlah pintu-pintu rumah kalian untuk tidak menghadap ke masjid!”
Lalu Nabi Shallallahu alaihi wasallam masuk ke masjid, dan para sahabat belum melakukan apa-apa dengan harapan ada wahyu turun yang memberi keringanan kepada mereka. Maka beliau keluar menemui mereka seraya bersabda: “Pindahkanlah pintu-pintu rumah kalian untuk tidak menghadap dan berhubungan dengan masjid, karena saya tidak menghalalkan masuk Masjid untuk orang yang sedang haidh dan juga orang yang sedang junub”.
(HR. Abu Dawud, no. 232; Ibnu Khuzaimah, no. 1327. Didhoi’fkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Irwaul Gholil, no. 193)

Hadits Ummu Salamah

عَنْ جَسْرَةَ، قَالَتْ: أَخْبَرَتْنِي أُمُّ سَلَمَةَ، قَالَتْ: دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَرْحَةَ هَذَا الْمَسْجِدِ، فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ “إِنَّ الْمَسْجِدَ لَا يَحِلُّ لِجُنُبٍ، وَلَا لِحَائِضٍ”

Dari Jasroh, dia berkata; Ummu Salamah radliallahu ‘anha memberitahukan kepadaku, dia berkata; Rasulullah pernah memasuki halaman masjid ini kemudian berseru dengan suaranya yang sangat keras: “Sesungguhnya masjid tidak halal bagi orang junub dan haidl.”
(HR. Ibnu Majah, no. 645. Didhoi’fkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Irwaul Gholil, no. 193)

Tetapi kedua hadits di atas lemah, sebab Jasroh binti Dajajah adalah perowi yang lemah. Imam Al-Bukhori menyatakan, “Dia memiliki hal-hal yang aneh”. Hadits ini dinyatakan lemah oleh Al-Baihaqi, Ibnu Hazm, Abdul Haq Al-Isybiliy, dan Al-Albani.

Syaikh Al-Albani rohimahulloh (wafat th 1420 H) berkata: “Kita kembali kepada pembicaraan tentang Jasroh, dia dinyatakan lemah oleh Al-Bukhori sebagaimana telah lalu. Al-Baihaqi juga mengisyaratkan lemahnya, sebagaimana anda lihat. An-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu’ 2/160, menukilkan dari Al-Baihaqi yang berkata, “Dia tidak kuat”, dari Abdul Haq, bahwa dia berkata: “Tidak tsabit (shohih)”, dan dari Al-Khoththobi bahwa sekelompok ulama melemahkannya”.
(Irwaul Gholil, 1/211)

Syaikh Al-Albani rohimahulloh juga berkata: “Hadits ini memiliki beberapa pendukung tetapi sanad-sanadnya lemah tidak bisa menjadi hujjah (argumen) dan hadits ini tidak bisa menjadi kuat dengannya, sebagaimana aku telah menjelaskan di dalam kitab Dho’if Sunan Abi Dawud, no. 32. Dan di dalamnya aku telah membantah (ulama) yang menyatakan shohihnya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnul Qoththon, dan Asy-Syaukaniy”.
(Irwaul Gholil, 1/211-212)

Sebagian ulama membolehkannya.

Syaikh Prof. DR. Husamuddin Afanah hafizhohulloh berkata: “Wanita haidh boleh masuk masjid jika aman dari mengotori masjid, menurut pendapat yang lebih kuat dari pendapat-pendapat Ulama. Ini adalah pendapat imam Ahmad di dalam satu riwayat darinya, juga pendapat Al-Muzani murid imam Syafi’iy, dan pendapat Dawud Azh-Zhohiri dan Ibnu Hazm Azh-Zhohiri. Pendapat ini juga dipilih oleh ‘allamah Al-Albani seperti di dalam kitab Tamamul Minnah, hlm. 119.

Termasuk dalil yang membolehkan adalah al-baroatul ashliyah (hukum asal sesuatu adalah tidak ada larangan), karena hukum asal tidak ada larangan haram, dan tidak tegak dalil yang shohih (kuat) dan shorih (jelas) terhadap pengharaman wanita haidh masuk masjid. Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saya tidak menghalalkan masuk masjid untuk orang yang sedang junub dan juga orang yang sedang haidh”, maka hadits yang lemah, tidak shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara ulama yang menyatakan lemah adalah Al-Khoththobi, Al-Baihaqi, Abdul Haq Al-Isybiliy, An-Nawawi, dan Al-Albani. Bahkan Ibnu Hazm bersikap berlebihan dengan menyatakan, “Haditsnya batil (palsu)”. Lihat kitab Al-Muhalla, 1/401; Khulashotul Ahkam, 1/206-210, dan Irwaul Gholil, 1/162.

Dan di antara yang menunjukkan kebolehannya adalah bahwa ulama membolehkan orang kafir masuk masjid, baik laki-laki atau wanita, maka seorang muslim lebih utama (kebolehannya) walaupun dia dalam keadaan junub, demikian seorang muslimah walaupun dia dalam keadaan haidh. Dan dalil-dalil lainnya”.
(Fatawa DR Husamuddin ‘Afanah, 5/3, dengan penomoran Maktabah Syamilah)

7-Membaca Al-Qur’an

Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan wanita haidh membaca Al-Qur’an.
Sebagian ulama melarangnya berdasarkan hadits:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ الْجُنُب وَلَا الْحَائِضُ

Dari Ibnu Umar, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca Al Qur`an.”
(HR. Ibnu Majah, no. 595, 596; Tirmidzi, no. 131. Syaikh Al-Albani menyatakan, “Munkar”)

Namun hadits ini sangat lemah sehingga tidak bisa dijadikan dalil melarang wanita haidh dan nifas untuk membaca Al-Qur’an.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baz rohimahulloh (wafat th 1420 H) berkata: “Tidak mengapa wanita haidh dan nifas membaca doa-doa yang ditulis di dalam manasik haji. Dan tidak mengapa dia membaca Al-Qur’an, menurut pendapat yang benar. Sebab tidak ada nash shorih (jelas) yang melarang wanita haidh dan nifas untuk membaca Al-Qur’an. Namun ada nash khusus tentang orang yang junub, bahwa orang yang junub tidak boleh membaca Al-Qur’an. Adapun wanita haidh dan nifas maka hadits Ibnu Umar, “Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca Al Qur`an sedikitpun.” Tetapi hadits ini lemah. Namun hendaklah wanita haidh dan nifas itu membaca tanpa menyentuh mushhaf, yaitu dengan hafalan. Maka lebih boleh bagi wanita haidh dan nifas membaca buku yang di dalamnya terdapat doa-doa yang campur dari hadits-hadits, ayat-ayat, dan lainnya. Inilah yang benar, dan ini yang lebih benar dari dua pendapat Ulama –semoga Alloh merahmati mereka- dalam masalah ini”.
(Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 17/66)

Dengan penjelasan di atas, maka bagi wanita yang sedang haidh atau nifas, bisa
membaca dzikir pagi petang, membaca Al-Qur’an dengan hafalan, atau dengan mushhaf tetapi ketika memeganginya dengan pelapis, berdoa, dan lain-lain dari amalan yang tidak ada larangannya sebagaimana telah dijelaskan di atas. Wallohu a’lam.

Semoga kita selalu bersemangat di dalam kebaikan di dalam keadaan apapun juga. Semoga bermanfaat. Al-hamdulillahi Robbil ‘alamin.

Wallahu a’lam.

Disusun oleh:
Ustadz Muslim Al-Atsari حفظه الله
Sabtu, 01 Shafar 1442 H/ 19 September 2020 M



Ustadz Muslim Al-Atsari حفظه الله
Beliau adalah Pengajar di Pondok Pesantren Ibnu Abbas As Salafi, Sragen
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Muslim Al-Atsari حفظه الله 
klik disini

Ustadz Muslim Al-Atsary

Beliau adalah Pengajar di Pondok Pesantren Ibnu Abbas As Salafi, Sragen

Related Articles

Back to top button