Bolehkah Memilih Pemimpin Asal-Asalan?

Bolehkah Memilih Pemimpin Asal-Asalan?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan bolehkah memilih pemimpin asal-asalan? Selamat membaca.
Pertanyaan:
Assalāmu’alaikum ustadz. Semoga Allāh selalu merahmati ustadz dan seluruh umat muslim. Ustadz, apakah boleh kita memilih seorang untuk memimpin suatu perkara dengan cara asal-asalan?
Dan bolehkan ketika mempertimbangkan beberapa calon kita menyebutkan kekurangannya? Jazākallāhu khairan.
(Ditanyakan oleh Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullah wabarokatuh
Tidak sepantasnya seorang muslim untuk melakukan hal yang sia-sia terlebih bermain main/asal asalan dengan sesuatu yang sangat penting dan terkait dengan urusan/kepentingan orang lain.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:«مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ». حَدِيْثٌ حَسَنٌ, رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَغَيْرُهُ هَكَذَا.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara tanda kebaikan keIslaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2318 dan yang lainnya)
Setiap mereka nantinya akan diminta pertanggung jawaban dengan apa yang dilakukan, sebagaimana hadist dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Terkait dengan menyebutkan aib baik secara person atau lembaga tentunya seseorang tidak diperkenan membongkar aib atau kekurangannya dengan niat menjatuhkan atau mencela kepribadiannya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
اتدرون ما الغيبه؟ قالوا: الله ورسوله أعلم. قال:الْغِيبَة ذِكْرك أَخَاك بِمَا يَكْرَه قِيلَ : أَفَرَأَيْت إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُول ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُول فَقَدْ اِغْتَبْته ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقَدْ بَهَتّه
“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian beliau shallahu’alaihi asallam bersabda, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana menurutmu jika sesuatu yang aku sebutkan tersebut nyata-nyata apa pada saudaraku?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Jika memang apa yang engkau ceritakan tersebut ada pada dirinya itulah yang namanya ghibah, namun jika tidak berarti engkau telah berdusta atas namanya.” (HR Muslim 2589 Bab: Al-Bir Wash Shilah Wal Adab)
Terkecuali penyebutan kekurangan seseorang karena alasa kuat/kebutuhan dan dalam forum yang tepat, sebatas kebutuhan untuk menentukan kriteria seorang pemimpin yang akan diharapkan bisa menjalankan amanah yang akan diembankan.
Sebagaimana hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwasanya Hindun binti Utbah Radhiyallahuma berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang lelaki yang pelit.
Maka, aku pun terpaksa mengambil dari uangnya (untuk keperluan nafkah). Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
Ambillah apa yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang baik-baik (HR. Al-Bukhâri no.7180 dan Muslim no.1714)
Sehingga, dari hadist di atas para ulama membolehkan menyebutkan kekurangan pihak terkait dengan apa yang dilakukan pada perkara yang penting dan masih ada keterkaitan dengan apa yang akan disebutkan dari kekurangan kebijakan kebijakan yang pernah dilakukan, tidak di forum terbuka serta tidak melebar kepada cacat pribadi yang lainnya.
Sekali lagi, harus sangat berhati-hati dalam masalah ini apalagi terkait dengan para pemimpin yang masih mengurusi kepentingan kaum muslimin.
Wallahu a`lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله
Kamis, 19 Safar 1444 H/ 15 September 2022 M
Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di sini