Ibadah

Patokan Bolehnya Menjamak Sholat Ketika Hujan

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Patokan Bolehnya Menjamak Sholat Ketika Hujan

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Patokan Bolehnya Menjamak Sholat Ketika Hujan. selamat membaca.

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum. Mohon penjelasannya ustadz, sakit yang bagaimana yang kita boleh menjama’ sholat dan ketika hujan, bagaimana kriterianya?

Bolehkan saat sekarang ini misalnya ketika hujan, jalan menuju masjid juga tidak becek dan di dalam masjid juga nyaman meski di luar hujan deras. apakah masih boleh diberlakukan shalat jama’ untuk kondisi seperti ini? Bila kita shalat di rumah apa masih bisa juga melakukan shalat jama’ ketika hujan? Jazaakallah khoir.

Ditanyakan oleh Santri Mahad Bimbingan Islam


Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullah wabarokatuh

Sifat dari agama dan ajaran islam adalah universal dan mudah, dimana ajarannya menyesuaikan dengan zaman dan keadaan orang yang menjalankannya. Tidak memaksa dalam keadaan tidak bisa atau akan memudahkan tatkala mengalami kesulitan di dalam menjalannya.

Sebagaimana maksud Allah ta`ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [QS. Al-Anbiyaa’: 107]

Juga sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ إِلَّا تَذْكِرَةً لِّمَن يَخْشَىٰ تَنزِيلًا مِّمَّنْ خَلَقَ الْأَرْضَ وَالسَّمَاوَاتِ الْعُلَى

“Kami tidak menurunkan Al-Qur-an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah; melainkan sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), diturunkan dari (Allah) yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.” [QS. Thaahaa: 2-4]

Firman Allah ta’ala,”

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” [QS. Al-Baqarah: 185]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” [QS. Al-Baqarah: 286]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا، وَأَبْشِرُوْا، وَاسْتَعِيْنُوْا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ.

“Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu, berlaku luruslah, sederhana (tidak melampaui batas), dan bergembiralah (karena memperoleh pahala) serta memohon pertolongan (kepada Allah) dengan ibadah pada waktu pagi, petang dan sebagian malam.” [HR. Al-Bukhari (no. 39]

Namun begitu bukan berarti tidak didapatkan kesulitan ketika menjalankannya, pasti akan didapatkan kesulitan yang akan memberikan pahala lebih bagi pelakunya.

Di samping pemahaman yang umum bahwa kehidupan manusia adalah ujian dan setiap ujian pasti ada kesulitannya, mudah tidaknya akan tergantung dengan kekuatan dan daya tahan kita menajalani setiap ujian tersebut.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35).

Dari pemahaman prinsip ajaran agama diatas termasuk di dalamnya penerapan terhadap aturan dan hukum menjama` shalat. Karena pada dasarnya hukum menjamak shalat berkaitan dengan kebutuhan yang dihadapi oleh seseorang.

Setiap ia merasakan adanya tingkat keseulitan di dalam menjalankan shalat maka di perkenankan ia menjama shalat berikutnya selama ia membutuhkan dan bukan menjadi kebiasaan kesehariaan tanpa adanya kebutuhan.

Selama kesulitan ada maka diperkenankan seseorang menjamak shalatnya. Semisal ia mendapatkan sakit yang bila ia tidak menjamak akan merepotkan dan menyulitkan dirinya karena harus minum obat atau ketika bangun/bergerak ia merasa sakit, atau karena ketika minum obat ia akan banyak membutuhkan istirahat/tidur yang panjang dan lainnya dari sakit yang sedang atau berat sehingga ia membutuhkan menjamak shalat.

Atau dalam kondisi ia safar karena safar bila banyak berhenti akan menyulitkan dirinya atau bila ia menjamaknya banyak kemudahan yang ia dapatkan, karena safar secara itu sendiri adalah keadaan yang banyak membutuhkan kemudahan maka safar pada dasarnya menjadi sebab seseorang untuk menjamak bahkan menqashar shalatnya.

Keadaan lainnya adalah karena hujan, bila hujan deras dengan keadaan yang akan menyulitkan seseorang atau orang orang untuk kembali lagi ke masjid tersebut maka keadaan seperti ini membolehkan bagi mereka untuk menjamak shalat mereka.

Namun bila kesuitan tidak ada atau tidak terlalu berat misal rumahnya dekat, atau bisa menggunakan payung atau diperkirakan hujan tidak lama dan tidak menimbulkan banjir atau ia shalat di rumah maka keadaan tidak membutuhkan untuk menjamak shalat karena kesulitan tidak di dapatkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

والقصر سببه السفر خاصة لا يجوز في غير السفر وأما الجمع فسببه الحاجة والعذر فإذا احتاج إليه جمع في السفر القصير والطويل وكذلك الجمع للمطر ونحوه وللمرض ونحوه ولغير ذلك من الأسباب فإن المقصود به رفع الحرج عن الأمة .

“Qashar itu sebabnya karena safar secara khusus, tidak boleh dilakukan pada kondisi selain safar. Adapun menjamak shalat sebabnya karena ada udzur berupa kebutuhan. Apabila seseorang membutuhkan maka ia menjamak baik pada safar yang pendek maupun safar yang panjang. Demikian pula ia menjamak karena sebab hujan, atau sebab lainnya, atau karena sakit dan sebab lainnya. Karena maksud dari pensyariatan jamak ini adalah mengangkat kesulitan”. (Majmu’ Fatawa : 22/293).

Sehingga bisa kita katakan bahwa jamak shalat keterkaitan dengan kebutuhan untuk memudahkan keadaan dan kesulitan yang dialami. Selama seseorang membuthkan jamak maka ia boleh menjamak shalatnya.

Juga yang harus diperhatikan pula dalam kesulitan keseharian di luar urusan safar dan sakit maka hendaknya seseorang tidak menjadikan jamak sebagai suatu kebiasaan untuk bermalas masalan dalam beribadah.

Wallahu a`lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله
Senin, 20 Sya’ban 1444H / 13 Maret 2023 M 


Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di

Ustadz Mu’tasim, Lc. MA.

Beliau adalah Alumni S1 Universitas Islam Madinah Syariah 2000 – 2005, S2 MEDIU Syariah 2010 – 2012 | Bidang khusus Keilmuan yang pernah diikuti beliau adalah Syu’bah Takmili (LIPIA), Syu’bah Lughoh (Universitas Islam Madinah) | Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial Taklim di beberapa Lembaga dan Masjid

Related Articles

Back to top button