KonsultasiMuamalah

Hukum Dropship

Pendaftaran Mahad Bimbingan Islam

Hukum Dropship

Pertanyaan :

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Afwan, mau tanya. Kalau kita jualan barang yang sudah kita beli tapi barang tersebut posisinya tetap di produsen. Setelah ada yang beli, saya menyuruh produsen mengirim barang saya tersebut pada pembeli atas nama saya. Bagaimana hukumnya?

Jazakumullah katsiran

(Dari Elis di Kediri Anggota Grup WA Bimbingan Islam T04-71)

Jawaban :

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، وبعد…

Barang yang dijual, tidak lepas dari 2 jenis: makanan atau bukan makanan.

Jika ia termasuk makanan (atau minuman), maka harus diterima dulu oleh si pembeli (dalam hal ini adalah Anda), baru boleh Anda jual kembali. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas, bahwa Nabi bersabda:

(من ابتاع طعاماً، فلا يبعه حتى يقبضه)

Barangsiapa telah membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya hingga menerimanya terlebih dahulu” (Muttafaq ‘alaih).

Namun jika bukan berupa makanan (dan minuman), maka hukum menjualnya kembali sebelum diterima masih diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama ada yang melarang jualan sesuatu (apa pun bentuknya) sebelum barangnya diterima atau berada dalam kekuasaannya. Dalil mereka adalah hadits Ibnu Abbas di atas, yg kemudian diikuti oleh komentar Ibnu Abbas selaku perawi hadits:

( وأحسب كل شيء مثله)

Menurutku, semua barang adalah seperti makanan”. Artinya, berlaku aturan yang sama pada barang tersebut ketika hendak dijual kembali.

Sementara ulama yang lain berpendapat bahwa larangan menjual kembali barang yang telah dibeli namun belum diterima tersebut, KHUSUS berlaku pada makanan. Dalil mereka ialah karena nas-nya hanya menyebutkan makanan. Ini adalah pendapat Imam Malik yang diamini oleh banyak ulama, sebagaimana yang disebutkan oleh imam An Nawawi.

Jadi, masalah ini tergolong masalah khilafiyah jika barangnya BUKAN MAKANAN.

Manakah Pendapat Yang Rajih?

Yang lebih rajih adalah HARUSNYA menerima barang yang telah dibeli -apa pun itu- sebelum dijual kembali. Dalilnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim, dari Zaid bin Tsabit radhiyallaahu ‘anhu:

أنه نهى أن تبتاع السلع حيث تبتاع، حتى يحوزها التجار إلى رحالهم.

Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual barang di tempat ia dibeli, sampai barang tersebut dipindahkan oleh si pedagang ke dalam muatannya (angkutannya).

Akan tetapi, pemindahtanganan ini (alias serah terima tersebut) dapat terjadi secara kasat mata, atau secara hukum saja. Serah terima secara hukum pun dianggap cukup, karena barang tersebut telah sah dimiliki dan dikuasai oleh si pembeli, walaupun belum diterima secara langsung.

Baca Juga:  Tidak Boleh Menjual Barang yang Belum Dimiliki

Dalam kitab Bada’ius Shana’i karya Al Kasani (Hanafi) disebutkan, “Tidak dipersyaratkan harus menggenggam (barang yg dibelinya) dengan jari jemari, karena makna qabdh (menggenggam) adalah adanya keleluasaan dan kekuasaan (untuk memiliki barang tersebut); serta tersingkirnya semua penghalang dalam memanfaatkannya. Dan hal ini dapat terjadi secara tradisi jual beli, maupun secara hakiki”.

Di antara dalil pendapat ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma, katanya: “Kami pernah safar bersama Nabi, dan ketika itu aku mengendarai seekor unta bandel milik Umar. Unta tersebut selalu berjalan di bagian paling depan hingga Umar menghardiknya supaya ia mundur. Kemudian ia maju lagi ke depan hingga dihardik lagi supaya mundur. Akhirnya Nabi berkata kepada Umar: “Jual lah saja kepadaku unta tersebut”. Jawab Umar: “Unta itu kuberikan (kuhadiahkan) bagimu wahai Rasulullah”. Tidak, tapi jual lah kepadaku”, sahut Rasulullah.

Akhirnya Umar pun menjualnya kepada Rasulullah. Maka Rasulullah langsung berkata kepadaku: “Unta itu untuk mu wahai Abdullah bin Umar. Berbuatlah dengannya sesukamu”.

Nah, dalam hadits ini, unta tersebut beralih kepemilikannya dari Umar kepada Rasulullah hanya dengan akad (ijab qobul), dan belum dipegang (diterima) oleh Rasulullah, dan tidak pula dipindahtangankan secara kasat mata.

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Hadits ini dijadikan hujjah (dalil) oleh ulama Malikiyah dan Hanafiyyah bahwa tolok ukur ‘menerima’ atau ‘menggenggam’ semua barang adalah dengan adanya keleluasaan untuk memiliki barang tersebut”.

Disebutkan dalam kitab Al Ma’aayiir Asy Syar’iyyah 3/2/4, “Penerimaan barang secara hukum dapat terjadi bila sebuah perusahaan atau agennya telah menerima resi pengiriman setelah membeli barang tersebut dari pasar luar. Atau dengan menerima bukti penyimpanan yang berfungsi menentukan barang manakah dalam gudang supplier yg telah dibeli oleh perusahaan tersebut. Dan hal itu dikelola dengan cara yang sesuai dan amanah.

Hukum asalnya, setiap perusahaan harus menerima barang beliannya secara langsung dari gudang penyimpanan penjual, atau dari tempat yang ditentukan dalam kesepakatan serah-terima. Jaminan atas barang yang terjual tersebut akan beralih dari pihak penjual kepada pembeli begitu barangnya masuk dalam kekuasaan pembeli. Dalam hal ini, perusahaan yang membeli boleh mewakilkan pihak lain untuk menerima barang tersebut”.

Kesimpulannya

Kalau barang tersebut dijual kembali sebelum melalui proses yang kami jelaskan, maka hukumnya TERLARANG walaupun bukan berupa makanan. Jadi, harus diperhatikan aturan serah terimanya terlebih dahulu.

Wallaahu a’lam.

Referensi :

http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=246208

Konsultasi Bimbingan Islam

Ustadz Dr. Sufyan bin Fuad Baswedan, MA

Related Articles

Back to top button