hotIbadah

Antara Khauf (Rasa Takut) Dan Raja (Harapan)

Pendaftaran Mahad Bimbingan Islam

Antara Khauf (Rasa Takut) Dan Raja (Harapan)

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan pembahasan tentang antara khauf (rasa takut) dan raja (harapan). Selamat membaca.


Pertanyaan:

Ustadz, bagaimana cara menyeimbangkan antara khouf dan roja (takut dan berharap) di satu sisi takut bahwa takut kecewa atas harapan, doa belum terkabul. Di satu sisi berdoa itu harus yakin atas dikabulkannya doa dengan penuh harapan menyerahkan diri segala urusan hanya kepada Allah, tapi, ketika keyakinan dan harapan itu besar, tapi ternyata kenyataan jauh dari harapan.

(Ditanyakan oleh Sahabat BIAS melalui Grup WA)


Jawaban:

Cara Menyeimbangkan Antara Khouf (takut) dan Roja (harapan)

Perhatian, untuk masalah doa yang tidak terkabul, bagi kacamata seorang mukmin, ia yakin bahwa apa yang Allah Ta’ala tetapkan baginya adalah yang terbaik baginya. Jadi memang pengabulan doa itu adalah hak Allah Yang Maha Adil Lagi Maha Bijaksana, bukan semau seorang hamba, pokoknya doa ini harus dikabulkan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah membahas masalah bagaimana menyeimbangkan antara khauf dan roja, dengan bebarapa perincian, beliau berkata;

اختلف العلماء هل يُقدم الإنسان الرجاء أو يقدم الخوف على أقوال:

فقال الإمام أحمد رحمه الله: “ينبغي أن يكون خوفه ورجاؤه واحداً، فلا يغلب الخوف ولا يغلب الرجاء”، قال رحمه الله: “فأيهما غلب هلك صاحبه”، لأنه إن غلب الرجاء وقع الإنسان في الأمن من مكر الله، وإن غلب الخوف وقع في القنوط من رحمة الله. وقال بعض العلماء: “ينبغي تغليب الرجاء عند فعل الطاعة، وتغليب الخوف عند إرادة المعصية”، لأنه إذا فعل الطاعة فقد أتى بموجب حسن الظن، فينبغي أن يغلب الرجاء وهو القبول، وإذا هم بالمعصية أن يغلب الخوف لئلا يقع في المعصية. وقال آخرون: ينبغي للصحيح أن يغلب جانب الخوف، وللمريض أن يغلب جانب الرجاء، لأن الصحيح إذا غلب جانب الخوف تجنب المعصية، والمريض إذا غلب جانب الرجاء لقي الله وهو يحسن الظن به. والذي عندي في هذه المسألة أن هذا يختلف باختلاف الأحوال، وأنه إذا خاف إذا غلب جانب الخوف أن يقنط من رحمة الله وجب عليه أن يرد ويقابل ذلك بجانب الرجاء، وإذا خاف إذا غلب الرجاء أن يأمن مكر الله فليرد ويغلب جانب الخوف، والإنسان في الحقيقة طبيب نفسه إذا كان قلبه حيًّا، أما صاحب القلب الميت الذي لا يعالج قلبه ولا ينظر أحوال قلبه فهذا لا يهمه الأمر.

Para ulama berbeda pendapat mengenai manakah yang lebih didahulukan/didominasikan, apakah rasa harap atau rasa takut kepada Allah, ada beberapa pendapat:

Baca Juga:  Mencairkan Jamsostek Karena Takut Dosa Riba

Imam Ahmad rahimahullah berkata:

“Hendaknya khauf (rasa takut) dan raja‘ (berharap) itu sama, tidak boleh mendominasi rasa takut dan tidak boleh mendominasi rasa berharap

Beliau juga berkata: “Apabila salah satu dari keduanya mendominasi, orang tersebut akan celaka”

Karena ketika rasa berharap kepada Allah lebih besar, seseorang akan merasa aman dari makar (azab) Allah, dan jika rasa takut lebih besar maka ia akan putus asa dari rahmat Allah.

Sebagian ulama mengatakan: “Hendaknya rasa berharap lebih mendominasi ketika melakukan ketaatan dan rasa takut lebih mendominasi ketika ingin melakukan maksiat”

Karena ketika melakukan ketaatan akan menuntut adanya husnuzhan kepada Allah, sehingga hendaknya rasa harap lebih besar yaitu ia mengharapkan amalannya diterima.

Adapun dalam maksiat, hendaknya rasa takut lebih besar agar ia tidak terjerumus dalam maksiat

Sebagian ulama yang lain mengatakan:

“Hendaknya orang yang sehat lebih dominasi rasa takut, sedangkan orang yang sakit lebih dominasi rasa harap”

Karena orang yang sehat ketika ia mengedepankan rasa takut maka ia akan terhindar dari maksiat, sedangkan orang yang sakit ketika ia mengedepankan rasa harap maka ia akan bertemu Allah dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah.

Menurutku (Syaikh Al ‘Utsaimin) yang tepat dalam masalah ini adalah jawabannya berbeda tergantung keadaannya:

1. Apabila seseorang khawatir ketika rasa takut kepada Allah mendominasi sampai membuat ia putus asa dari rahmat Allah, maka wajib baginya untuk menyeimbangkan rasa takut itu dengan rasa harap kepada Allah

2. Apabila seseorang khawatir ketika rasa berharap kepada Allah mendominasi sampai membuat ia merasa aman dari makar Allah, maka wajib baginya untuk menyeimbangkan rasa harap itu dengan rasa takut kepada Allah

Seseorang itu pada hakikatnya adalah dokter bagi dirinya sendiri, apabila hatinya sehat. Adapun orang yang hatinya mati, maka ia tidak akan berusaha mengobati hatinya, tidak akan menimbang-nimbang hatinya ada pada kondisi apa sekarang, dan ia tidak akan memperhatikan perkara ini.

(Lihat Majmu’ Fatawa war Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 1/100-101).

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Kamis, 18 Syawal 1443 H/ 19 Mei 2022 M


Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Beliau adalah Alumni STDI Imam Syafi’i Jember (ilmu hadits), Dewan konsultasi Bimbingan Islam
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Fadly Gugul حفظه الله تعالى klik disini

Ustadz Fadly Gugul, S.Ag

Beliau adalah Alumni S1 STDI Imam Syafi’I Jember Ilmu Hadits 2012 – 2016 | Bidang khusus Keilmuan yang pernah diikuti beliau adalah Takhosus Ilmi di PP Al-Furqon Gresik Jawa Timur | Beliau juga pernah mengikuti Pengabdian santri selama satu tahun di kantor utama ICBB Yogyakarta (sebagai guru praktek tingkat SMP & SMA) | Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial Dakwah masyarakat (kajian kitab), Kajian tematik offline & Khotib Jum’at

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button