Bolehkah Bertawasul Dengan Kedudukan Nabi Muhammad?

Bolehkah Bertawasul Dengan Kedudukan Nabi Muhammad?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan pembahasan tentang bolehkah bertawasul dengan kedudukan nabi muhammad? Selamat membaca.
Pertanyaan:
Bismillah, Assalamualaikum warrahmatullahi wabarokatuh, Semoga Allah merahmati dan memberikan keberkahan untuk ana dan juga Ustadz beserta keluarga.
Al-Samhudi mengatakan bolehnya beristighasah dan bertawasul dengan keberkahan dan kedudukan Nabi Shallallahu alayhi wasallam. Lalu dalam tafsir Ibnu Katsir dan juga Ibnu Taimiyah pun membolehkannya, juga ulama syafiiyah Ar-Ramli.
Apakah semua dalil dan hujjah si ustadz itu benar dan sahih? Jazakumullah khairan Barakallahu fiikum
(Ditanyakan oleh Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullah wabarokatuh
Aamiin, semoga Allah memberikan kepada kita kebahagiaan dengan mengikuti sunnah Rasul-Nya dan mencukupkan diri dengan apa yang telah diajarkan para sahabat sahabatnya serta para ulama yang meniti jalan mereka.
Menyikapi Perbedaan Pendapat Ulama
Terkait ijtihad dan pendapat para ulama dalam berbagai masalah baik, cara bagaimana seseorang menyikapi dan mengurai perbedaan di antara mereka rahimahumullah jami`an, hendaknya bila seorang yang mempunyai kemampuan untuk menelaah (berilmu) tentunya harus mencoba mengamati dalil/pijakan dalil di antara pendapat pendapat tersebut, dan tidak hanya bersikap fanatik/taklid buta, sebagaimana orang awam yang tidak tahu dan mempunyai kemampuan sama sekali.
Hendaknya berusaha menimbang kedua pendapat dan dalil tersebut dengan mencoba selalu mengedepankan validitas dan ketepatan penempatan dalil serta juga mengikuti pendapat para ulama yang mempunyai sifat yang lebih dan cenderung kepada pemahaman dalil yang benar, tidak hanya shahih dan dhaifnya dalil yang dibawakan.
Karena terkadang dalil yang shahih ternyata bisa dibawa kepada pemahaman yang lemah sehingga akan membawa perbedaan dalam banyak masalah.
Namun bila ternyata kita tidak memiliki kemampuan, maka tugas kita adalah mengikuti pendapat dari para ulama yang kita anggap bijak dan lebih berhati-hati serta mempunyai sifat wara` dan kehati-hatian yang tinggi, tidak hanya sekadar mengikuti si fulan dan pokoknya si fulan.
Permasalahan Tawassul dengan Dzat/Kedudukan Nabi
Kemudian, terkait dengan masalah tawassul dengan dzat/ kedudukan nabi memang didapatkan perbedaan di antara para ulama. Sehingga yang kita lakukan adalah sebagaimana penjelasan cara yang disebutkan di atas dalam sikap kita terhadap perbedaan para ulama.
Di antaranya, kami menukilkan apa yang telah disebutkan di dalam Islamweb (https://www.islamweb.net/ar/fatwa/17593/) dengan poin-poin dalam masalah tersebut,terkait dengan lemahnya pendapat yang membolehkan dalam masalah ini, antara lain:
Penisbatan kepada dalil yang lemah, semisal pada hadist Aisyah yang menyuruh sahabat untuk pergi ke kubur nabi ketika menghadapi kekeringan. (https://www.islamweb.net/ar/fatwa/15071/)
Atau hadist tawassulnya Nabi Adam kepada Nabi Muhammad shallahu alaihi wasalam. (https://www.islamweb.net/ar/fatwa/11669/) dan sebagainya.
Atau dasar pijakannya adalah hadist yang shahih namun kurang tepat dalam penerapannya. Semisal dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
اللهم إنا كُنَّا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا، وإننا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا
“Ya Allah, kami bertawasul kepadamu dengan Nabi kami, berilah kami hujan, kami juga bertawasul kepada-Mu dengan paman nabi kami, berilah kami hujan.”
Seakan dalil di atas dipergunakan untuk bolehnya bertawassul dengan kedudukan Rasulullah, padahal dalil ini malah menunjukkan bahwa para sahabat bertawassul kepada nabi ketika nabi masih hidup dan bertawassul dengan menggunakan doa baginda nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam.
Buktinya adanya dalil penguat bahwa maksud bertawassul kepada dzat nabi di atas ketika nabi hidup adalah cara bertawassul dengan cara meminta doa dari nabi bukan dengan menyebut /bersumpah dengan dzat atau kedudukan nabi saja, sehingga disebutkan diriwayat tersebut berpalingnya wasilah kepada paman nabi dan setelah beliau meninggal.
Bahkan Syekhul Islam yang telah dikatakan membolehkan tawassul dengan dzat atau kedudukan nabi, beliau menjelaskan,”
وأما التوسل بدعائه وشفاعته كما قال عمر، فإنه توسل بدعائه لا بذاته، ولهذا عدلوا عن التوسل به إلى التوسل بعمه العباس، ولو كان التوسل هو بذاته لكان هذا أولى من التوسل بالعباس، فلما عدلوا عن التوسل به إلى التوسل بالعباس علم أن ما يفعل في حياته قد تعذر بموته بخلاف التوسل الذي هو الإيمان به والطاعة له…..
“Adapun tawassul dengan doa dan syafaat beliau (Rasulullah shallahu alaihi wasallam) ia adalah tawassul dengan doa beliau bukan dengan dzat beliau. Karenanya pada sahabat mengarahkan untuk bertawassul kepada paman Nabi (setelah beliau wafat). Seandainya tawassul dengan dzatnya diperbolehkan maka tentunya para sahabat akan mencukupkan diri untuk menuju ke makam Rasulullah bukan kepada yang lainnya. Inilah yang dipraktikkan oleh para sahabat dalam memahami tawassul atau bershalawat dengan lafadz-lafadz yang mengandung makna bertawassul kepada dzat nabi.”
Kesimpulan, Bagaimana Sikap Kita dalam Permasalahan Tawasul Dengan Nabi?
Berharap, inilah sikap yang kita cukupkan, dengan bertawassul dengan hal dan perbuatan yang telah dicontohkan kepada para sahabat, bukan karena pemahaman yang belum dipraktikkan oleh para sahabat, ketika kita merasa bingung dengan beberapa pendapat yang muncul dari ijtihad para ulama yang tetap kita selalu hormati, walau tidak ada manusia yang maksum selain Nabi Muhammad (ﷺ).
Walhasil, memang ada perbedaan pendapat atau ijtihad dalam masalah ini, namun yang kita ikuti adalah pendapat yang kita anggap lebih selamat untuk tidak terjerumus kepada kesyirikan, bid`ah atau yang bertentangan dengan praktik para sahabat, di samping pendapat ini dapat menutup celah dari permintaan kepada selain Allah.
Sehingga, bila kita meyakini adanya kesalahan dalam diri orang yang kita cintai, yang kita yakini bahwa kebenaran ada dalam pendapat kita maka tetapkah kita selalu berdoa dan mendoakan kita semua untuk diberikan jalan yang lebih diridho`i oleh Allah.
Tetap terus memantapkan pendapat kita dengan dalil dan pendapat yang lebih dekat dengan dalil dan amaliyah para sahabat juga berusaha mendakwahkannya dengan cara yang baik dan bijak, tanpa harus membenci atau mencelanya atau mengafir-kafirkannya, terlebih ada syubhat dengan apa yang di pahami dalam kasus ini.
Semoga Allah memberikan kepada kita jalan yang mendekatkan diri kita dengan sunnah Nabi-Nya.
Wallahu a`lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله
Selasa, 22 Rabiul Awal 1444 H/ 18 Oktober 2022 M
Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di sini