Fiqih

Begini, Cara Menentukan Awal Ramadhan, Syawwal Dan Dzulhijjah!

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Begini, Cara Menentukan Awal Ramadhan, Syawwal Dan Dzulhijjah!

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Begini, Cara Menentukan Awal Ramadhan, Syawwal Dan Dzulhijjah! selamat membaca.

Pertanyaan:

Bismillah Assalamualaikum ustadz, semoga para ustadz di bias dan para staf dan keluarga selalu dalam perlindungan allah ta’ala. Untuk penetapan awal Ramadhan kadang terdapat perbedaan antara yg di tetapkan oleh pemerintah dan yg ditetapkan oleh lembaga/ormas islam lain, untuk menyikapi perbedaan tersebut bagaimana ustadz, sebelumnya terimakasih atas jawabanya

Ditanyakan oleh Santri Mahad Bimbingan Islam


Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullah wabarokatuh

Aamiin, semoga Allah juga selalu memberikan kebahagiaan kepada kita semua.

Ada beberapa hal yang perlu kita pahami terkait dengan masalah penetapan awal bulan ini, terutama terkait dengan awal Ramadhan, Syawal atau Dzulhijjah karena terkait dengan ibadah lain yang bersifat umum/kepentingan orang banyak.

Bagaimana cara penetapan awal ramadhan atau awal syawal, apakah sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam atau tidak?

Bila sudah dipahami dasar penetapannya kemudian pada masalah berikutnya kewenangan siapakah dalam memutuskan permasalahan ini?

Terkait dengan yang pertama, sebagaimana yang Rasulullah jelaskan dan terapkan, juga dilakukan oleh para khulafaurrasyidin, dimana penentuan ramadhan dilakukan dengan melihat hilal, sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ,”

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ

”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080)

Dalam hadist lainya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا

”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” [HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080)

Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan,

“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu.

Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru dalam masalah ini.  Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ

“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka…(Fathul Bari, 4/127)

Jelas, bahwa penetapan awal bulan dengan menggunakan ru`yah bulan, walau dianggap kuno dan terbelakang. Apakah menafikan sama sekali penggunaan hisab dalam membantu usaha ru’yah?

Para ulama menjelaskan bolehnya menggunakan bantuan hisab dalam mendekatkan dengan ru’yah, namun tetap menggunakan ru’yah dalam penentuan penetapan awal bulan bagi suatu penduduk negri.

Lalu siapakah yang menentukan dan menetapkan awal bulan tersebut?

Melihat kembali dari beberapa riwayat dalam masalah ini, antara lain sebagaimana pendapat mayoritas ulama, jika satu orang yang ‘adil (sholih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan, maka beritanya diterima. artinya ada yang melaporkan dan ada yang menerima dan memutuskan perkara tersebut. sebagaimana hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 2342. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Juga apa yang terjadi dengan proses melaporkan dan menerima laporan/penetapannya terkait dengan hilal syawal maka mesti dengan dua orang saksi., maka juga di sebutkan adanya saksi dan menerima saksi untuk di putuskan sebagaimana dalam hadits,”

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا

“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.” [HR. An Nasai no. 2116. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Melihat dalil diatas, dapat dipahami bahwa bila seseorang melihat hilal maka kemudian di laporkan kepada pihak yang berwenang yang mempunyai otoritas di dalam menentukan sah dan tidaknya laporan tersebut untuk di tetapkan kemudian karena terkait dengan pergerakan ibadah dan hajat orang banyak.

Siapakah yang berwenang dalam masalah ini? tentunya meraka adalah penguasa/pemerintah atau yang mewakilinya, dimana pada saat itu Rasulullah yang berkuasa dan yang mempunyai otoritas dalam menentukan awal ramadahan atau syawal. Dimana ketika mendapatkan laporan dari orang yang adil dan di percaya, maka Rasulullah memerintahkan orang orang untuk berpuasa atau berbuka dari puasa ramadhan dengan melihat hilal syawal.

Sehingga sekali lagi menurut yang kami dapatkan dari penjelasan para ulama bahwa pemerintahlah yang berwenang dalam masalah ini bukan individu atau kelompok tertentu. Sehingga manusia bisa bersama sama untuk menjalanka puasa atau hari raya dngan bersama sama, sebagaimana yang telah di tetapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam supaya puasa dan berbuka kita bersama sama dengan manusia lainnya.

Bila ada individu yang sangat yakin dengan apa yang dilihat atau ditetapkan, kemudian laporannya tidak dipercaya/diterima, maka yang hendaknya dijadikan pedoman untuk memulai dan mengakhiri puasa adalah apa yang telah di tetapkan oleh pemimpin/yang berwenang. Bagi orang yang melihat dan yakin terhadap yang di lihatnya maka ia bisa mengikuti apa yang di yakininya, namun hanya untuk dirinya sendiri dan bukan untuk orang lain.

Di dalam islamqa no fatwa 12660 ketika ditanyakan tentang sikap sebagian kelompok orang yang dianggap baik agamanya, berkeyakinan bahwa ru’yah hilal harus langsung dilihat dengan mata telanjang, bukan dengan alat, sehingga mereka berbeda dengan penetapan yang telah diputuskan oleh pemerintah, benarkah sikap tersebut, kemudian disebutkan di dalam jawabannya,”

يجب عليهم أن يصوموا مع الناس ويفطروا مع الناس ويصلوا العيدين مع المسلمين في بلادهم لقول النبي صلى الله عليه وسلم : صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا العدة متفق عليه ، والمراد الأمر بالصوم والفطر إذا ثبتت الرؤية بالعين المجردة أو بالوسائل التي تعين العين على الرؤية لقوله صلى الله عليه وسلم : ” الصوم يوم تصومون والإفطار يوم تفطرون والأضحى يوم تضحون ” أخرجه أبو داوود (2324) والترمذي (697) ، وصححه الألباني في صحيح الترمذي ( 561 )

“Wajib atas mereka untuk berpuasa bersama manusia dan berbuka (idul firtri) bersama mereka dan menjalankan shalat dua id ( idul fitri dan idul adha) bersama kaum muslimin di negara mereka. Sebagaimmana sabda nabi shallahu alaihi wasallam,” puasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah juga karena sebab melihatnya. Dan jika terhalang (mendung) maka sempurnakanlah jumlah bilangan (bulannya menjadi 30 hari) Muttafaqun `alaihi. ….”.

(https://islamqa.info/ar/answers/12660/)

Tanpa merendahkan pihak manapun,kami berharap hendaknya semua pihak mencoba untuk menyatukan kata dan kalimat untuk bermusyawarah dan menyatukan pandangan dalam banyak perkara di dalam agama ini.

Terutama terkait dalam masalah penentuan awal ramadhan, syawal ataupun dzulhijjah, dimana hendaknya mereka kembali kepada dalil dalil yang ada, yang diharapkan dapat memutuskan dengan adil dan bijak serta dapat diterima oleh semua pihak.

Bila semua pihak, baik dari pihak penguasa atau pihak yang lainnya tidak mencoba duduk bersama, tidak mau menerima suara dari berbagai pihak dan semua mempunyai keputusan yang berbeda, maka tentunya akan menyebabkan kebingunan dari banyak masyarakat. Berharap, Allah menyatukan barisan kaum muslimin dalam banyak urusan di bawah waliyul amri yang dipercaya, adil dan bijaksana.

Wallahu taala alam bisshawab.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله
Senin, 12 Ramadhan 1444H / 3 April 2023 M 


Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di

Ustadz Mu’tasim, Lc. MA.

Beliau adalah Alumni S1 Universitas Islam Madinah Syariah 2000 – 2005, S2 MEDIU Syariah 2010 – 2012 | Bidang khusus Keilmuan yang pernah diikuti beliau adalah Syu’bah Takmili (LIPIA), Syu’bah Lughoh (Universitas Islam Madinah) | Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial Taklim di beberapa Lembaga dan Masjid

Related Articles

Back to top button