Menyikapi Harta Syubhat Pada Penghasilan

Menyikapi Harta Syubhat Pada Penghasilan
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Menyikapi Harta Syubhat Pada Penghasilan, selamat membaca.
Pertanyaan:
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Ustadz izin bertanya, apa yg perlu kita lakukan terhadap harta syubhat, karena saya bekerja di sebuah hotel yang di sana menyediakan sesuatu yang diharamkan dan dibolehkan, apakah penghasilan saya termasuk harta syubhat? Dan bagaimana menyikapi harta tersebut.
جزاك اللهُ خيراً
Jawaban:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in
Sebagai muslim kita diperintahkan untuk mengonsumsi dan menggunakan harta yang halal. Itulah yang Allah Ta’ala akan terima. Sahabat Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (halal).” (HR. Muslim no. 1015)
Adapun berkenaan dengan benda atau barang yang dibeli dari harta syubhat (tidak jelas keharaman dan kehalalannya), maka Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan bahwa semua hal itu kembali kepada 3 hal ;
- Apabila yang bercampur kebanyakannya itu haram.
Untuk harta yang bercampur antara halal dan haram jika yang haram lebih banyak, Imam Ahmad berpendapat bahwa sudah sepantasnya harta tersebut dijauhi kecuali sesuatu yang sedikit atau sesuatu yang sulit dikenali.
Namun para ulama Hambali berselisih pendapat, apakah menggunakannya dihukumi haram ataukah makruh. Ada dua pendapat dalam masalah ini.
2. Bila harta yang bercampur kebanyakannya itu adalah halal.
Untuk harta yang kebanyakannya itu halal, maka boleh digunakan dan boleh makan dari harta semacam itu. Ada riwayat dari Al Harits dari ‘Ali yang mendukung hal ini. Alasan masih dibolehkannya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu dan para sahabat biasa bermuamalah dengan orang musyrik dan ahli kitab. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tahu kalau mereka tidak menjauhi yang haram seluruhnya.
3. Bila samar dan belum bisa menentukan banyak dan sedikitnya bagian antara harta halal dan haram.
Jika sama bagian yang halal dan haram, maka itu jadi syubhat. Untuk wara’ atau kehati-hatian lebih baik ditinggalkan. Sufyan berkata, “Aku tidak kagum dengan harta semacam itu. Yang kukagumi adalah meninggalkan harta semacam itu.”
Imam Ahmad punya pendapat untuk harta semacam ini, beliau mengatakan, “Jika harta yang haram itu banyak, harta tersebut dikeluarkan sesuai kadarnya dan sisanya boleh dimanfaatkan. Adapun jika harta tersebut sedikit, maka dijauhi seluruhnya. Karena kalau yang sedikit ini dihindari akan selamat dari yang haram, beda jika harta tersebut banyak.”
Sebagian ulama Hambali menganggap sikap Imam Ahmad di atas adalah dalam rangka untuk wara’ atau bersikap hati-hati terhadap yang haram. Tetap saja masih boleh memanfaatkan sisa harta yang halal baik harta tersebut jumlahnya banyak atau sedikit setelah bagian yang haram itu dikeluarkan.
Namun jika suatu harta jelas diketahui sisi haramnya, yang haram tersebut jelas tidak boleh dimanfaatkan. (Disadur dari kitab Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 200 – 201 dengan beberapa penyesuaian).
Perhatian!
Dan penting untuk dicatat bahwa secara hukum asal harta yang syubhat itu tidak dibelanjakan dan digunakan, sampai jelas mana yang haram dari halalnya. Kalau tidak jelas, maka harta tersebut didiamkan atau bila khawatir akan rusak, maka lebih baik sedekahkan kepada fakir miskin, hal ini lebih selamat untuk dunia dan akhiratnya.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul, S.Ag حافظه الله