
Solusi Untuk Menasehati Dan Mengingatkan Pemimpin
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan solusi untuk menasehati dan mengingatkan pemimpin. Selamat membaca.
Pertanyaan:
Bismillāh. Assalāmu’alaikum ustadz. Semoga Allāh selalu merahmati ustadz dan seluruh umat muslim. Ustadz, di zaman salaf pemimpin diingatkan secara langsung oleh ‘ulama dan ini mudah dilakukan (mohon dikoreksi jika salah). Tapi di zaman sekarang sulit untuk mengingatkan pemimpin secara langsung terutama di Indonesia. Bagaimana solusinya ustadz? Sedangkan jika tidak diingatkan bisa terjadi kezhaliman. Jazākallāhu khairan.
(Ditanyakan oleh Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)
Jawaban:
Waalaikumslam warahmatullah wabarokatuh.
Aamiin, terima kasih atas doanya, dan semoga juga Allah mengumpulkan kita semua di dalam surga-Nya.
Bila kita membandingkan apa yang terjadi antara zaman salaf dengan zaman now di negara kita, sejatinya tidaklah seluruhnya seperti apa yang ditanyakan. Bahkan bisa jadi lebih berat dibandingkan dengan zaman sekarang. Sejenak, kita coba melihat kisah seorang Imam dari salaf shalih, fitnah yang terjadi pada zaman Imam Ahmad, begitu sulitnya keadaan zaman tersebut.
Kisah Imam Ahmad
Tetapi beliau tetap memegang erat prinsip dan bagaimana beradab dan menasehati seorang pemimpin ketika dianggap berbuat salah dan melakukan kedzalimin. Seorang muslim hendaknya melihat proses dalam melakukan suatu amalan, tidak hanya karena rasa dan nafsu yang ingin dilakukan.
Pun juga tidak hanya melihat keinginan dan hasil yang ingin dicapai, namun seorang hamba juga harus melihat bagaimana aturan Islam bisa disinkronkan, sehingga amal ibadah yang kita berharap ada pahala dalam setiap gerakan kita dari Dzat yang Maha Pencipta, walaupun bisa jadi hasil yang diharapkan tidak kunjung datang.
Lihat kembali contoh dari seorang imam besar dalam bersikap sesuai syariat yang diajarkan Rasulullah (ﷺ).
Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Dari zamannya khalifah Harun ar-Rasyid, bagaimana ia menindak tegas kepada orang yang menentang terhadap kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh,
“Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun.’”
Kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun mulai memaksa kaum muslimin, khususnya para ulama, untuk meyakini bahwa Alquran adalah makhluk. Al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya.
Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu.
Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya.
Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat Imam Ahmad tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah.
Akhirnya Imam Ahmad dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu Imam Ahmad shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada Imam Ahmad.
Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau.
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Imam Ahmad dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan.
Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya. Bahkan dengan kalimat yang terkenal dari beliau dengan tetap menghormati dan mendoakan kepada pemimpinnya,”
إِنِّي لَأَدْعُوْ لَهُ بِالصَّلاَحِ وَالْعَافِيَةِ، لَئِنْ حَدَثَ بِهِ حَدَثٌ لَتَنْظُرَنَّ مَا يَحِلُّ بِالإِسْلاَمِ
Sesungguhnya aku mendoakan untuk penguasa agar diberi kebaikan dan ‘afiyah (keselamatan). Jika terjadi persitiwa (seperti pemberontakan atau pembunuhan atau semacamnya-pen ) pada penguasa, kamu benar-benar akan melihat apa (yakni keburukan) yang akan menimpa Islam. [Kitab as-Sunnah karya al-Khallâl, hlm. 84]
Imam Ahmad mengatakan untuk selalu bersabar dengan sikap pemerintah yang dianggap mungkar, ‘Wajib bagi kalian untuk mengingkarinya dalam hati kalian dan jangan kalian meninggalkan ketaatan kepadanya dan jangan kalian memecah belah barisan kaum muslimin, serta menumpahkan darah kalian bersama darah kaum muslimin. Perhatikan akibat yang akan terjadi dari perbuatan kalian. Bersabarlah hingga orang yang baik bisa tentram atau orang-orang yang fajir dibinasakan’.
Beliaupun menasehati mereka dengan ucapan yang banyak, namun aku tidak menghafalkannya dan mereka pun pergi. Aku pun mendatangi Abu Abdillah bersama ayahku setelah mereka semua pergi.
Maka ayahku berkata kepada Abu Abdillah: ‘Kita memohon kepada Allah keselamatan bagi diri kita dan umat Muhammad. Aku tidak suka seseorang melakukan hal ini’. Ayahku berkata: ‘Wahai Abu Abdillah, apakah memberontak itu benar menurutmu?’.
Beliau berkata: ‘Tidak, ini menyelisihi atsar yang memerintahkan kita untuk bersabar’. Kemudian Abu Abdillah menyebutkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (meskipun dia memukulmu maka bersabarlah, …).”
[Diriwayatkan oleh Hanbal dalam “Mihnah Imam Ahmad” hal 70-72 dan Al-Khallal dalam “As-Sunnah” 90.]
Sebagaimana yang Allah firmankan,”
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allâh dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa’/4: 59)
Juga sebagaimana yang di nasihatkan oleh syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu terkait dengan faidah dari kisah Imam Ahmad :
“Khalifah Ma’mun membunuh para ulama yang tidak mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Dia memaksa manusia untuk mengucapkan perkataan batil ini. Tidak pernah sedikitpun kita mendengar dari Imam Ahmad dan selainnya, bahwa ada seseorang dari mereka yang berdiam diri (aksi mogok) di masjid selamanya. Dan kita juga tidak pernah mendengar, bahwa para ulama tersebut menyebarkan aib para pemimpin (kaum muslimin) dalam rangka untuk menanamkan kedengkian, permusuhan dan kebencian di dalam hati rakyat terhadap pemimpinnya. Kita tidak pernah membolehkan demonstrasi atau mogok kerja atau yang semisalnya. Padahal masih ada jalan lain (yang syar’i) untuk memperbaiki. …”.
(Jaridatul Muslimin edisi 540 hal 10, hari Jum’at 11 Muharram 1416 H)
Solusi Untuk Menasehati Dan Mengingatkan Pemimpin
Imam al-Barbahâri rahimahullah berkata:
إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلُ يَدْعُوْ عَلَى السُّلْطَانِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ هَوَى، وَإِذَا سَمِعْتَهُ يَدْعُوْ لِلسُّلْطَانِ بِالصَّلاَحِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ سُنَّةٍ، فَأُمِرْنَا أَنْ نَدْعُوَ لَهُمْ وَلَمْ نُؤْمَرْ أَنْ نَدْعُوَ عَلَيْهِمْ وَإِنْ جَارُوْا وَظَلَمُوْا، لِأَنَّ جَوْرَهُمْ عَلىَ أَنْفُسِهِمْ، وَصِلاَحِهِمْ لِأَنْفُسِهِم وَلِلْمُسْلِمِيْنِ
“Jika engkau melihat seseorang mendoakan kecelakaan kepada penguasa, maka ketahuilah bahwa dia itu pengikut hawa nafsu. Jika engkau mendengarnya mendoakan kebaikan untuk penguasa, maka ketahuilah bahwa dia itu pengikut Sunnah.”
Kemungkaran dari siapa pun harus tetap diingkari, termasuk di dalamnya kepada kemungkaran pemerintah. Hanya saja di dalam mengingkari harus dengan cara yang syar`i dengan tetap menjaga kehormatan pemerintah dan menolak dengan cara bijak. Hasil apa pun, semua diserahkan kepada Allah, selam proses dijalankan dengan benar, karena hidayah semua di tangan Allah.
Wallahu a`lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله
Rabu, 20 Dzulhijjah 1443 H/ 20 Juli 2022 M
Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di sini