Punya Usaha Tapi Punya Hutang, Bagaimana Hitung Zakatnya?

Punya Usaha Tapi Punya Hutang, Bagaimana Hitung Zakatnya?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Punya Usaha Tapi Punya Hutang, Bagaimana Hitung Zakatnya?, selamat membaca.
Pertanyaan:
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Ustadz izin bertanya, saya punya usaha tapi punya hutang, bagaimana penghitung zakatnya?
جزاك اللهُ خيراً
Jawaban:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in
Dalam hal ini maka ada 2 pembahasan, orang yang dihutangi apakah harus zakat dan yang memiliki hutang apakah harus zakat.
Zakat wajib dengan beberapa syarat diantaranya adalah orang yang zakat harus beragama islam, merdeka, memiliki harta dengan status kepemilikan utuh / sempurna, jelas hartanya dan ada wujudnya, sampai nishab dan berlalu satu tahun atau haul.
Diantara harta yang wajib ditunaikan zakatnya adalah, emas dan perak serta harta simpanan yang setara, binatang ternak, barang jual beli, barang temuan, dan hasil panen.
Masing masing jenis harta tersebut ada perhitungan dan ketentuannya.
Untuk masalah yang ditanyakan maka termasuk zakat harta simpanan yang dikonversi dari emas atau perak. Maka jika harta seseorang sudah setara nishab emas atau perak maka wajib ditunaikan zakatnya.
Nishob zakat emas adalah sekitar 85 gram dan nishob zakat perak adalah 595 gram. Maka ketika harta seseorang setara dengan nishab diatas wajib dikeluarkan zakat sebanyak 2,5 %.
Perlu diketahui masalah kepemilikan harta dengan sempurna yang nanti akan dihitung sampai nishab adalah harta yang bebas bisa digunakan kapan saja oleh pemiliknya dan tidak berkaitan dengan orang lain.
Sebagaimana diterangkan dalam Shahih Fiqh Sunnah (2: 14-15), bahwa ada dua rincian dalam hal ini:
Piutang yang diharapkan bisa dilunasi karena diutangkan pada orang yang mampu untuk mengembalikan. Piutang seperti ini dikenai zakat, ditunaikan segera dengan harta yang dimiliki oleh orang yang member utangan dan dikeluarkan setiap tahun.
Piutang yang sulit diharapkan untuk dilunasi karena diutangkan pada orang yang sulit dalam melunasinya. Piutang seperti ini tidak dikenai zakat sampai piutang tersebut dilunasi.
Syaikh Shalih Al-Munajjid menerangkan, piutang kita pada orang lain tidak lepas dari dua keadaan :
Pertama: Ada piutang yang sifatnya masih diakui, diketahui jumlahnya dan mau dilunasi.
Kedua: Ada piutang yang sifatnya diketahui namun yang berutang (pihak debitur) adalah orang yang kesulitan dan sulit melunasi utang, atau utang ini berada pada orang yang tidak mengakui adanya utang.
Untuk keadaan pertama: Utang seperti itu tetap dizakati dan ditambahkan pada simpanan kita, seluruh harta tersebut dizakati (2,5%). Ini berlaku setiap tahun (hijriyah) walaupun utang kita pada orang lain tersebut tidak berada di genggaman kita. Status harta tersebut semisal wadi’ah (barang titipan). Namun utang semacam itu boleh ditunda untuk dizakati sampai nanti dikembalikan (dilunasi). Zakatnya bisa belakangan dengan menzakati dari beberapa tahun yang telah tertunda.
Untuk keadaan kedua: Utang seperti itu tidak dizakati. Akan tetapi, nanti ketika telah dilunasi, maka dizakati untuk satu tahun walaupun status harta itu ada pada orang yang sulit melunasi utang dalam beberapa tahun. (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no 125854)
Begitu juga permasalahan jika memiliki hutang apakah harus zakat maka pendapat syaikh Bin Baz adalah harus tetap zakat dan hutang tidak menghalangi zakat.
Maka jika harta yang dihutang termasuk kategori hutang akan dibayarkan ( mampu dibayar ) maka hutang 25 juta tersebut ditambahkan kepada 117 juta dan 45 juta.
Dan totalnya adalah sekitar 187 juta dan ini sudah mencapai nishab zakat emas serta seperti yang disampaikan sudah haul 1 tahun maka dikeluarkan zakat sebanyak 2.5 %.
Wallahu a’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fauzan Azhiimaa, Lc. حافظه الله