Artikel

Seni Akhlak Taghaful

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Seni Akhlak Taghaful

Maha suci Allah yg telah menciptakan manusia, dan memberi mereka fitrah untuk saling berinteraksi dan berbaur satu sama lain. Dengan demikian dapat dikatakan peradaban manusia terbentuk karena kebiasaannya. Di balik hikmah Sang Pencipta bagi setiap hamba-Nya adalah bahwa manusia saling membutuhkan dalam mencapai tujuan hidupnya di dunia ini, maka ada perintah agar saling tolong menolong. Dan dianjurkan bagi manusia agar hidup berdampingan (bergaul) antara satu dengan yg lainnya.

Salah satu cara bergaul yg baik adalah mulailah pergaulan (hubungan) dengan masyarakat dari lingkup keluarga, lalu kembangkan ke lingkup yg lebih luas dari itu. Mulailah dari tetangga, lingkungan kerja, persahabatan dan lainnya. Deskripsi ini sebagai cerminan hidup yang menggambarkan karakter dan perilaku manusia dalam berhubungan satu sama lain, karena manusia adalah makhluk sosial, bukan malaikat yg selalu taat. Pasti akan selalu ada perilaku dan kesalahan yang dapat mengganggu hubungan di antara manusia dalam semua lingkup kehidupan, mulai dari keluarga, persahabatan, tetangga, dan sebagainya, pastinya hal tersebut dapat menyebabkan pertengkaran, kebencian dan perpecahan.

Kenyataannya hidup itu tidak selalu lurus, kita tidak akan aman dari banyaknya celaan/fitnah, juga tidak aman dari kesalahan yg sengaja ataupun tidak disengaja.

Oleh karena itu, tidak cukup bagi seseorang hanya berakhlak mulia saja, namun seseorang harus memiliki kebijakan dalam berakhlak. Yaitu akhlak terindah sebagai bentuk kewaspadaan saat bergaul dengan sesama manusia. Terutama dalam lingkup keluarga, persahabatan dan kekerabatan, sehingga kehidupan bisa berjalan damai dan harmonis. Tiada lain ia adalah Taghaful

Apa Itu Taghaful?

Taghaful adalah etika pura-pura tidak tahu terhadap kesalahan/kekeliruan orang lain, mengabaikan penyebutan kesalahan orang lain, sebagai tanda kelembutan bagi yg disalahkan, agar tidak menimbulkan rasa benci dan pengkhianatan lebih lanjut, sehingga tidak melemahkan rasa percaya dirinya, atau menyelinap ke dalam dirinya rasa frustrasi terhadap saudaranya, serta terhindar dari sebab retaknya hubungan antara manusia melalui cara perpecahan atau kekeliruan. (https://al-maktaba.org/book/31621/66040)

Sikap taghaful, ternyata juga mencakup etika pura-pura tidak tahu apa yang telah kita kobarkan kepada saudara. Inilah yang ada dalam naungan ukhuwah atau persaudaraan dalam Islam.

Sikap ini termasuk manhaj (pendekatan) tarbawi (pendidikan), dakwah dan sosial, ia memiliki dampak yang baik bagi jiwa, ia banyak dibutuhkan dalam setiap kasus dan peristiwa, sebab ia termasuk akhlak yg mulia. Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata,

ما زال التغافل من فعل الكرام“.

“Taghaful akan senantiasa menjadi ciri khas akhlak mulia”

Berkata Al A’masy rahimahullah

التغافل يطفئ شرًا كثيرًا“.

“Taghaful akan memadamkan banyaknya kejelekan”

Sufyan rahimahullah berkata:

ما زال التغافل من شِيَم الكرام

“Taghaful akan senantiasa menjadi karakter (orang-orang) yg berakhlak mulia”.

Berkata Abu Tammam rahimahullah:

ليس الغبيُّ بسيِّدٍ في قومِهِ , لكنَّ سيِّدَ قومِه المُتغَابِي

“Orang bodoh bukanlah penguasa dalam bangsanya, tetapi penguasa bangsanya adalah orang-orang pilihan”.

Dari sini dapat kita ambil faedah tentang pelajaran akhlak mulia dari adab taghaful, sebagaimana yg disebutkan oleh ibnu juraij dari atho’ bin abi rabi’ah bahwa ia berkata, sesungguhnya seseorang telah menceritakan padaku tentang suatu permasalahan, maka aku diam seolah belum pernah mendengarnya sebelumnya, padahal aku sudah mendengarnya sebelum ia dilahirkan. (Tarikh Madinah Dimasyqa: 40/401)

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Melupakan kesalahan orang lain adalah sifat orang orang mulia. Karena manusia tak ada yang lepas dari kesalahan dan dosa. Apabila seseorang selalu memperhatikan tiap kesalahan orang lain, ia akan lelah dan membuat orang lain lelah. Orang yang berakal dan cerdas adalah orang yang tidak menghitung hitung kesalahan saudaranya, tetangganya, temannya dan keluarganya. Oleh karena itu imam Ahmad berkata, “Sembilan persepuluh akhlak yang baik ada pada taghaful.” (Tahdzibul Kamal 19/230).

Dan melupakan kesalahan orang lain, serta meninggalkan sifat suka mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang lain termasuk salah satu teladan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal pendidikan dan perbaikan.

Ingatlah kejadian yg pernah Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam alami tatkala beliau membicarakan suatu peristiwa kepada istrinya Hafshah Radhiyallahu ‘anha kemudian beliau menyuruh merahasiakan nya. Namun hafshah malah membicarakannya secara diam-diam pada Aisyah Radhiyallahu ‘anha peristiwa tersebut. Maka Allah Ta’ala pun mengungkap kejadian tersebut kepada Nabinya seraya memperingatkan supaya tidak menyebarkan berita secara diam-diam. Peristiwa yg Rasulullah alami menunjukkan sesuatu yg beliau tidak ketahui antara kedua istrinya tersebut, bahkan setelah beliau mengetahuinya, beliau sempat marah, karena berita tersebut telah tersebar. Beliaupun menahan Aisyah agar tidak menyebarkannya. Lalu turunlah firman Allah Ta’ala

وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ [التحريم: 3].

“Dan ingatlah ketika nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad, lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan (membiarkan) sebagian yang lain (kepada Hafsah).” (QS. At-Tahrim [66]: 3)

Demikianlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menegur istrinya. Yaitu, beliau menegur sebagian kesalahan saja, dan memberikan toleransi atas kesalahan yang lain. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala menjelaskan dalam kitab beliau, Fiqh Ta’aamul baina Zaujain (Fiqh interaksi antara suami dan istri), bahwa jika seorang istri memiliki sepuluh kesalahan misalnya, tegurlah lima atau enam kesalahan saja, kurang lebihnya demikian, dan biarkan (tidak menegur) sisa kesalahan yang lainnya.

Ini pula yang perlu dilakukan ketika menegur orang lain. Tidak semua kesalahan harus ditegur. Selain itu, di antara bentuk lemah lembut dalam memberikan teguran kepada org lain adalah membiarkannya ketika dia baru melakukan kesalahan tersebut sekali itu saja. Karena siapa tahu, tanpa kita tegur, org tersebut bisa berpikir dan menyadari kesalahannya lalu bertanya kepada yg lebih tahu akan kesalahannya. Namun jika kesalahan tersebut berulang, apalagi jika ada indikasi sulit ditegur atau diluruskan, maka hendaknya diberikan teguran yang baik dan terus-menerus, yang tidak menyakiti orang tersebut.

Karenanya hendaknya kita berusaha untuk menjaga jalinan persahabatan. Yang perlu diingat adalah janganlah kita menganggap sahabat kita adalah malaikat yang tidak pernah bersalah, sehingga setiap kali ia bersalah lantas kita mencelanya. Sikap seperti ini adalah bentuk perenggangan bahkan bisa jadi pemutusan persahabatan, serta bentuk “kurang penghargaan” terhadap karunia relasi persahabatan tersebut yang merupakan anugerah Allah. Rasulullah bersabda,

الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهِمْ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لا يُخَالِطُ النَّاسَ ، وَلا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهِمْ ” .

“Mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas kelakuan buruk mereka lebih besar pahala dari seorang yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka.” (HR. Ibnu Majah)

Basyaar bin Burod rahimahullah berkata :

إِذَا كُنْتَ فِي كُلِّ الْأُمُوْرِ مُعَاتِبًا ….. صَدِيْقَكَ لَمْ تَلْقَ الَّذِي لاَ تُعَاتِبُهُ

Jika Engkau dalam setiap perkara selalu mencela sahabatmu…

Maka engkau tidak menemukan sahabat yang tidak kau cela

فَعِشْ وَاحِدًا أَوْ صِلْ أَخَاكَ فَإِنَّهُ …… مُقَارِفُ ذَنْبٍ مَرَّةً وَمُجَانِبُهُ

Jika demikian maka hiduplah engkau sendirian…

Atau jalinlah persahabatan dengan saudaramu karena sesungguhnya ia terkadang melakukan kesalahan dan terkadang menjauhi kesalahan (Lihat Taariikh Baghdaad 7/610, tahqiq Basyaar ‘Awwaad)

Ia juga berkata :

وَمَنْ ذَا الَّذِي تُرْضِي سَجَايَاهُ كُلُّهَا …… كَفَى بِالْمَرْءِ نُبْلاَ أَنْ تُعَدَّ مَعَايِبُهُ

Dan siapakah yang seluruh perangainya menyenangkan (orang lain)….??
Cukuplah seseorang dikatakan mulia jika aibnya masih terhitung.

🌳Yang lain berkata :

تُرِيْدُ صَاحِبًا لاَ عَيْبَ فِيْهِ ….. فَهَلِ الْعُوْدُ يَفُوْحُ بِلاَ دُخَانِ؟

Engkau ingin memiliki seorang sahabat yang tidak ada kesalahannya sama sekali??

Maka apakah kayu gaharu bisa mengeluarkan harum wanginya tanpa ada asapnya??

Sebagaimana anda harus menenangkan diri anda untuk menerima dan membawa air minum jika Anda dipaksa, dan harus minum dan hanya ada air dengan kotoran, maka jika tidak Anda akan haus, semua orang mungkin menderita karena diuji dengan kondisi air tersebut. Tetapi sulit bagi orang untuk menahan kemurnian dari dari apa yang mereka minum saat rasa haus sudah mencengang.

Sungguh sangat indah bukan persahabatan yg dihiasi taghaful, ia penuh maaf dan bijaksana. Hidup pun penuh tenanga dan bahagia, dan yang paling penting adalah kita semua memperoleh ridho Allah Ta’ala, sebagaimana Allah Ta’ala berfiman,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imron: 133)

Bila kita cinta mungkin amat mudah kita melupakan kesalahan- nya. Tetapi ketika kita benci. Kesalahan kecil padanya tampak jelas di mata kita. Allahul Musta’an.

 

Ditulis oleh:
👤 Ustadz Saryanto Abu Ruwaifi’ حفظه الله



👤 Ustadz Saryanto Abu Ruwaifi’ حفظه الله

(Alumni STAI Ali Bin Abi Thalib Surabaya, Mahasiswa S2 Magister Hukum Islam – Kelas Internasional Universitas Muhammadiyah Surakarta, Da’i Mukim Yayasan Tebar Da’i Mukim di Bandungan, Kab. Semarang, Jawa Tengah)

Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Saryanto Abu Ruwaifi حفظه الله  klik disini

Ustadz Saryanto Abu Ruwaifi’

Beliau adalah Alumni STAI Ali Bin Abi Thalib Surabaya, Mahasiswa S2 Magister Hukum Islam – Kelas Internasional Universitas Muhammadiyah Surakarta, | Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial di Yayasan Tebar Da’i Mukim di Bandungan, Kab. Semarang, Jawa Tengah)

Related Articles

Back to top button