Adab & AkhlakKeluargaKonsultasi

Tahapan Pendidikan Anak Dalam Islam

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Tahapan Pendidikan Anak Dalam Islam

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang tahapan pendidikan anak dalam Islam.
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Assalamualaikum, mau tanya bagaimana tahapan pendidikan anak dalam islam?

(Disampaikan Fulan, sahabat BiAS)

 


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

 

Kalau yang dimaksud tahapan pendidikan ini adalah dari sisi materi maka semuanya sama, mulai dari anak kecil sampai orang dewasa yang pertama kali diajarkan adalah Aqidah, lalu Fiqih Ibadah harian dan juga Adab. Setiap jenjang usia hanya beda dari sisi penyampaiannya saja.
Tapi kalau yang ditanyakan adalah apa saja yang perlu dipersiapkan untuk bekal pendidikan anak? Maka jawabannya 2;

Doa dan Akhlak Mulia

Pertama: Doa, karena baik atau tidaknya seseorang juga berhasil atau tidaknya suatu Pendidikan tetaplah bergantung dengan hidayah Allah ‘Azza wa Jalla.
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka dialah orang yang mendapat petunjuk, dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi” (QS. Al-A’raf, 178).
Karena hidayah adalah hak prerogatif Allah, maka kita harus banyak memohon kepada-Nya. Minta agar Allah memperbaiki anak-anak kita dan menunjukkannya pada jalan yang lurus. Selain itu, berdoa untuk kebaikan anak-anak juga termasuk sifat dari orang-orang shalih. Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا 
“Dan orang orang yang berkata: ‘Wahai Robb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’” (QS. Al-Furqan, 74).
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menjelaskan tentang ayat diatas,
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ أي : تقر بهم أعيننا ، وإذا استقرأنا حالهم وصفاتهم عرفنا من هممهم وعلو مرتبتهم أنهم لا تقر أعينهم حتى يروهم مطيعين لربهم عالمين عاملين 
“Makna قُرَّةَ أَعْيُنٍ  adalah sesuatu yang menyenangkan hati kami. Dan kalau kita melihat kondisi yang ada beserta sifat-sifatnya, kita akan mengetahui bahwa semangat serta kedudukan yang tinggi (dalam urusan dunia) masih belum bisa menyenangkan hatinya (orangtua) sampai melihat mereka (anak-anak) taat kepada Robbnya, berilmu dan beramal” (Taisir Al-Karimi Ar-Rahman, 587).
Al-Hasan Al-Bashri juga mengatakan,
لَيْسَ شَيْءٌ أَقَرُّ لِعَيْنِ المؤْمِنِ مِنْ أَنْ يَرَى زَوْجَتَهُ وَأَوْلاَدَهُ مُطِيْعِيْنَ للهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Tidak ada sesuatu yang lebih menyejukkan mata (menyenangkan hati) seorang mukmin selain melihat istri dan keturunannya taat pada Alloh ‘Azza wa Jalla” (Disebutkan dalam Zaad Al-Masiir pada penafsiran Surat Al-Furqan ayat 74).
Kedua: Akhlak mulia, akhlak yang baik adalah buah dari pemahaman yang baik dan juga pendidikan yang baik. Bisa jadi seseorang pendidikannya baik tapi akhlaknya kurang, pemahamannya baik tapi akhlaknya buruk, kenapa? Karena memang untuk membentuk akhlak mulia ada beberapa variabel yang perlu diperhatikan:
1. Kelembutan sebagai hukum asal dalam berinteraksi, dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شيء إِلاَّ زَانَهُ ، وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شيء إِلاَّ شَانَهُ
“Sejatinya tidaklah kelembutan ketika ada pada sesuatu pasti akan menghiasinya, dan tidaklah ketika dicabut dari sesuatu pasti akan merusaknya” (HR. Muslim, 259).
Beliau pun mencela orang-orang yang tidak memiliki kelembutan,
مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ ، يُحْرَمِ الْخَيْرَ
“Barang siapa yang dihalangi dari kelembutan maka dia akan dihalangi dari kebaikan” (HR. Muslim 2592).
Pentingnya kelembutan juga disebabkan kecintaan Allah pada hal tersebut,
 إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ
“Sejatinya Allah mencintai kelembutan dalam seluruh urusan” (HR. Bukhari, 6024).
Bahkan disebutkan bahwa salah satu tolok ukur kebaikan suatu keluarga adalah kelembutan yang ada pada mereka,
إِذَا أَرَادَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِأَهْلِ بَيْتٍ خَيْرًا أَدْخَلَ عَلَيْهِمُ الرِّفْقَ
“Ketika Allah menginginkan kebaikan pada penghuni rumah, maka Alloh akan masukkan kelembutan kepada mereka” (HR. Ahmad, 24427, Shahih Al-Jami’ Ash-Shogir, 303).
Namun, harus diketahui bahwa lemah lembut bukan berarti tidak bisa tegas, lihat bagaimana sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat ‘Usamah bin Zaid hendak meminta keringanan hukuman bagi pencuri,
وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya” (HR. Bukhari, 6788 dan Muslim, 1688).
2. Contoh yang baik, sebagai orangtua yang berharap anaknya berkahlak mulia sudah sewajarnya untuk menjadi contoh atau teladan baik bagi anak-anaknya.
Harus dicatat bahwa menjadi teladan adalah salah satu tugas dari seorang pemimpin, sungguh tidak layak ketika pemimpin justru memberikan contoh yang buruk kepada orang yang dipimpinnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَاْلأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ
“Kalian semua adalah pemimpin, dan semua dari kalian akan bertanggung jawab atas orang yang dipimpin. Seorang Amir (raja) adalah pemimpin, seorang suami pun pemimpin atas keluarganya, dan isteri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya” (HR. Muslim, 1829).
إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ أَحَفِظَ ذَلِكَ أَمْ ضَيَّعَ؟ حَتَّى يَسْأَلَ الرَّجُلَ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
“Sejatinya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya. Apakah ia jaga ataukah ia sia-siakan, bahkan seseorang ditanya tentang keluarganya” (HR. Ibnu Hibban, 1562).
Jangan sampai bapak melarang anaknya bersuara tinggi tapi Ia sendiri suka membentak istrinya. Jangan sampai bapak melarang anak ngerokok tapi Ia minta tolong belikan rokok. Oleh karena itu, hendaklah yang pertama kali dilakukan orangtua adalah memperbaiki diri dahulu, kesalahan yang dilakukan anak-anak erat hubungannya dengan kesalahan yang dilakukan orangtua . Dimata anak, orangtua adalah model yang mudah ditiru, sesuatu yang baik menurut anak adalah apa yang orangtua lakukan, dan sesuatu yang jelek menurut anak adalah apa yang orangtua tinggalkan.
3. Lingkungan yang baik, di antara bentuk kepemimpinan orangtua kepada anggota keluarganya adalah perhatian dengan siapa anak-anaknya bergaul dan bagaimana anak-anaknya bersosial.
Kita semua tau besarnya faktor lingkungan dalam membentuk karakter manusia, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اَلرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang bergantung pada agama temannya. Maka hendaknya ia melihat dengan siapa dia berteman” (HR. Abu Daud, 4833 dan Tirmidzi, 2378).
Maka sudah selayaknya orangtua juga turut perhatian dengan teman-teman anaknya, jika baik alhamdulillah, jika ada yang tidak baik maka diminta untuk berteman dengan yang baik saja, dan jika tidak ada yang baik maka seruan hijrah terbuka untuknya.
4. Guru yang baik, guru di sini bisa berarti personal maupun instansi, personal berarti ustadz dan instansi berarti sekolah atau pondok.
Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah mengatakan,
كَانُوا إِذَا أَتَوْا الرَّجُلَ لِيَأْخُذُوا عَنْهُ ، نَظَرُوا إِلَى هديه ، وَإِلَى سَمْتِهِ ، وَ صلاته ثم أخذوا عنه
“Para salaf dahulu jika mendatangi seseorang untuk diambil ilmunya, mereka memperhatikan dulu bagaimana akidahnya, bagaimana akhlaknya, bagaimana sholatnya, baru setelah itu mereka mengambil ilmu darinya” (HR. Ad-Darimi, 434).
Memilih sumber ilmu atau tempat belajar itu harus selektif, tidak boleh sembarangan. Betapa banyak kita dapati saudara kita yang mengaku belajar agama tapi punya pemikiran nyleneh, pemahaman menyimpang, bahkan berdalil dengan asal-asalan, apalagi di zaman fitnah seperti ini. Karenanya Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata,
لَم يَكُونُوا يَسألُونَ عَنِ الإسنادِ ، فَلمّا وقَعَتِ الفِتنَةُ قالُوا : سَمُّوا لَناَ رِجاَلكُم : فَيُنظَرُ إلى أهلِ السُّنَّةِ فَيُؤخَذُ حَدِيثُهُم ، ويُنُظَرُ إلى أهلِ البِدَعِ فَلاَ يُؤخَذُ حَدِيثُهُم
“Dulunya para Salaf tidak menanyakan tentang sanad (silsilah periwayatan hadits), lalu ketika terjadi fitnah (dengan banyaknya orang-orang yang menyimpang dan meyelisihi sunnah Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam ) para Salafpun (mulai bertanya tentang sanad). Mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami rawi-rawi kalian,’ Kemudian para Salaf melihat kepada (rawi-rawi tersebut) jika mereka adalah Ahlus sunnah maka hadits riwayat merekapun diterima, tapi jika mereka adalah ahli bid’ah maka hadits riwayat mereka ditolak” (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/15 , Syarah ‘Ilal Tirmidzi, 1/54).
Demikian gambaran umum dari Pendidikan anak dalam islam, semoga Allah mudahkan kita untuk menjadi pendidik yang baik bagi anak-anak kita, serta menjadikan anak-anak kita sebagai anak yang shalih shalihah.
Wallahu A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله
Senin, 08 Sya’ban 1442 H/ 22 Maret 2021 M



Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله
Beliau adalah Alumni STDI IMAM SYAFI’I Kulliyyatul Hadits, dan Dewan konsultasi Bimbingan Islam,
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله  
klik disini

 

Ustadz Rosyid Abu Rosyidah, S.Ag., M.Ag.

Beliau adalah Alumni S1 STDI Imam Syafi’I Jember Hadits 2010 - 2014, S2 UIN Sunan Kalijaga Qur’an Hadits 2015 - 2019 | Bidang khusus Keilmuan yang pernah diikuti beliau adalah Dynamic English Course (DEC) Pare Kediri, Mafatihul Ilmi (Ustadz Dzulqarnaen) sedang diikuti | Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial Kuliah Pra Nikah Naseeha Project

Related Articles

Back to top button