FiqihKonsultasi

Wudhu Dengan Air yang Berubah Sifat dan Air Banyak

Pendaftaran Mahad Bimbingan Islam

Wudhu Dengan Air yang Berubah Sifat dan Air Banyak

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang pembahasan wudhu dengan air yang berubah sifat dan air banyak.
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga. Saya mau bertanya ustadz.

Ustadz, izin bertanya, seperti yang ustadz sampaikan dalam video pertemuan kedua bahwa jika air dalam jumlah yang banyak dan terkena najis yang sedikit maka statusnya tetap suci. Namun bagaimana kalau air tersebut berubah salah satu sifatnya? Apakah statusnya tetap suci?

Kemudian ukuran dari “banyak” ini apakah ada standarnya ustadz?
Ataukah sesuai dengan kebiasaan? Dari yang saya ingat ukuran banyak ini sebanyak dua qullah menurut Imam Syafii… Manakah menurut ustadz pendapat yang lebih rajih?
Jazakallahu khayran.

(Disampaikan oleh Fulan, Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Kaidah dalam perubahan hukum terkait air yang terkena najis, telah sepakat para ulama dalam hal ini, bahwa  bila air tercampur dengan najis kemudian salah satu sifat berikut  berubah, rasa, warna dan baunya adalah bau najis tersebut, maka air tersebut menjadi najis. Baik air yang tercampur  tersebut sedikit ataupun banyak, selama air tersebut telah berubah maka ia telah menjadi najis.

Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ash Shan’ani dalam menukilkan ijma yang telah dikatakan oleh Ibnul Mundzir:

قال ابن المنذر: قد أجمع العلماء: على أن الماء القليل والكثير إذا وقعت فيه نجاسة فغيرت له طعماً، أو لوناً، أو ريحاً فهو نجس، فالإجماع هو الدليل على نجاسة ما تغير أحد أوصافه

Berkata Ibnul Mundzir: “Para ulama telah ijma’ bahwa air yang sedikit dan banyak, jika terkena najis lalu berubah rasa, warna, dan aroma, maka dia menjadi najis.” Maka, ijma’ adalah merupakan dalil atas kenajisan sesuatu yang telah berubah salah satu sifat-sifatnya.
(Subulus Salam, 1/91)

Apakah air yang terkena najis bisa berubah lagi menjadi suci?

Air mutanajjis/air yang terkena najis adalah air yang terkena najis.
Hukum air yang terakhir adalah Air Mutanajis, yaitu air yang terkena najis, artinya yang kemasukan najis yang dapat merubah sifat air tersebut seperti warna, rasa dan bau, baik dengan pembatasan jumlah minimal airnya (semisal yang kurang dari 2 qullah: sekitar 270 Liter) ataupun tanpa ada pembatasan minimal.

Perlu diingat bahwa air najis dan air Mutanajis sangatlah berbeda. Air najis adalah air yang secara mutlak sudah najis pada hukum asalnya. Contoh : Air Kencing, darah, nanah, dan semisalnya.
Sedangkan Air Mutanajis adalah air yang semulanya suci, tetapi hukumnya berubah menjadi tidak suci karena kemasukan najis. Contoh : Air suci yang kemasukan air kencing.

Air najis bila sifatnya kembali kepada bentuk asli kemutlakannya dengan sebab tertentu, baik secara alami atau buatan, maka air tersebut dapat berubah menjadi suci selama bentuk dan sifatnya telah berubah menjadi air mutlak dan tidak di dapatkan najis di dalamnya yang merubahnya kemutlakannya.
Seperti yang banyak kita dapatkan di beberapa perusahaan air yang di dapatkan, ketika memproses air limbah/air sungai yang sangat keruh, dan nyata sifat najisnya. Setelah diproses dengan tahapan yang panjang kemudian menjadi air yang siap di pakai atau bahkan siap minum. Dengan perubahan yang terjadi dan kembali kepada sifat dasar dari air mutlak tersebut maka air menjadi suci dan mensucikan.

Sebagaimana yang terjadi di dalam kasus sumur budha`ah yang didapatkan di dalamnya benda benda najis, namun Rasulullah ternyata menyatakan bahwa air tersebut tetaplah suci, sebagaimana hadist yang disebutkan di dalam riwayat sunan Abi Daud dan lainnya :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ فِيهَا الْحِيَضُ وَلَحْمُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

Dari Abu Sa’id Al Khudri, bahwa ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Apakah kami boleh berwudhu dari sumur budhaa’ah, yaitu sumur yang kemasukan Al Hiyadh, daging anjing, dan An Natnu (bau tidak sedap).”
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Air itu adalah suci, tidak ada sesuatu yang menajiskannya.”
(HR. Abu Daud No. 67, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 1513, Imam Al Baghawi, Syarhus Sunnah, 2/61, dll. Hadits ini Shahih, sebagaimana dikatakan Imam Ibnu Hajar, Imam An Nawawi, dan lainnya)

Berkata syekh bin Baz –rahimahullah ta’ala, ”bahwa air itu suci dan sesuatu tidak bisa menjadikannya najis, kecuali bila berubah bau, rasa dan warnanya. Air tersebut menjadi najis sesuai ijma ulama, walaupun hadist dalam hal ini lemah  (hadist yang menyebutkan tentang perubahan bau, warna dan rasa ), namun menurut ulama maknanya maknanya benar. Karenanya, bila di dapatkan  air ( yang awalnya suci) dan telah berubah rasa, bau dan warnanya dari barang najis, maka semua para ulama mengatakan kenajisannya.”
(syekh Bin Baz dalam syarh bulughul Maram, hadis bab 1)

Baca Juga:  Hukum Memperjual Belikan Kaligrafi

Perbedaan Ulama dalam Batas minimal air yang terkena Najis

Kemudian, ada perbedaan pendapat ulama, bila airnya sedikit atau kurang dari 2 qullah, apabila terkena najis walaupun tidak berubah bau, rasa dan warnanya, apakah air tersebut tetap di hukumi najis?
Dalam hal  ini para ulama berbeda pendapat , antara yang menajiskan atau tidak.

Para Ulama yang menyatakan adanya batasan minimal air yang terkena najis dan dapat merubah kesuciannya bila kurang dari dua qullah, sebagaimana sabda Rasulullah sallahu alaihi wasallam,”

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ

“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).”
(HR. Ad Daruquthni)

Dalam riwayat lain disebutkan,

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَىْءٌ

“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak ada sesuatupun yang menajiskannya. ”
(HR. Ibnu Majah dan Ad Darimi)

Sebagian mempermasalahkan riwayat dua hadist tersebut antara yang melemahkan atau yang menshahihkan.

Pendapat lainnya, yang tidak mensyaratkan juga berdasarkan hadist sumur budho’ah, ketika Rasulullah mengatakan,”

إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ

“Sesungguhnya air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”
[HR. Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’i, Ahmad. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 478)

Bila  membaca beberapa literatur yang ada, menurut kami, diantara pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan tidak adanya batasan  dua qullah. Selama tidak ada perubahan sifat, walaupun terkena najis maka air tersebut tetaplah suci dan mensucikan, sebagaimana yang dilontarkan oleh dalam madhab Imam Malik, ulama Zhohiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan banyak para ulama Najd yang lainnya.

Diantara sebab pemilihan pendapat ini (tidak ada batasan 2 qullah) antara lain adalah ;

1. Sebagian para ulama yang melemahkan hadist tentang batasan dua qullah, karena ada idthirob/keguncangan  di dalam matan dan sanadnya.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ وَ فِي لَمْ يَنْجُسْ. – أخرجه الأربعة وصححه ابن خزيمة

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Berkata Rasulullah saw: Apabila air itu dua qullah tidak mengandung najis. Pada suatu lafadz (berbunyi) tidak bernajis.”
[HR. al-Arba‘ah dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah].

Para Sahabat di antaranya Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, serta ulama yang lain seperti Hasan al-Basri, Sa‘id bin Musayyab, Ikrimah, Ibnu Abi Laila, ats-Tsauri, Daud Zahiri, an-Nakha’i, Malik dan lain-lain menilai sanad dan matan hadis di atas adalah mudhtharib.

 2. Bahwa hadist yang terkait dengan keumuman air, bahwa sesuatu tidak bisa menajiskan air, sebagimana yang ada di dalam hadist budha’ah yang lebih kuat.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَاءُ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ. – رواه أحمد والشافعي وأبو داود والنسائى والترمذى وحسنه.

“Diriwayatkan dari Abu Sa‘id al-Khudri, ia berkata: orang berkata: Ya Rasulullah, bolehkah kita berwudhu dari telaga Budla‘ah? Maka Nabi saw bersabda: Air itu suci lagi mensucikan, tidak ada yang akan menajisinya.”
[HR. Ahmad, asy-Syafi‘i, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Turmudzi, dan dinyatakan sebagai hadis hasan]

Namun begitu, bila di dapatkan air pengganti /yang lain untuk bersuci, dan kita yakini ada najis yang masuk di dalamnya maka hendaknya tidak memakai air tersebut , semisal air yang ada di dalam bejana/air yang sedikit yang kurang dari dua qullah, walaupun tidak ada perubahan dari sisi warna, rasa dan baunya untuk keluar dari khilaf, lebih berhati hati dan lebih menenangkan hati.

Berkata syekh Bin baz rahimahullah ta’ala, ”bila air sedikit, kemudian jatuh di dalamnya suatu  najis, walau belum berubah maka hendaknya di buang, karena biasanya najis tersebut mempengaruhinya.”
(syekh Bin Baz dalam syarh bulughul Maram, hadis bab 1)

Wallahu ta’ala a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله
Selasa, 24 Rabiul Awwal 1442 H/ 10 November 2020 M



Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi Bimbingan Islam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله 
klik disini

Akademi Shalihah Menjadi Sebaik-baik Perhiasan Dunia Ads

Ustadz Mu’tasim, Lc. MA.

Beliau adalah Alumni S1 Universitas Islam Madinah Syariah 2000 – 2005, S2 MEDIU Syariah 2010 – 2012 | Bidang khusus Keilmuan yang pernah diikuti beliau adalah Syu’bah Takmili (LIPIA), Syu’bah Lughoh (Universitas Islam Madinah) | Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial Taklim di beberapa Lembaga dan Masjid

Related Articles

Back to top button