Peran Ayah Dalam Pendidikan Anak

Al-Qur’an menyebutkan beberapa kisah ayah bersama anaknya. Diantaranya adalah kisah Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, Ya’qub dalam surat Al- Baqoroh 132-133, QS. Luqman 12-19, QS. Yusuf. Proses pendidikan bukan hanya terjadi pada kita saja, akan tetapi terjadi pula pada para Nabi dan Rasul. Ketika kita membaca kisah Nabi Ibrahim yang sabar dalam menjalankan perintah Allah. Hajar yang tegar, dan Ismail yang sabar. Pertanyaannya apakah pengorbanan mereka datang secara kebetulan atau melalui proses tarbiyah (pendidkan)?
Jika contoh diatas ada pada Nabi dan Rasul. Maka beda halnya dengan Luqman. Dia adalah hamba Allah yang shalih. Berkat keshalihannya Allah berikan padanya kata-kata hikmah yang menghiasi lembaran Al-Qur’an. Nasihat Luqman yang ia berikan kepada anaknya dan menjadi pelajaran bagi kita.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Q.S. Luqman 31:13)
Bahkan untuk pendidikan anak perempuan sekalipun, hendaknya seorang ayah tidak melemparkan tanggung jawab kepada sang istri. Contohnya adalah bagaimana kesuksesan Nabi Zakaria dalam mendidik dan membesarkan Maryam. Begitu intensifnya peran ayah dalam pendidikan anak-anaknya, hingga tatkala menjelang sakaratul maut pun, seorang ayah yang baik memastikan sejauh mana keberhasilannya dalam mendidik anak-anaknya dengan bertanya kepada mereka, “Apa yang kamu sembah sepeninggalanku?”
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. (Q.S. Al Baqarah 2:133).
Teladan Seorang Ayah
Keterlibatan ayah dalam pendidikan anak memenuhi lembaran sejarah Islam. Diantaranya adalah :
- Abu Bakar Ahmad bin Kamil bin Khalaf bin Syajarah al-Baghdadi (350H) Rahimahullah, misalnya, senantiasa memantau pendidikan putrinya, Amat as-Salam (Ummu al-Fath, 390 H) di tengah kesibukannya sebagai hakim. Diriwayatkan oleh al-‘Atiqi, hafalan hadits Amat as-Salam bahkan selalu dicatat oleh sang ayah.
- Syaikhul Islam Abu Abbas Ahmad bin Abdillah al-Maghribi al-Fasi (560 H) rahimahullah juga tercatat mengajari putrinya 7 (tujuh) cara baca al-Qur’an, serta buku-buku hadits seperti Bukhari dan Muslim. Walaupun ada yang mengatakan bahwa beliau terlalu sibuk dengan dakwah sehingga tidak pernah punya waktu untuk putrinya, namun hal ini dibantah oleh Imam al-Dhahabi yang mengatakan bahwa sulit dipercaya jika ada ulama yang berperilaku seperti ini, sebab “perbuatan seperti ini merupakan keburukan yang bertentangan dengan ajaran Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Sang teladan bagi umat manusia ini biasa menggendong cucunya bahkan ketika sedang shalat.”
- Contoh lain bisa kita dapati dari riwayat pakar pendidikan Islam Ibnu Sahnun (256H) Rahimahullah. Disebutkannya, Hakim Isa bin Miskin selalu memanggil dua putrinya setelah shalat Ashar untuk diajari al-Qur’an dan ilmu pengetahuan lainnya. Demikian pula dengan Asad bin al-Furat, panglima perang yang menaklukkan kota Sicily, ternyata juga mendidik sendiri putrinya. Nama lain yang tercatat dalam sejarah adalah Syaikh al-Qurra, Abu Dawud Sulayman bin Abi Qasim al-Andalusi (496H) dan Imam ‘Ala al-din al-Samarqandi (539H) Rahimahumullah.
Realita Seorang Ayah Zaman Ini
Melihat contoh-contoh diatas masihkah sebagian ayah beranggapan bahwa mendidik anak-anak adalah tanggung jawab ibu saja, tidak ada kewajiban baginya, kecuali menjamin kebutuhan materi bagi istri dan anak-anaknya. Karena itu kita dapati seorang ayah mengabiskan sebagian besar waktunya di luar rumah untuk bekerja, atau bersama rekan-rekannya. Jika dia pulang ke rumahnya, ia hanya duduk sendirian di kamar sembari memperingatkan istrinya yang membiarkan anak-anak mengganggu ketenangannya saat merenung dan bermimpi saat tidur.
Sebagian ayah berlalu seperti orang bisu, tidak ada waktu untuk berdialog, bercanda dan bermain dengan anak-anaknya. Padahal dalam al-Qur’an dialog antara ayah dengan anaknya disebutkan sebanyak 14 kali. Sedangkan dialog ibu dan anaknya sebanyak 2 kali dan dialog dengan keduanya sebanyak sekali. Ternyata al-Qur’an ingin memberikan pelajaran Bahwa untuk melahirkan generasi istimewa harus memenuhi komposisi diatas. Seperti yang dikatakan oleh Sarah binti Hilal binti Dakhilillah.
Syaikh Khalid Ahmad Asy-Syantut Rahimahullah berkata: “Sebenarnya, seorang ayah itu memiliki peran dalam pendidikan anak yang secara sederhana dimulai sejak dua bukan atau tiga dari masa kelahiran anak. Perannya akan semakin meningkat seiring pertumbuhan anak, sehingga beranjak dewasa, lebih-lebih ketika istri sibuk dengan kelahiran anak berikutnya. Pada saat seperti itu, anak yang sudah disapih harus didekatkan dengan ayahnya secara konsisten untuk mengurangi kecemburuannya terhadapa adiknya yang baru lahir yang akan mengambil alih kasih sayang ibunya. Anak mulai mengenal suara ayahnya sejak tiga bulan pertama. Pada tahun kedua, seorang ayah dianjurkan untuk bermain dengan anaknya yang sudah bisa berjalan. Ia harus bisa bermain dengan permainan sang anak dan dengan cara-cara yang menggembirakan dan membuatnya puas.
Ketika anak telah mencapai usia empat tahun, sang ayah sebaiknya mengajak anaknya ke masjid, pasar, atau berkunjung ke kerabat dan temannya. Mengajak anak agar mendampingi ayah akan menumbuhkan jiwa sosial yang baik, dan menanamkan nilai-nilai luhur pada anak. (Daur Bait Fii Tarbiyati Thiflil Muslim).
Rasulullah Seorang Ayah yang Ideal
Rasulullah adalah sosok teladan dalam segala hal. Ia adalah ayah terbaik bagi anak-anaknya. Suami terbaik bagi istri-istrinya. Kakek terbaik bagi cucu-cucunya. Guru terbaik bagi murid-muridnya. Pemimpin terbaik bagi umatnya, dan seterusnya. Diantara hadits-hadits yang menjelaskan kebersamaan Nabi bersama cucunya adalah :
- Dalam Shahihain dari Abu Qatadah bahwa Rasulullah pernah shalat sambil membawa umamah binti Zainab binti Rasulullah. Zainab adalah istri dari Abul Ash bin Ar-Rabi. Bila berdiri, beliau menggendongnya, sedangkan bila sujud, beliau meletakannya. Hal itu dilakukan oleh beliau dalah shalat wajib.
- Dalam riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah mencium hasan bin Ali dan disisi beliau ada Al-Aqra’ bin Haris. Al-Aqra pun berkata : “Saya memiliki sepuluh anak, namun saya tidak pernah mencium seorang pun dari mereka. Rasulullah memperhatikan dirinya lalu bersabda ; “Siapa yang tidak menyayangi, niscaya ia tidak akan disayangi”.
- Nabi juga pernah mencandai Hasan dan Husain. Beliau bergurau dan duduk bersama mereka berdua. Beliau pernah menggendong mereka berdua dipunggung beliau. Beliau juga pernah menjulurkan lidahnya ke Husain, dan apabila Husain melihat, ia pun tertawa. Beliau juga pernah menyimpen air di mulut beliau, lalu menyemprotkannya ke wajah Hasan, dan ia pun tertawa.
- Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab Radhiallahu Anhu pernah berjalan merangkak, sedangkan anak-anakanya naik dipunggungnya sambil bermain. Umar berjalan seperti kuda. Orang-orangpun masuk dan melihat Khalifah mereka sedang melakukan hal itu. Mereka berkata : “Apa engkau pantas melakukan hal itu, Wahai Amirul Mukminin ? Umar menjawab, “Ya, benar. Umar juga pernah berkata : “Seorang Ayah seharusnya menjadi seperti anak-anak (yaitu dalam kelembutan dan keterbukaan) dalam keluarganya.” Beginilah seharusnya sikap seorang ayah bersama anak-anaknya dirumah. Sedangkan, bila bersama khalayak, ia harus menjadi laki-laki (yang tegas). (Ahmad Al-Qhathan, hal. 24).
Nasehat Untukmu, Ayah
Seorang ayah hendaknya memberikan pembelajaran kepada anaknya bisa kapan saja. Bisa saat dalam perjalanan, di mobil, dan tidak terfokus didalam rumah. Terutama mengajari anak-anaknya perkara agama. Maka menjadi suatu keharusan bagi seorang ayah untuk mengetahui permasalahan agama, paham halal dan haram, memahami berbagai kiat mendidik, prinsip-prinsip akhlak, dan kaidah-kaidah syari’at. Apabila dia telah mengetahui hal tersebut, maka dia harus mempelajari berbagai persoalan agama. Hal ini dimaksudkan agar ayah dapat beribadah kepada Allah berdasarkan ilmu dan pemahaman yang benar.
Ketika anak masih kecil, mereka tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik mana yang buruk. Yang ada dalam dirinya adalah perasan senang yang mendorongnya untuk mengetahui orang yang mengarahkan dan membimbingnya hingga anak hidup dalam pengaruh orang yang membimbingnya. Apabila pengaruh pembimbing dan pengarah perilakunya tidak ada, maka anak akan tumbuh dalam kebingungan, motivasi, dan kepribadian yang lemah.
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Hafizhohullah menjelaskan bahwa ayah sebagai penanggung jawab terbesar dalam rumah tangga berkewajiban mendidik keluarga serta putra-putrinya untuk mentaati Allah. Ia berkewajiban menumbuh kembangkan semua anggota kelurganya berdasarkan asas ketaatan kepada Allah. Dan senantiasa untuk mengiringinya dengan doa. Sebab di antara do’a-do’a yang dilantunkan oleh para nabi, adalah do’a khusus untuk kebaikan anak-anak dan keturunananya. (Taujihaat Al-Muhimmah Lisy Syabaabil Ummah, hal. 15-16).
Di rumah peran Ayah ibarat kepala sekolah, dan ibu sebagai guru. Ayah berperan sebagai seorang konseptor yang merancang kurikulum dan ibu sebagai guru pelaksana. Sehingga lahir para alumni yang baik.
Ustadz Abu Rufaydah حفظه الله
(Kontributor Bimbinganislam.com)
TAUSIYAH
Bimbinganislam.com