KonsultasiMuamalah

Nabi ﷺ Menghindar Darinya Ketika Disapa, Siapa ?

Pendaftaran Mahad Bimbingan Islam

Nabi ﷺ Menghindar Darinya Ketika Disapa, Siapa ?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Nabi ﷺ Menghindar Darinya Ketika Disapa, Siapa ?, selamat membaca.


Pertanyaan:

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allāh selalu menjaga ustadz dan para pengurus BiAS serta peserta sekalian. Ustadz, mohon penjelasannya apakah ada yang pernah nabi ﷺ menghindar darinya ketika disapa? Beliau berpaling darinya. Mohon maaf ustadz karena saya pernah dengar perkataan ini, tapi tidak hafal dan kesulitan mencarinya.

جزاك اللهُ خيراً

Jawaban:

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in

Ada beberapa kejadian yang mana Nabi ﷺ tidak menjawab salam dari shahabatnya ataupun berpaling dari shahabatnya. Kejadian tersebut memiliki alasan tersendiri, bukan menunjukan keangkuhan. Karena Nabi ﷺ adalah orang yang paling baik akhlaknya dan adabnya. Diantara kejadian tersebut adalah :

– Nabi ﷺ tidak menjawab salam ketika sedang buang air karena Nabi ﷺ tidak suka mengucapkan salam dalam keadaan demikian

أَنَّ رَجُلًا مَرَّ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ ، فَسَلَّمَ ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْه

Ada seorang melewati Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam sementara ketika itu beliau sedang buang air kecil. Kemudian orang itu mengucapkan salam kepada beliau, Nabi pun tidak menjawabnya. (HR. Muslim)

– Nabi tidak mengindahkan seseorang ketika dia mengaku berzina

Diriwayatkan dari sahabat Buraidah, ia berkata: “suatu ketika Maiz bin Malik datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata “wahai Rasulullah bersihkanlah aku! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab “apa-apaan kamu, mohon ampunlah kepada Allah, dan bertaubatlah”, lalu Maiz pun kembali mendekat kepada Rasulullah SAW seraya berkata, “Wahai Rasulullah, bersihkanlah aku”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab “apa-apaan kamu, mohon ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah”, Maiz pun kembali mendekat lagi dan berkata, “Wahai Rasulullah bersihkanlah aku”, Rasulullah pun menjawab kembali “apa-apaan kamu, mohon ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah, sampai pada kali keempat Maiz mengulang perkataannya tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, dari apa aku harus membersihkanmu?

Maiz pun menjawab, dari dosa zina wahai Rasulullah, kemudian Rasulullah pun bertanya kepada para sahabat yang ketika itu hadir, “apakah dia gila?”, merekapun menjawab, “tidak wahai Rasul”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “apakah ia sedang mabuk?” lalu salah seorang sahabat maju mendekati Maiz untuk mencium aroma bau mulutnya, dan ternyata tidak tercium bau minuman, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya kepada Maiz, “apakah engkau benar-benar telah berzina?”

Maiz pun menjawab “ya wahai Rasulullah” maka Rasulullah memerintahkan beberapa sahabat untuk membawanya dan melaksanakan hukuman rajam kepadanya. Setelah kejadian itu para sahabat terbagi menjadi dua kelompok, sebagian ada yang mencela Maiz karena kesalahannya, dan sebagian lagi ada yang memujinya karena kesungguhannya dalam bertaubat, hingga pasca dua hari kejadian tersebut

Rasulullah mendatangi para sahabat dan meminta mereka untuk memohonkan ampun bagi Maiz, seketika itu para sahabat pun berkata “semoga Allah mengampuni Maiz”, kemudian Rasulullah pun berkata “ tidak ada pertaubatan yang lebih baik dari taubatnya maiz, seandainya taubatnya digunakan untuk seluruh penduduk Madinah, niscaya itu sudah mencukupi” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah)

– Nabi ﷺ tidak menanggapi pertanyaan dari Abdullah bin Ummi Maktum karena beliau berpikir tentang mashlahat yang lebih besar. Akan tetapi Allah langsung menegur beliau bahwa hal tersebut itu salah.

Disebutkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya riwayat berikut ini,

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berbicara dengan Utaibah ibnu Rabi’ah, Abu Jahal ibnu Hisyam, dan Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib, saat itu beliau melayani mereka dan sangat menginginkan mereka beriman. Lalu tiba-tiba datanglah seorang lelaki buta bernama Ibnu Ummi Maktum, saat itu nabi sedang serius berbicara dengan mereka. Lalu Abdullah ibnu Ummi Maktum meminta agar diajari suatu ayat dari Al-Qur’an dan berkata, “Wahai Rasulullah, ajarilah aku dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling dan bermuka masam terhadapnya serta tidak menyukai permintaannya, bahkan beliau kembali melayani pembicaraan dengan para tokoh musyrikin. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari pembicaraan dengan para tokoh musyrik itu dan hendak pulang ke rumah keluarganya, maka Allah menahan sebagian dari pandangan beliau dan menjadikan kepala beliau tertunduk, lalu turunlah kepadanya firman Allah yang menegur sikapnya itu: ‘Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepadanya?’ (QS.‘Abasa: 1-4)”.

– Nabi ﷺ tidak berbicara dan menyuruh kaum muslimin untuk seperti itu juga kepada 3 shahabat ( Ka’b bin Mâlik, Hilal bin Umayyah dan Murarah bin ar-Rabi’), sebagai hukuman kerena tidak ikut perang tabuk. Adapun kisahnya sebagai berikut :

Setelah menempuh perjalanan panjang dan lama dari Tabûk, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan kaum Muslimin tiba di Madinah. Setibanya di Madinah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki masjid lalu shalat dua rakaat. Demikianlah kebiasaan beliau setelah melakukan perjalanan jauh.

Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dan orang-orang yang tidak ikut dalam perang Tabûk mulai berdatangan menemui Beliau sambil menjelaskan alasan mereka tidak ikut dalam perang Tabûk. Orang-orang munafik yang tidak ikut dalam peperangan tersebut menyebutkan berbagai alasan dusta, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menerima alasan-alasan yang mereka ucapkan, membai’at mereka kembali dan memohonkan ampunan buat mereka, sedangkan urusan hati mereka diserahkan kepada Allâh Azza wa Jalla.

Diantara yang tidak ikut dalam perang Tabûk tersebut adalah tiga orang Sahabat Rasûlullâh yang mulia yaitu Ka’b bin Mâlik, Hilal bin Umayyah dan Murarah bin ar-Rabi’ Radhiyallahu anhum. Berbeda dengan orang-orang munafik yang menyampaikan alasan palsu, tiga orang sahabat yang mulia menyampaikan kondisi mereka yang sebenarnya. Mereka mengaku tidak memiliki udzur yang menghalangi mereka untuk mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Tabûk tersebut.

Mereka melakukan itu dengan harapan agar Allâh Azza wa Jalla berkenan mengampuni kesalahan yang telah mereka lakukan itu. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak penuturan sahabat yang mulia Ka’b bin Mâlik Radhiyallahu anhu berikut ini[1]:

“Saya tidak pernah tertinggal dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan yang Beliau lakukan kecuali perang Tabûk. Walaupun saya pernah tertinggal dari perang Badr, tapi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela saya dan siapapun yang tertinggal, karena waktu itu kami mengira Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar hanya untuk menghadang kafilah dagang Quraisy, hingga akhirnya Allâh Azza wa Jalla mempertemukan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan musuh-musuhnya.

Saya belum pernah merasa lebih kuat dan lebih mudah daripada keadaan saya ketika tertinggal dari Beliau dalam perang (Tabûk) tersebut. Demi Allâh, saya belum pernah mengumpulkan dua kendaraan sama sekali dalam sebuah peperangan kecuali perang Tabûk.”

Meski demikian keadaan beliau Radhiyallahu anhu, namun disaat kaum Muslimin mempersiapkan diri untuk berangkat ke medan perang, beliau Radhiyallahu anhu pulang dan tidak bergegas melakukan persiapan. Beliau Radhiyallahu anhu terus menunda-nunda persiapan, sehingga akhirnya benar-benar tertinggal oleh pasukan kaum Muslimin yang berangkat bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sepeninggal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan kaum Muslimin, betapa gusar dan sedih hati beliau Radhiyallahu anhu, karena melihat orang-orang yang masih berada di Madinah adalah orang-orang yang memiliki udzur (alasan yang dibenarkan syari’at-red) untuk tidak ikut berperang atau orang-orang yang dikenal sebagai orang munafik.

Menjelang kedatangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin, keinginan buruk muncul dalam benaknya. Ka’b bin Mâlik Radhiyallahu anhu mengatakan, “Ketika sampai berita bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin bersiap-siap untuk kembali, muncul keinginanku untuk berbohong. Saya berkata dalam hati, ‘Dengan apa kira-kira saya bisa lolos dari murka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam besok?’

Namun tatkala diberitakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mulai bergerak menuju Madinah, keinginan untuk berbohong itu hilang. Beliau Radhiyallahu anhu menguatkan hati untuk berkata jujur dengan segala resikonya.

Setibanya di Madinah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya disambut oleh penduduk Madinah. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju masjid dan shalat dua rakaat. Itulah kebiasaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap kembali dari safar.

Setelah itu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk untuk menerima dan mendengarkan udzur orang-orang yang tidak ikut berperang. Ka’b mengatakan, “Saya datang menemui Beliau dan mengucapkan salam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum masam kepada saya seraya bertanya, “Mengapa engkau tertinggal? Bukankah engkau telah menjual dirimu (untuk membela Islam)?”

Saya menjawab, ‘Tentu. Sungguh, demi Allâh! Wahai Rasûlullâh! Seandainya aku duduk dengan orang lain di dunia ini pasti aku akan merasa bisa lolos dari kemarahannya dengan alasan (yang bisa diterima-red), karena Saya diberi kemampuan berdebat. Akan tetapi, demi Allâh! Saya tahu, seandainya saya berbicara kepada Anda hari ini dengan satu kebohongan yang bisa membuat Anda meridhai saya, pastilah Allâh Azza wa Jalla akan membuat Anda marah kepada saya.

Baca Juga:  Kamu Harus Tahu, Agar Tidak Menjadi Menantu Durhaka

Sungguh, seandainya saya berbicara kepada Anda dengan jujur, niscaya Anda melihatnya ada pada saya. Saya betul-betul berharap ampunan dari Allâh Azza wa Jalla dalam masalah ini. Demi Allâh! Saya tidak memiliki udzur sama sekali. Saya tidak pernah merasa lebih kuat dan lebih mudah sama sekali dibandingkan ketika saya tertinggal dari Anda.”

Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Karena dia sudah berlaku jujur, maka berdirilah sampai Allâh Azza wa Jalla memberi keputusan tentangmu.”
Hal yang sama sudah dilakukan oleh dua Sahabat Rasûlullâh yang lainnya sebelum Ka’b Radhiyallahu anhu yaitu Murarah bin ar-Rabi’ dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi Radhiyallahu anhuma.

Sejak saat itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai melarang kaum Muslimin berbicara dengan mereka. Kondisi ini tentu membuat mereka sedih dan tertekan. Semakin bertambah hari, semakin berat tekanan yang mereka rasakan. Mereka merasa terasing di Madinah. Kedua sahabat Ka’b merasa sangat tertekan dan hanya duduk di rumah mereka sambil menyesali apa yang telah mereka lakukan.

Sedangkan Ka’b Radhiyallahu anhu yang lebih muda dan lebih tabah, selalu keluar dan ikut shalat bersama kaum Muslimin, berkeliling di pasar-pasar meskipun tidak ada seorang pun mengajaknya bicara, bahkan Abu Qataadah Radhiyallahu anhu, sepupu beliau tidak mau berbicara dengan beliau Radhiyallahu anhu.

Dalam keadaan seperti itu, utusan Raja Ghassan datang mencari dan menemui Ka’b Radhiyallahu anhu di pasar untuk menyerahkan sepucuk surat yang ternyata isinya, “Amma ba’du,… Sampai berita kepadaku bahwa temanmu (Muhammad ) mengucilkanmu. Allâh tidak akan menjadikanmu tetap di tempat yang hina dan tersia-sia. Datanglah kepada kami, niscaya kami memuliakanmu.”

Akan tetapi, beliau Radhiyallahu anhu adalah orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya serta mencintai Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Dalam keadaan terkucil, terasing, dan tidak diajak bicara, bahkan oleh kerabat yang sangat dicintai, seandainya beliau orang yang lemah iman, tentu akan dengan mudah menyambut tawaran itu.

Setelah membacanya Ka’b Radhiyallahu anhu berkata, “Ini juga ujian,” lalu menyalakan api dan membakarnya.
Demikianlah seharusnya yang dilakukan oleh orang yang ingin menyelamatkan diri dari fitnah : “Menghancurkan sesuatu yang menjadi sebab timbulnya fitnah bagi dirinya”.

Ka’b Radhiyallahu anhu juga mengatakan, “Empat puluh hari berlalu, ketika utusan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemui saya dan berkata, ‘Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan engkau agar menjauhi istrimu.’

Saya bertanya, ‘Apakah saya harus menceraikannya atau apa yang saya lakukan?’ Katanya, ‘Tidak. Engkau hanya diperintah agar menjauhinya dan jangan mendekatinya.’”
Seperti itu juga yang disampaikan kepada dua Sahabat yang lainnya.
Kemudian saya katakan kepada istri saya, “Kembalilah kepada keluargamu. Tinggallah di sana sampai Allâh memutuskan perkara ini.”

Akhirnya, beliau Radhiyallahu anhu melewati hari-harinya dalam kondisi demikian selama sepuluh hari, sampai genap lima puluh hari sejak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang semua sahabat berbicara dengan tiga orang sahabat yang tidak ikut dalam perang Tabûk.
Satu bulan lebih, wahyu tidak juga turun. Itulah salah satu rahasia hikmah Allâh Azza wa Jalla dalam setiap urusan besar, sehingga kaum Muslimin benar-benar merasa rindu kepada wahyu itu.

Pada hari kelima puluh, kerinduan hati para sahabat terhadap wahyu terobati. Luapan kegembiraan terlihat jelas dari ucapan dan perbuatan mereka. Ka’b Radhiyallahu anhu menceritakan peristiwa mengharukan itu. Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan, “Seusai shalat Shubuh di hari terakhir (kelima puluh), ketika saya sedang berada di atas rumah, persis seperti diterangkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala, “Jiwa terasa sesak, dan bumi pun terasa sempit, padahal dia begitu luasnya,” saya mendengar suara teriakan di atas bukit cadas, dia berteriak sekeras-kerasnya, “Wahai Ka’b bin Mâlik, bergembiralah!”

Mendengar itu, saya pun sujud. Saya tahu, telah datang kelapangan dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan bahwa Allâh Azza wa Jalla menerima taubat kami. Kaum Muslimin berduyun-duyun memberi ucapan selamat kepada saya dan dua Sahabat itu. Ada yang datang dengan berkuda, ada pula dari bani Aslam berjalan cepat ke arah saya, mendaki gunung. Namun suara lebih cepat daripada kuda.

Setelah pemilik suara itu datang, saya melepas baju saya dan memberikannya kepada orang itu sebagai hadiah atas berita gembira tersebut, padahal, demi Allâh! Saya tidak punya baju lain selain itu pada hari itu. Akhirnya, saya meminjam sehelai baju dan mengenakannya lalu berangkat menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Orang-orang pun berduyun-duyun mengucapkan selamat kepada saya, kata mereka, “Selamat, karena taubatmu diterima oleh Allâh.” Hal itu berlangsung sampai saya masuk ke dalam masjid. Ternyata Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dikelilingi oleh para sahabat lain.

Tiba-tiba Thalhah bin ‘Ubaidullah Radhiyallahu anhu berlari-lari kecil menyambut dan menyalami saya sembari mengucapkan selamat. Demi Allâh, tidak ada satu pun Muhajirin yang berdiri selain dia. Saya tidak bisa melupakan hal ini dari Thalhah Radhiyallahu anhu”.

Demikianlah keadaan mereka, yaitu orang-orang yang mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya untuk dirinya. Mereka tidak iri atau dengki atas kelebihan yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada saudara mereka, berupa turunnya wahyu yang agung menerangkan taubat mereka diterima. Bahkan, mereka mengucapkan selamat sampai Ka’b Radhiyallahu anhu masuk ke masjid.

Ka’b Radhiyallahu anhu mengatakan, “Setelah saya mengucapkan salam kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata dengan wajah berseri-seri:

أَبْشِرْ بِخَيْرِ يَوْمٍ مَرَّ عَلَيْكَ مُنْذُ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ

Bergembiralah dengan sebaik-baik hari yang telah engkau lewati sejak engkau dilahirkan ibumu’.”

Saya bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Apakah ini dari engkau atau dari sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala ?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dari sisi Allâh.” Dan kalau Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam gembira, wajahnya bersinar laksana kepingan bulan purnama.

Setelah duduk di hadapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya berkata, ‘Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya sebagai bukti taubat, saya menyerahkan seluruh harta saya untuk sedekah kepada Allâh dan Rasul-Nya.”
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tahanlah sebagian hartamu! Itu lebih baik.”
Saya berkata, “Sesungguhnya saya menahan bagian yang saya peroleh dari Khaibar.”

Kemudian saya berkata lagi, “Wahai Rasûlullâh! Sungguh Allâh Azza wa Jalla telah menyelamatkan saya dengan wasilah kejujuran, maka sebagai bentuk taubat saya juga, saya tidak akan berbicara kecuali yang benar selama saya masih hidup”.

Ka’b Radhiyallahu anhu juga mengatakan, “Demi Allâh! Saya tidak melihat ada seorang Muslim pun yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala beri ujian dalam hal kejujuran – sejak saya menyebutkan hal itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang lebih baik daripada yang diberikan kepada saya.

Belum pernah pula saya sengaja berdusta sejak mengatakan hal itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini. Sungguh, saya berharap Allâh Azza wa Jalla memelihara saya dalam sisa-sisa umur saya.”
Allâh Azza wa Jalla telah menurunkan wahyu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ ﴿١١٧﴾ وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ﴿١١٨﴾ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Sesungguhnya Allâh telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allâh menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allâh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allâh, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allâh menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allâh-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. [At-Taubah/9:117—119]

Ka’b Radhiyallahu anhu juga mengatakan, “Demi Allâh! Allâh Azza wa Jalla tidak pernah memberi nikmat kepadaku yang lebih besar bagi diri saya – sesudah memberi saya hidayah kepada Islam – dibandingkan dengan nikmat kejujuran kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak akan berdusta kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akibatnya saya binasa sebagaimana binasanya mereka yang telah berdusta kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”

Inilah beberapa kisah ketika Nabi ﷺ tidak menjawab salam atau berpaling dari shahabatnya.

والله أعلم بالصواب

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Achmad Nur Hanafi, Lc حافظه الله

Related Articles

Back to top button