Tausiyah

Kaidah-Kaidah Fiqih dalam Kehidupan Berumah Tangga (5)

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Kaidah-Kaidah Fiqih dalam Kehidupan Berumah Tangga (5)
Kaidah Kelima
“Sesuatu yang telah yakin adanya tidak hilang karena datangnya keraguan”

Pengertian Kaidah

Yakin yang dimaksud dalam kaidah adalah sesuatu yang tidak diragukan sama sekali atau yang bersifat dugaan kuat yaitu persentase ragu tidak lebih besar daripada yakin.

Secara global, kaidah ini bermakna segala sesuatu yang telah ditetapkan dengan bukti kuat atau dengan dugaan kuat tidak akan hilang ketetapannya dikarenakan adanya keraguan, akan tetapi sesuatu yang telah ditetapkan tadi tetap sebagaimana awalnya. Dengan bahasa lain, keraguan yang ada tidak teranggap.

Dalil Kaidah

Pertama

Firman Allah Ta’ala,

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan (yang berdasarkan keraguan) saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Yunus 10: 36)

Cara berdalil dengan Ayat

Imam Ibnu Jarir Rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya keraguan tidak bisa menggantikan yakin sedikitpun, tidak bisa menduduki kedudukannya sedikitpun, dan tidak bisa memberikan manfaat sedikitpun saat yang dibutuhkan adalah yakin.”

Kedua

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Shahabat yang bernama Abdullah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu , ia mengisahkan, ada seorang laki-laki yang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal perasaan yang ia merasa seolah dia buang angin ketika shalat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا، أَوْ يَجِدَ رِيحًا

“Janganlah ia keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai ia mendengar suara atau mencium bau” (Muttafaqun ‘alaih)

Cara berdalil dengan hadits

Imam Nawawi Rahimahullah mengatakan: “Hadits ini adalah salah satu hadits tentang pokok diantara pokok-pokok ajaran Islam dan salah satu kaidah agung diantara kaidah-kaidah fikih, yaitu setiap sesuatu dihukumi sesuai keadaan awalnya sampai diyakini telah ada perubahan, keraguan tidak bisa merubah sedikitpun keadaannya. Walaupun hadits ini berbicara tentang hukum shalat, akan tetapi berlaku pada setiap keraguan pada berbagai keadaan.”

Ketiga

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Shahabat yang bernama Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

 إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا ؟ فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ، وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ، ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ، وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

“Jika salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, ia ragu berapa rakaat ia telah melakukan shalat, tiga rakaat atau empat rakaat, hendaklah ia membuang keraguan dan  ia melanjutkan shalat berdasarkan yang ia yakini, kemudian ia sujud dua kali sebelum salam, jika ternyata ia shalat lima rakaat, maka dua sujud tadi menggenapkan bilangan rakaat, jika ternyata ia shalat empat rakaat, maka dua sujud tadi menjadi penghinaan bagi setan” (HR. Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya)

Cara berdalil dengan hadits

Imam Ibnu Abdil Barr Rahimahullah mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat pokok yang sangat agung berlaku pada banyak hukum fiqih, yaitu kaidah ‘sesuatu yang telah yakin adanya tidak hilang karena keraguan’. Hukum terhadap sesuatu dibangun atas landasan yang sudah diketahui sebelumnya sampai hukum tersebut digeser oleh keadaan yang benar-benar diyakini adanya yang tidak ada keraguan padanya.”

Dalil lainnya adalah Ijma’ para Ulama terhadap kaidah ini.

الْيَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ

“Yakin tidak hilang dengan adanya ragu-ragu”

Penerapan Kaidah dalam Kehidupan Berumah Tangga

Pertama

Misalkan seorang Ibu yang sedang shalat ragu terhadap kondisi kesuciannya dari hadats kecil, maka keraguan tersebut tidak boleh menjadi landasan baginya untuk membatalkan shalat hingga ia benar-benar yakin bahwa dirinya telah berhadats.

Kedua

Jika ada seorang laki-laki yang sering nikah-cerai ragu terhadap salah seorang perempuan. Apakah perempuan tersebut telah ia nikahi atau belum, maka haram bagi laki-laki tersebut berhubungan badan dengan perempuan itu. Karena sifat “yakin” ada pada  si perempuan belum dinikahi olehnya dan pernikahannya dengan perempuan statusnya masih level “ragu”.

Ketiga

Jika ada seorang suami ragu, apakah ia telah mentalak istrinya atau belum, maka ragunya tidak dianggap. Karena pernikahan memiliki status level “yakin” sedangkan talak masih berstatus “ragu”.

Keempat

Jika seorang wanita menyusui anak orang lain kemudian ia ragu apakah ASI masuk ke dalam kerongkongan si bayi atau tidak, maka dihukumi bahwa ASI tersebut tidak masuk ke kerongkongan si bayi. Karena pada asalnya tidak ada ASI yang masuk hingga benar-benar diyakini masuknya ASI tersebut.

Wallahu Ta’alaa A’lam

Ditulis Oleh:
Ustadz Fuad Sunardi

Related Articles

Back to top button