Aqidahhot

Hari Valentine, Hari Kasih Sayang Berbagi Cokelat, Ataukah Sebuah Ekspresi Syahwat Berbau Maksiat?

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Hari Valentine, Hari Kasih Sayang Berbagi Cokelat, Ataukah Sebuah Ekspresi Syahwat Berbau Maksiat?

Belakangan ini, banyak adat, budaya dan kebiasaan barat yang diambil dari orang-orang kafir diadopsi dan dirayakan di negeri kita. Mulai dari hari halloween, musik genre metal, punk, cara berpakaian mengumbar aurat, sampai pada perayaan yang mereka sebut dengan “hari kasih sayang” atau hari Valentine, dan masih banyak lagi.

Di saat yang sama ada sebagian orang yang sejatinya memiliki pandangan sinis terhadap Islam, dan memendam kebencian dengan agama Allah, mereka menyampaikan dan menulis dengan nyinyir bahwa Indonesia jangan mengadopsi budaya asing, seperti budaya arab dengan bahasa arabnya, pakaian hijabnya, cadarnya, atau praktik sebagian orang memelihara jenggotnya, dan beberapa simbol Islam lain yang pada hakikatnya itu adalah aturan agama, bukan hanya sebatas budaya semata.

Mereka menyerukan untuk melestarikan budaya lokal, dan menentang untuk menghapuskan kebiasaan sebagian orang yang memakai hijab syari, cadar atau pakaian muslim lelaki yang di atas mata kaki. Namun di waktu yang sama, orang-orang ini diam membisu dengan mulai mengakarnya budaya barat dalam kebiasaan masyarakat kita. Di sini kita menjadi tahu, bahwa orang-orang ini menerapkan standar ganda, harusnya kalau mau konsisten, ketika budaya asing dilarang, ya kesemuanya dilarang, bukan tebang pilih lantas bersikap tak masalah lah budaya barat masuk, tapi untuk yang dari Arab, ini yang harus diredupkan. Jadi, sejatinya yang dia benci adalah ajaran Islamnya, bukan masalah budaya ini dan itu, apa saja yang berbau Islam, perlu untuk dibuang, begitulah hakikat sebagian orang tersebut.

Sejarah Ritual Valentine

Terkait hari “valentine”, atau yang sering disebut hari “kasih sayang” di mana banyak kawula muda saling meluapkan ekspresi kasih sayang dengan bertukar hadiah coklat, mengungkapkan perasaan, bahkan banyak yang kebablasan sampai berbuat zina, secara sejarahnya sejatinya adalah sebuah hari raya yang diperingati semenjak Romawi kuno, disebutkan dalam web islamqa di bawah asuhan syaikh Muhammad Solih al-Munajjid:

عيد الحب عيد روماني جاهلي، استمر الاحتفال به حتى بعد دخول الرومان في النصرانية، وارتبط العيد بالقس المعروف باسم فالنتاين الذي حكم عليه بالإعدام في 14 فبراير عام 270 ميلادي، ولا زال هذا العيد يحتفل به الكفار، ويشيعون فيه الفاحشة والمنكر.

“Hari kasih sayang adalah hari raya Romawi kuno (jahiliah), dan perayaan ini berlangsung sampai masuknya bangsa Romawi kepada agama Kristen, hari perayaan ini memiliki keterkaitan dengan seorang pendeta bernama Valentine yang dihukum mati tanggal 14 Februari tahun 270 masehi, dan senantiasa hari ini konsisten dirayakan oleh orang-orang kafir, disebarkan dalam perayaan tersebut praktik kemungkaran dan perbuatan keji”. (Lihat: Islamqa.com)

Selain sejarah hari “Valentine” terkait dengan kisah pendeta Valentine yang dihukum mati, ternyata pertengahan Februari juga ada kaitannya dengan ritual pagan kuno yang diselenggarakan oleh bangsa Romawi, disebutkan dalam Wikipedia:

“Di Roma kuno, 15 Februari adalah hari raya Lupercalia, sebuah perayaan Lupercus, dewa kesuburan, yang dilambangkan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing. Sebagai bagian dari ritual penyucian, para pendeta Lupercus meyembahkan korban kambing kepada sang dewa dan kemudian setelah minum anggur, mereka akan lari-lari di jejalanan kota Roma sembari membawa potongan-potongan kulit domba dan menyentuh siapa pun yang mereka jumpai. Terutama wanita-wanita muda akan maju secara sukarela karena percaya bahwa dengan itu mereka akan dikarunia kesuburan dan bisa melahirkan dengan mudah”. ( Lihat: wikipedia.org )

Kalau kita lihat sekilas dari sisi sejarahnya, maka ritual perayaan tersebut tidak luput dari kemungkaran baik secara aqidah, berupa praktik kesyirikan kepada pagan, dan juga balutan amaliah keji berbau perzinahan dan perbuatan tak senonoh.

Realita Miris Masa Kini Dari Perayan Valentine.

Jika kita menengok survei-survei dari beberapa lembaga sosial terkait terjadinya hubungan tak senonoh di malam valentine, maka kita akan tercengang dengan data yang ada, ternyata banyak orang menjadikan seks sebagai perkara penting dalam perayaan valentine, bahkan lebih dari 50% mereka akan melakukan seks di malam tersebut. Dalam salah satu ulasan di sebuah surat kabar online tahun 2017 disebutkan:

“Data survei Kristen Mark yang menyebutkan bahwa 85 persen responden menganggap seks sebagai perkara penting pada perayaan di Hari Valentine.

“Begitu pula Sigi National Retail Federation, yang menyebutkan 51 persen orang akan melakukan ‘itu’ atau seks, pada momen yang diidentikkan sejumlah kalangan sebagai hari kasih sayang,” kata Reza, kepada Warta Kota, Selasa (14/2/2017).” (Lihat: Tribun News)

Untuk lingkup berita luar negeri pun juga tidak jauh berbeda, di sekitar tahun 2015, salah satu ulasan dari portal berita online juga menyampaikan, bahwa para remaja di Thailand lebih dari 80% telah bersiap untuk melakukan seks di malam perayaan Valentine, disebutkan dalam berita tersebut:

“Dirjen Pusat Promosi Moral Thailand, Sin Suesuan mengatakan, informasi yang diterimanya menyatakan bahwa ada 83 persen remaja Thailand yang bersiap untuk melakukan hubungan seks pada Valentine, lusa”. (Lihat: Suara.com)

Mungkin data-data tersebut bisa dibilang lawas, namun image yang ada di hari Valentine memang demikian, dan itu pasti akan senantiasa terulang, karena hari tersebut dikatakan sebagai “Hari kasih sayang” maka salah satu bentuk ekspresi yang dilakukan adalah dengan melakukan hubungan badan, dan tentunya, banyak dari para pelakunya bukanlah dari kalangan suami istri, namun dari hubungan pacaran dan relasi tanpa ikatan syariat.

Hukum Syariat Dalam Merayakan Hari Valentine.

Syaikh Muhammad bin Solih al-Utsaimin mengatakan:

“Tidak boleh merayakan Valentine’s Day karena beberapa alasan berikut:

Pertama: bahwa itu adalah hari raya bid’ah tidak ada dasarnya dalam syari’at.

Kedua: bahwa itu akan menimbulkan kecintaan (yang mengandung nafsu) dan kerinduan (yang tidak pada tempatnya).

Ketiga: Bahwa itu akan menyebabkan sibuknya hati dengan perkara-perkara bodoh yang bertolak belakang dengan tuntunan para salaf radhiyallahu ‘anhum.

Oleh karenanya, pada hari tersebut tidak boleh ada simbol-simbol perayaan, baik berupa makanan, minuman, pakaian, saling memberi hadiah ataupun yang lainnya.

Hendaknya setiap muslim merasa mulia dengan agamanya dan tidak merendahkan diri dengan menuruti setiap ajakan. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala melindungi kaum muslimin dari setiap fitnah, baik yang nyata maupun yang tersembunyi dan semoga Allah senantiasa membimbing kita dengan bimbingan dan petunjuk-Nya”. (Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, 16/199)

Dalam fatwa dari al-Lajnah al-Daimah (lembaga fatwa dari Saudi Arabia) juga disebutkan:

“Berdasarkan dalil-dalil dari Al Kitab dan As Sunnah, para pendahulu umat sepakat menyatakan bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua; Idul Fitri dan Idul Adha selain itu semua hari raya yang berkaitan dengan seseorang, kelompok, peristiwa atau lainnya adalah bid’ah, kaum muslimin tidak boleh melakukannya, mengakuinya, menampakkan kegembiraan karenanya dan membantu terselenggaranya karena perbuatan ini merupakan perbuatan yang melanggar batas-batas Allah, sehingga dengan begitu pelakunya berarti telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri. Jika hari raya itu merupakan simbol orang-orang kafir, maka ini merupakan dosa lainnya, karena dengan begitu berarti telah ber-tasyabbuh dengan mereka dan loyal terhadap mereka di dalam kitab-Nya yang mulia dan telah diriwayatkan secara pasti dari Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:

من تشبه بقوم فهو منهم.

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum berarti ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Daud)

Valentine’s Day termasuk jenis yang disebutkan tadi, karena merupakan hari raya Nasrani, maka seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak boleh melakukannya, mengakuinya atau ikut mengucapkan selamat bahkan seharusnya meninggalkannya dan menjauhinya sebagai sikap taat terhadap Allah dan Rasul-Nya serta untuk membantu penyelenggaraan hari raya tersebut dan hari raya lainnya yang diharamkan baik itu berupa iklan dan sebagainya, karena semua ini termasuk tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan serta maksiat terhadap Allah dan Rasul-Nya sementara Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

( وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان واتقوا الله إن الله شديد العقاب)

Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya.” (QS. Al Ma’idah: 2)

Dari itu hendaknya setiap muslim berpegang teguh dengan Al Kitab dan As Sunnah dalam semua kondisi lebih-lebih pada saat-saat terjadinya fitnah dan banyaknya kerusakan. Hendaknya pula ia benar-benar waspada agar tidak terjerumus ke dalam kesesatan orang-orang yang dimurkai, orang-orang yang sesat dan orang-orang yang fasik yang tidak mengajarkan kehormatan dari Allah dan tidak menghormati Islam. Dan hendaknya seorang muslim kembali kepada Allah dengan memohon petunjuk-Nya dan keteguhan di dalam petunjuk-Nya. Sesungguhnya tidak ada yang dapat memberi petunjuk selain Allah dan tidak ada yang dapat meneguhkan dalam petunjuk-Nya selain Allah Subhanahu Wa ta’ala. Hanya Allah-lah yang kuasa memberi petunjuk.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.” (Fatwa Al-Lajnah Ad-Da imah lil Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta (21203) tanggal 22/11/1420 H).

Kesimpulan:

Setelah kita melihat paparan ringkas di atas, telah kita baca sejarah dan latar belakang dari ritual ini yang begitu erat kaitannya dengan ritual pagan yang diadopsi dari orang-orang kafir, kemudian realita di tengah masyarakat yang membuat mirisnya hati dengan terjadinya perzinahan dan potensi besar terjadinya perzinahan, lantas kita telah baca fatwa ulama tentang perkara ini, bagaimana arahan mereka, maka selayaknya bagi seorang muslim untuk menjauhi kegiatan dan ritual yang demikian, dan cukuplah bagi kita merasa puas dan berbangga dengan hari raya dan ritual dalam agama kita saja, semoga Allah mengampuni dosa dosa kita, dan menerima amal solih kita, dan senantiasa membimbing kita dengan taufiq-Nya ke jalan yang lurus. Aamiin.

Disusun oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله
Rabu, 8 Rajab 1443 H/9 Februari 2021 M


Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله
Beliau adalah Alumnus S1 Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta dan S2 Hukum Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله klik disini

 

Ustadz Setiawan Tugiyono, B.A., M.HI

Beliau adalah Alumni D2 Mahad Aly bin Abi Thalib Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Bahasa Arab 2010 - 2012 , S1 LIPIA Jakarta Syariah 2012 - 2017, S2 Universitas Muhammadiyah Surakarta Hukum Islam 2018 - 2020 | Bidang khusus Keilmuan yang pernah diikuti beliau adalah, Dauroh Masyayikh Ummul Quro Mekkah di PP Riyadush-shalihin Banten, Daurah Syaikh Ali Hasan Al-Halaby, Syaikh Musa Alu Nasr, Syaikh Ziyad, Dauroh-dauroh lain dengan beberapa masyayikh yaman dll | Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial Belajar bersama dengan kawan-kawan di kampuz jalanan Bantul

Related Articles

Back to top button