Ibadah

Berbuka Puasa Saat Menjamu Tamu Atau Memenuhi Hasrat Istri, Bolehkah?

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Berbuka Puasa Saat Menjamu Tamu Atau Memenuhi Hasrat Istri, Bolehkah?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan pembahasan tentang berbuka puasa saat menjamu tamu atau memenuhi hasrat istri, bolehkah? Selamat membaca.


Pertanyaan:

Bila seseorang sudah terbiasa melakukan puasa sunnah Senin dan Kamis, kemudian dijamu makan oleh sahabatnya atau suami/istri mengajak untuk melakukan hubungan.

Bagaimanakah yang seharusnya dilakukan, apakah dianjurkan untuk berbuka? Dan apakah disunnahkan untuk menqodho di hari lain?

(Ditanyakan oleh Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)


Jawaban:

Bismillah.

Pilihan jatuh kepada mendahulukan ibadah bila tidak memunculkan permusuhan dan yakin bisa mendapatkan keridhoan mereka bila dijelaskan dengan apa yang sedang dilakukan.

Namun, bila kemungkinan besar memunculkan ketidakridhoan dari mereka dengan apa yang dilakukan dari puasa, bisa jadi ia akan berprasangka buruk, maka mendahulukan jamuan dan kebutuhan batin kepada istrinya lebih utama.

Yang penting dan perlu dilakukan dan diperhatikan, adalah mengomunikasikan dengan cara baik dan bijak.

Bila ternyata membatalkan puasanya karena adanya kemaslahatan maka tidak perlu untuk mengqodhonya, karena ia adalah puasa sunnah di samping apa yang dilakukan juga bagian dari ibadah yang dianjurkan.

Hadits dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumahnya dan meminta air lalu meminumnya. Kemudian beliau menyodorkan kepadanya, lalu dia pun meminumnya.

Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya sedang berpuasa.”

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِينُ نَفْسِهِ إِنْ شَاءَ صَامَ وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ

Orang yang berpuasa sunnah lebih berhak atas dirinya. Jika dia mau, dia bisa menyempurnakan (menyelesaikan) puasanya. Dan jika dia mau, dia boleh membatalkan puasanya.” (HR. Tirmidzi no. 732 dan Ahmad no. 26370, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Hal ini juga menjadi perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Wahai ‘Aisyah, apakah kamu mempunyai makanan?” ‘

‘Aisyah menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”

Beliau bersabda,

فَإِنِّي صَائِمٌ

Kalau begitu, aku akan berpuasa.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar. Tidak lama kemudian, saya diberi hadiah berupa makanan -atau dengan redaksi: seorang tamu mengunjungi kami-.

‘Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali, saya pun berkata, “Ya Rasulullah, tadi ada orang datang memberi kita makanan dan aku simpan untukmu.”

Beliau bertanya, “Makanan apa itu?”

Saya menjawab, “Roti khais (yakni roti yang terbuat dari kurma, minyak samin, dan keju).”

Beliau bersabda, “Bawalah kemari.”

Maka roti itu pun aku sajikan untuk beliau. Lalu beliau makan, kemudian berkata,

قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا

Sungguh dari pagi tadi aku puasa.” (HR. Muslim no. 1154)

Hadist di atas menunjukkan, bila puasa sunnah dibatalkan dengan sebab atau tanpa sebab, maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya.

Wallahu a`lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله
Senin, 23 Safar 1444 H/ 19 September 2022 M


Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi Bimbingan
Islam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di sini

Ustadz Mu’tasim, Lc. MA.

Beliau adalah Alumni S1 Universitas Islam Madinah Syariah 2000 – 2005, S2 MEDIU Syariah 2010 – 2012 | Bidang khusus Keilmuan yang pernah diikuti beliau adalah Syu’bah Takmili (LIPIA), Syu’bah Lughoh (Universitas Islam Madinah) | Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial Taklim di beberapa Lembaga dan Masjid

Related Articles

Back to top button