ArtikelTafsir

Tafsir Surat Adh-Dhuha

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Baru-baru ini beredar penjelasan mengenai tafsir dari surat Adh-Dhuha yang menyimpang. Berikut artikel mengenai tafsir surat Adh-Dhuha. Semoga bermanfaat.

Tafsir Surat Adh-Dhuha

Surat Adh Dhuhaa, surat yang populer dibaca oleh kaum muslimin. Surat dengan 11 ayat yang berada di urutan ke -93 di juz ke-30 dari al Quran ini merupakan surat Makkiyah, turun sebelum hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Mengetahui kandungan dan makna surat ini sangatlah penting sehingga ketika kita membaca atau mendengarnya di dalam shalat, kita bisa meraih shalat yang khusyu karena kita mengetahui makna dalam lantunan ayat suci tersebut.

Isi surat Adh Dhuha

tafsir surat adh-dhuha
 surat adh-dhuha

 

وَالضُّحَىٰ ﴿١﴾ وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ ﴿٢﴾ مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ﴿٣﴾ وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَىٰ ﴿٤﴾ وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَىٰ ﴿٥﴾ أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ ﴿٦﴾ وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ﴿٧﴾ وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَىٰ ﴿٨﴾ فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ ﴿٩﴾ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ ﴿١٠﴾ وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ﴿١١

    1. Demi waktu matahari sepenggalahan naik.
    2. Dan demi malam apabila telah sunyi.
    3. Rabbmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.
    4. Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan.
    5. Dan kelak pasti Rabbmu memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
    6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim lalu Dia melindungimu?
    7. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberikan petunjuk?
    8. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan lalu Dia memberikan kecukupan?
    9. Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang!
    10. Dan terhadap orang yang minta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya!
    11. Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).

Berikut, mari kita sedikit menyelami makna setiap ayat dalam surat ini.

Asbabun Nuzul

Berbicara tentang sebuah surat dalam al Quran, akan lebih lengkap jika diikuti pembicaraan seputar asbabun nuzul surat tersebut sehingga kita mendapatkan pemahaman yang lebih utuh mengenai surat. Walaupun demikian, palajaran ayat-ayat dalam al Quran tidaklah dibatasi hanya untuk hal yang terkait dengan Asbabun Nuzul nya saja, namun pelajaran tersebut juga bisa diambil pada setiap kasus yang serupa. Kaidah ini dikenal dengan dengan ungkapan

العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

Pelajararan yang diambil dari al Quran itu sesuai dengan keumuman lafalnya, bukan hanya terkait kekhususan sebab turunnya.

Sebagai contoh surat Adh Dhuhaa ini, walaupun surat ini turun terkait dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam namun pelajaran ayat ini berguna untuk seluruh umat manusia, bukan hanya untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun Asbabun Nuzul surat ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Jundub bin Abdillah bin Sufyan al Bajali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

اِحْتَبَسَ جِبْرِيْلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ، فَقَالَتْ اِمْرَأَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ: أَبْطَأَ عَلَيْهِ شَيْطَانُهُ. فَنَـزَلَتْ: وَالضُّحَى. وَاللَّـيْلِ إِذاَ سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى

Jibril ‘alaihisallam tertahan (tidak kunjung datang) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, , lalu berkata seorang wanita dari Quraisy : “Setannya terlambat datang kepadanya,” maka turunlah :

وَالضُّحَىٰ ﴿١﴾ وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ ﴿٢﴾ مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ﴿٣

Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi. Rabb-mu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.

(HR Bukhari (1/378 no. 1073, 4/1892 no. 4667, 4/1906 no. 4698), Muslim (3/1421-1422 no. 1797), dan lain-lain. Lihat pula ash Shahih al Musnad min Asbab an Nuzul, hlm 267 dan al Isti’aab fii Bayan al Asbaab (3/520)).

Maka surat ini turun untuk memberikan hiburan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas celaan orang-orang musyrik Quraisy yang menghina beliau. Sekaligus sebagai bantahan atas hinaan mereka, bahwa Allah tidak sedang meninggalkan ataupun membenci Muhammad.

Allah Bersumpah

Dalam 2 ayat pertama, Allah ta’ala bersumpah dengan menyebutkan makhluk-Nya:

وَالضُّحَىٰ ﴿١﴾ وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ ﴿٢

“Demi waktu dhuha, demi malam apabila telah sunyi.” (QS. Adh Dhuha: 1-2)

Ketika Allah bersumpah dalam al Quran dengan makhlukNya, maka terkandung makna di dalamnya mengenai keagungan makhluk ciptaan Allah tersebut untuk selanjutnya agar manusia pun menyadari keagungan Zat yang telah menciptakan makhluk tersebut yaitu Allah ta’ala. Adapun dalam ayat ini, Allah ta’ala bersumpah dengan 2 makhluknya yang berbeda 180 derajat; waktu dhuha dan waktu malam. Waktu dhuha keadaan terang benderang, manusia sedang bersemangat-semangatnya untuk bertebaran di atas muka bumi mencari karunia Allah. Waktu malam keadaan gelap gulita manusia pun kebanyakan sedang beristirahat dari segala lelah dan letih yang telah dikerjakannya di siang hari.

Siapa yang telah membuat satu titik di permukaan bumi ini bisa terang di satu waktu, kemudian bisa gelap di waktu yang lain? Siapa yang menjadikan manusia bisa aktif bekerja di satu waktu, kemudian dia perlu istirahat di waktu yang lain? Tentunya Allah ta’ala. Perhatikan pula, sebagaimana Allah bisa mengubah kondisi bumi ini dari terang menjadi sangat gelap dan Allah membuat manusia yang sekuat apapun ketika terjaga menjadi manusia yang lemah ketika tertidur, demikian pula Allah bisa merubah keadaan manusia sesuai kehendakNya dari bahagia menjadi sengsara, dari di atas menjadi di bawah, dari senang menjadi susah. Allah mengubah-ubah kondisi manusia sehingga manusia itu teruji, mana yang bisa bersyukur dan tidak, mana yang bisa bersabar dan tidak.

Penyebutan makhluk oleh Allah dalam Al Quran sebagai sumpah adalah sesuatu yang sering dijumpai. Demi waktu dhuha, demi waktu malam, demi matahari, demi bulan, demi bintang, demi jiwa manusia dan lain sebagainya. Mengenai hal ini, disebutkan dalam tafsir Al Muyassar:

ويقسم الله بما يشاء من مخلوقاته، أما المخلوق فلا يجوز له أن يقسم بغير خالقه، فإن القسم بغير الله شرك

Allah ta’ala bisa bersumpah menyebut apapun makhluk yang Dia kehendaki. Adapun makhluk, dia tak boleh bersumpah dengan menyebut apapun selain Sang Penciptanya. Bersumpah dengan menyebut nama selain Allah adalah kesyirikan. (Tafsir al Muyassar surat Adh Dhuhaa)

Hal ini juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu:

إن الله ينهاكم أن تحلفوا بآبائكم، فمن كان حالفًا فليحلف بالله أو ليصمت

“Sesungguhnya Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan menyebut nama bapak moyang kaliang. Siapa yang mau bersumpah, hendaklah bersumpah dengan nama Allah atau diam saja” (HR Bukhari , Muslim)

Isi Sumpah Allah

Setelah Allah ta’ala bersumpah dengan menyebutkan waktu Dhuha dan waktu malam, Allah menyampaikan isi sumpahnya:

مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ﴿٣﴾ وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَىٰ ﴿٤﴾ وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَىٰ ﴿٥

Rabbmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan. Dan kelak pasti Rabbmu memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. (QS. Adh-Dhuhaa: 3-5)

Ayat ke-3 membantah pernyataan orang-orang musyrik yang menyudutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebut bahwa Allah telah meninggalkan dan benci kepada beliau sehingga dalam masa yang lama wahyu tidak turun. Sekali-kali Allah tidak meninggalkan Nabi bahkan akan terus memperhatikannya dengan sebaik-baik perhatian dan akan meninggikan terus derajat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula Allah tidak membenci Nabi, bahkan akan senantiasa mencintainya. Demikianlah kesempurnaan perhatian Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ayat ke-4 lebih menegaskan lagi ayat ke-3. Allah mengabarkan bahwa seiring dengan berjalannya waktu, keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan semakin baik. Setiap waktu akan terus bertambah baik sehingga “yang akhir lebih baik bagimu daripada di permulaannya”. Ada juga ulama yang menafsirkan bahwa kehidupan di akhirat akan lebih baik daripada kehidupan di dunia untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal tersebut juga berlaku untuk hamba-hamba Allah lainnya yang beriman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits Qudsi, bahwa Allah ta’ala berfirman:

أَعْدَدْتُ لِعِبَادِى الصَّالِحِينَ مَا لاَ عَيْنَ رَأَتْ، وَلاَ أُذُنَ سَمِعَتْ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

“Aku telah sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh kenikmatan yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan belum pernah pula terbersit dalam hati manusia.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Ayat ke-5 menyebutkan bagaimana Allah membuat akhir kehidupan Nabi lebih baik dari permulaannya, Allah kan senantiasa memberikan kebaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga akhirnya hati beliau ridha dengan kebaikan-kebaikan tersebut dan hilanglah kesedihan dari diri beliau atas celaan orang-orang musyrik. Demikian pula ada ulama yang menafsirkan “karunia Rabb” tersebut dengan karunia di akhirat yang diberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga beliau pun ridha dengan karunia Allah tersebut.

Buya Hamka mengatakan, “Bahwa banyaklah karunia dan anugerah yang akan diberikan kepadanya kelak, terutama anugerah ketinggian gengsi dan martabat, kesempurnaan jiwa dan kebesaran pribadi, ilmu dunia dan akhirat, pengetahuan tentang umat-umat yang dahulu, kemenangan menghadapi musuh-musuh, ketinggian agama dan penaklukkan beberapa negeri baik yang terjadi di zaman beliau sendiri ataupun di zaman-zaman khalifah-khalifah beliau; dan akan tersebarlah agama ini ke seluruh dunia, ke timur dan ke barat; yang semuanya itu akan mendatangkan ridha atau senang dan bahagia dalam hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Tafsir al Azhar, 9/604)

Nikmat Allah Yang Telah Diberikan Kepada Rasulullah

Kemudian Allah ta’ala menyebutkan sekaligus mengingatkan berbagai nikmat dan perhatianNya yang telah diberikan kepada Nabi shalallahu’alaihi wa sallam:

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ ﴿٦﴾ وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ﴿٧﴾ وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَىٰ ﴿٨

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberikan petunjuk? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan lalu Dia memberikan kecukupan? (QS. Adh Dhuha: 6-8)

Dalam ayat yang ke-6, Allah mengingatkan nikmatNya kepada Nabi yang terkait dengan kondisi beliau di kala kecil, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim lalu Dia melindungimu?”. Yang dimaksud dengan yatim adalah “Anak kecil yang kehilangan ayahnya sebelum baligh” (Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihin 2/45). Demikianlah, Allah ta’ala sudah memberikan perhatian kepada Nabi shallallahu ‘alaihi sallam semenjak beliau kecil kemudian senantiasa melindunginya sampai beliau tumbuh dewasa dan akhirnya Allah memberikan risalah ini kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pada ayat yang ke-7, Allah menyebutkan nikmat lainnya yang diberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu nikmat ilmu dan hidayah. “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberikan petunjuk?”. Kata Imam As Sa’di, “Maknanya: Dia mendapatimu dalam keadaan tak tahu apa itu al Kitab dan apa itu Iman, maka Dia mengajarimu yang tidak kamu ketahui dan memberi taufik kepadamu untuk beramal dan berakhlak yang terbaik” (Taisir Karimirrahman, Surat Adh Dhuha). Hal ini selaras dengan firman Allah:

وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَـٰكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا 

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. (Asy Syura: 52)

Demikianlah, tanpa ilmu dan hidayah yang diberikan oleh Allah, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengetahui ilmu. Apalagi dengan kita?

Pada ayat yang ke-8, Allah menyebutkan nikmatNya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, nikmat kecukupan, “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan lalu Dia memberikan kecukupan?”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya adalah seorang penggembala domba kemudian akhirnya Allah pun bukakan berbagai negeri untuk beliau. Imam Ibnu Sa’di mengatakan, “Dia yang telah menghilangkan kekurangan harta yang ada padamu, Dia juga akan menghilangkan kekurangan-kekurangan lainnya darimu. Dia yang telah memberikan kecukupan, melindungimu, menolongmu, memberikan petunjuk padamu, maka balaslah nikmat tersebut dengan rasa syukur.” (Taisir Karimirrahman, Tafsir Surat Adh Dhuha)

Pada ayat 6-8 ini, Allah ta’ala menyebut berbagai nikmatNya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun demikian, bukan berarti kita tidak bisa mengambil pelajaran dari ayat ini karena nikmat-nikmat tersebut pun dengan kadar yang berbeda-beda telah Dia berikan juga kepada kita. Mungkin ada di antara kita yang dahulunya anak yatim, kemudian Allah menjaga kita melalui ibu, saudara, kerabat sehingga kita bisa tumbuh dewasa dengan baik. Dahulu kita juga tidak mengenal agama, tidak bisa baca al Quran, tidak tahu cara sholat dan lain-lain kemudian Allah pun memberi hidayah pada kita melalui orang tua atau guru-guru kita yang telah mengajarkan ilmu agama pada kita. Dahulu kita pun tidak punya apa-apa bahkan kita semua lahir ke dunia ini tanpa membawa apa-apa, kemudian Allah memberikan kecukupan pada kita. Karenanya, kewajiban kita sebagaimana juga Allah perintahkan kepada Nabi-Nya, untuk bersyukur atas nikmat-nikmat tersebut.

Bagaimana Menyikapi Nikmat-Nya?

Kemudian Allah ta’ala memerintahkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus memberikan petunjuk kepada beliau dan kepada kita semua bagaimana menyikapi nikmat-nikmat tersebut. Allah berfirman:

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ ﴿٩﴾ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ ﴿١٠﴾ وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ﴿١١

Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang! Dan terhadap orang yang minta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya! Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). (QS. Adh-Dhuha: 9-11)

Di ayat yang ke-9, Allah menjelaskan kepada Nabi untuk bersikap baik dengan anak yatim, “Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang!”. Kata Syaikh Ibnu Utsaimin mengenai makna ayat ini, “Ingatlah dirimu sendiri ketika dahulu kamu dalam keadaan yatim maka janganlah engkau berbuat sewenang-wenang kepada mereka, akan tetapi mudahkanlah urusan mereka”. (Syarah Riyadhus Shalihin 2/49)

Kemudian ayat selanjutnya Allah memberi petunjuk kepada Nabi untuk orang yang meminta sesuatu dari beliau, “Dan terhadap orang yang minta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya!”. Ada 2 makna ‘minta-minta’ dalam ayat ini:

  1. Minta-minta harta
  2. Minta-minta ilmu

Kata Syaikh Ibnu Utsaimin tentang ayat ini, “Yang nampak dari konteks kalimat ayat adalah orang yang minta-minta harta. Dia mengatakan, ‘beri saya harta’. Maka terhadap orang yang meminta harta jangan kamu menghardiknya. Allah berfirman pada ayat sebelumnya yang artinya, ‘Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan lalu Dia memberikan kecukupan’. Karena Allah sudah membuatmu berkecukupan maka jangan kamu hardik orang yang meminta, ingatlah kondisimu dulu ketika kamu dalam keadaan fakir”.

Beliau melanjutkan, “Boleh jadi juga yang dimaksud makna ‘minta-minta’ itu selain meminta-minta harta adalah meminta-minta ilmu. Maka orang yang bertanya tentang ilmu kepadamu, jangan dihardik. Bahkan hadapi dengan kelapangan dada karena seandainya dia tidak perlu ilmu, seandainya bukan karena rasa takutnya kepada Allah, dia tak akan bertanya tentang ilmu, maka jangan dihardik.” (Syarah Riyadhus Shalihin 2/49)

Kemudian pada ayat terakhir Allah menjelaskan kepada Nabi untuk senantiasa menyebut-nyebut nikmatNya, “Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”.

Ada 2 bentuk menyebut nikmat Allah:

  1. Menyebut dengan lisan
  2. Menyebut dengan perbuatan

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Menyebut-nyebut dengan lisan seperti Anda mengatakan, ‘Allah memberi nikmat ini kepadaku’, ‘dulu aku fakir, sekarang Allah beri kecukupan’, ‘dulu aku tak tahu, kemudian Allah mengajarkanku’ dan kalimat-kalimat semacam itu.”

Beliau melanjutkan, “Menyebut-nyebut dengan perbuatan adalah dengan menampakkan nikmat Allah tersbut pada dirimu. Jika Anda orang mampu jangan berpakaian seperti bajunya orang miskin tapi pakailah pakaian yang sesuai dengan kemampuan. Demikian pula dengan rumah, kendaraan dan hal-hal lainnya. Biarkan manusia mengetahui nikmat yang Allah berikan pada diri Anda, ini termasuk bagian menyebut-nyebut nikmat Allah. Di antara bentuk menyebut-nyebut nikmat Allah adalah dengan mengajarkan ilmu dan membicarakan ilmu kepada manusia jika Allah memberi nikmat ilmu tersebut pada Anda.” (Syarah Riyadhus Shalihin 2/50)

Demikian tafsir surat adh Dhuha secara ringkas yang bisa kami jelaskan, semoga mengingatkan kita untuk senantiasa bersyukur atas nikmat yang Allah berikan dan kita tidak berbuat sombong dan zhalim di hadapan manusia yang mungkin kita anggap rendahan karena kalau bukan nikmat Allah kepada kita niscaya kita pun berada pada posisi yang rendah.

Wallahu a’lam bishshawab

Referensi

Taisir Karimirrahman, Imam Ibnu Sa’di
Syarah Riyadhus Shalihin, Syaikh Ibnu Utsaimin
Tafsir al Azhar, Buya Hamka

Ditulis Oleh:
Ustadz Amrullah Akadhinta حفظه الله
(Kontributor Bimbinganislam.com)

 



Ustadz Amrullah Akadhinta, ST.
Beliau adalah Sekretaris jenderal KIPMI, direktur operasional BimbinganIslam (BiAS), direktur TwitUlama, dan aktif di yayasan dan lembaga lainnya.
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Amrullah Akadhinta حفظه الله  
klik disini

Ustadz Amrullah Akadhinta ST

Beliau adalah Alumni S1 Teknik Sipil UGM, Alumni Ma'had Al-'Ilmi, | Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial sebagai Pengasuh Twitulama. Ketua Yayasan Bimbingan Islam. Sekretaris KIPMI. Pembina Yayasan Muslim Merapi

Related Articles

Back to top button