Pilihan Sulit Seorang Suami? Tinggal Bersama Ibunya Atau Terpisah Rumah

Pilihan Sulit Seorang Suami? Tinggal Bersama Ibunya Atau Terpisah Rumah
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Pilihan Sulit Seorang Suami? Tinggal Bersama Ibunya Atau Terpisah Rumah. selamat membaca.
Pertanyaan:
Bismillah.. Saya ingin bertanya ustadz, jika ada seorang lelaki setelah menikah, dia diminta ibunya untuk tinggal bersama ibunya, karena ibunya sekarang seorang diri, ayah dari laki-laki ini telah wafat. Mana yang sebaiknya dia pilih?
Memenuhi permintaan untuk tinggal bersama ibunya atau mencari tempat tinggal terpisah yang dekat dengan ibunya untuk memenuhi hak tempat tinggal istri? Jazakumullahu khoiron ustadz atas jawabannya
Jawaban:
bismillah
Menjadi kewajiban seorang anak untuk mengabdikan dirinya kepada orang tuanya, baik ia seorang anak laki laki atau perempuan, sehingga orang tuanya lah yang menjadi pilihan pertama ketika tidak bisa digabungkan diantara dua kepentingan yang berbeda.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa … ” [QS. an-Nisâ`/4:36].
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا
Dan Kami wajibkan kepada manusia (berbuat) ke-baikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya …” [QS. Al-‘Ankabût/29:8]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رِضَا الرَّبِّ فـِيْ رِضَا الْوَالِدِ وسَخَطُ الرَّبِّ فِـيْ سَخَطِ الْوَالِدِ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu,dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ridha Allâh tergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allâh tergantung kepada kemurkaan orang tua.” ( Hadits hasan, diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad, no. 2)
Namun, bila ia seorang wanita dan telah menikah maka menjadi kewajibannya untuk mengabdikan dan mengutamakan suaminya selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika beliau ditanya ., “Siapakah yang berhak terhadap seorang wanita? Rasulullah menjawab: “Suaminya” (apabila sudah menikah). Kemudian Aisyah Radhiyallahu ‘anha bertanya lagi: “Siapakah yang berhak terhadap seorang laki-laki? Rasulullah menjawab: “Ibunya,” (HR. Muslim).
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا طَاعَةَ لِأَحَدٍ فِـيْ مَعْصِيَةِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Tidak boleh taat kepada seorang pun dalam berbuat maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla ( Shahih: HR. Ahmad (5/66).
Hendaknya, suami dan istri selalu melihat skala prioritas dari amalan yang akan dilakukan dan menundukkan ego nya masing masing demi mentaati apa yang telah ditetapkan oleh Rabb nya. Seorang istri yang taat dan shalihah akan selalu mendahulukan ketaatan kepada Allah, rasulNya dan suaminya.
Semestinya seorang istri akan selalu memotivasi dan mendukung suaminya untuk berbakti kepada orang tua suaminya terlebih lagi kepada ibunya. Ini juga salah satu bentuk pembejararan yang baik dan nyata kepada anak anaknya, untuk selalu menghargai dan berbakti kepada orang tuanya.
Namun begitu, hendaknya seorang suami juga mencoba memberikan pengertian kepada istrinya dan mengkomunikasikannya dengan cara yang baik dan bijak, tidak dengan amarah dan memaksa.
Bila perkara bisa digabungkan maka tentunya menjadi pilihan yang membahagiakan tanpa mengabaikan apa yang menjadi keinginan dan kebahagian istrnya.
Semua butuh pengorbanan demi kebahagiaan dan pahala yang akan didapat dari ketaatan hamba kepada agamanya atau bila ibunya ridho untuk mencari rumah di samping atau dekat dengan ibunya untuk kebaikan istri dan keluarganya, ini juga baik selama ibunya meridhoinya.
Namun, bila ternyata ibunya bersikeras dan menjadi sedih bila tidak menjadi satu rumah dengan nya dan keluarganya atau dengan kata lain tidak bisa digabungkan bersama sama dua kepentingan tersebut maka hendaknya ia mendahulukan keridhoaan ibunya daripada kepentingan dirinya atau keluarganya.
Wallahu a1lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله
Rabu, 26 Jumadil Akhir 1444H / 18 Januari 2023 M
Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di sini