Muslim Yang Tidak Ada Hak Atas Muslim Lainnya
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Muslim Yang Tidak Ada Hak Atas Muslim Lainnya, selamat membaca.
Pertanyaan:
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Semoga Allāh selalu menjaga ustadz dan para pengurus serta peserta sekalian. Ustadz, apakah ada Muslim yang tidak berhak mendapat hak atas Muslim lain baik itu balasan salam, menjawab ketika bersin, dan selainnya. Mohon penjelasannya.
جزاك اللهُ خيراً
Jawaban:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in
Ya, memang ada Muslim yang tidak berhak mendapat hak atas Muslim lain, seperti diboikot tidak dijawab salamanya dan lainnya, yaitu jika penguasa yang sah menyuruh kaum muslimin untuk memboikotnya, seperti dalam kisah sahabat ka’ab bin Malik yang diboikot karena tidak ikut perang Tabuk sedang ia tidak mempunyai uzur.
Hal yang sama juga sudah dilakukan pada dua Sahabat Rasûlullâh yang lainnya sebelum Ka’ab Radhiyallahu anhu yaitu Murarah bin ar-Rabi’ dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi Radhiyallahu anhuma.
Sejak saat itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai melarang kaum Muslimin berbicara dengan mereka. Kondisi ini tentu membuat mereka sedih dan tertekan. Semakin bertambah hari, semakin berat tekanan yang mereka rasakan. Mereka merasa terasing di Madinah. Kedua sahabat Ka’ab merasa sangat tertekan dan hanya duduk di rumah mereka sambil menyesali apa yang telah mereka lakukan. Sedangkan Ka’ab Radhiyallahu anhu yang lebih muda dan lebih tabah, selalu keluar dan ikut shalat bersama kaum Muslimin, berkeliling di pasar-pasar meskipun tidak ada seorang pun mengajaknya bicara, bahkan Abu Qataadah Radhiyallahu anhu, sepupu beliau tidak mau berbicara dengan beliau Radhiyallahu anhu.
Ka’ab Radhiyallahu anhu juga mengatakan, “Empat puluh hari berlalu, ketika utusan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemui saya dan berkata, ‘Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan engkau agar menjauhi istrimu.’
Saya bertanya, ‘Apakah saya harus menceraikannya atau apa yang saya lakukan?’ Katanya, ‘Tidak. Engkau hanya diperintah agar menjauhinya dan jangan mendekatinya.’”
Seperti itu juga yang disampaikan kepada dua Sahabat yang lainnya.
Kemudian saya katakan kepada istri saya, “Kembalilah kepada keluargamu. Tinggallah di sana sampai Allâh memutuskan perkara ini.”
Akhirnya, beliau Radhiyallahu anhu melewati hari-harinya dalam kondisi demikian selama sepuluh hari, sampai genap lima puluh hari sejak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang semua sahabat berbicara dengan tiga orang sahabat yang tidak ikut dalam perang Tabûk.
Satu bulan lebih, wahyu tidak juga turun. Itulah salah satu rahasia hikmah Allâh Azza wa Jalla dalam setiap urusan besar, sehingga kaum Muslimin benar-benar merasa rindu kepada wahyu itu.
Pada hari kelima puluh, kerinduan hati para sahabat terhadap wahyu terobati. Luapan kegembiraan terlihat jelas dari ucapan dan perbuatan mereka. Ka’b Radhiyallahu anhu menceritakan peristiwa mengharukan itu. Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan, “Seusai shalat Shubuh di hari terakhir (kelima puluh), ketika saya sedang berada di atas rumah, persis seperti diterangkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala, “Jiwa terasa sesak, dan bumi pun terasa sempit, padahal dia begitu luasnya,” saya mendengar suara teriakan di atas bukit cadas, dia berteriak sekeras-kerasnya, “Wahai Ka’b bin Mâlik, bergembiralah!”
Mendengar itu, saya pun sujud. Saya tahu, telah datang kelapangan dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan bahwa Allâh Azza wa Jalla menerima taubat kami. Kaum Muslimin berduyun-duyun memberi ucapan selamat kepada saya dan dua Sahabat itu. Ada yang datang dengan berkuda, ada pula dari bani Aslam berjalan cepat ke arah saya, mendaki gunung. Namun suara lebih cepat daripada kuda. Setelah pemilik suara itu datang, saya melepas baju saya dan memberikannya kepada orang itu sebagai hadiah atas berita gembira tersebut, padahal, demi Allâh! Saya tidak punya baju lain selain itu pada hari itu. Akhirnya, saya meminjam sehelai baju dan mengenakannya lalu berangkat menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang pun berduyun-duyun mengucapkan selamat kepada saya, kata mereka, “Selamat, karena taubatmu diterima oleh Allâh.” Hal itu berlangsung sampai saya masuk ke dalam masjid. Ternyata Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dikelilingi oleh para sahabat lain.
Tiba-tiba Thalhah bin ‘Ubaidullah Radhiyallahu anhu berlari-lari kecil menyambut dan menyalami saya sembari mengucapkan selamat. Demi Allâh, tidak ada satu pun Muhajirin yang berdiri selain dia. Saya tidak bisa melupakan hal ini dari Thalhah Radhiyallahu anhu.”
Demikianlah keadaan mereka, yaitu orang-orang yang mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya untuk dirinya. Mereka tidak iri atau dengki atas kelebihan yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada saudara mereka, berupa turunnya wahyu yang agung menerangkan taubat mereka diterima. Bahkan, mereka mengucapkan selamat sampai Ka’b Radhiyallahu anhu masuk ke masjid.
Ka’ab Radhiyallahu anhu mengatakan, “Setelah saya mengucapkan salam kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata dengan wajah berseri-seri:
أَبْشِرْ بِخَيْرِ يَوْمٍ مَرَّ عَلَيْكَ مُنْذُ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ
“Bergembiralah dengan sebaik-baik hari yang telah engkau lewati sejak engkau dilahirkan ibumu”
Saya bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Apakah ini dari engkau atau dari sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala ?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dari sisi Allâh.” Dan kalau Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam gembira, wajahnya bersinar laksana kepingan bulan purnama.
Setelah duduk di hadapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya berkata, ‘Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya sebagai bukti taubat, saya menyerahkan seluruh harta saya untuk sedekah kepada Allâh dan Rasul-Nya.”
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tahanlah sebagian hartamu! Itu lebih baik.”
Saya berkata, “Sesungguhnya saya menahan bagian yang saya peroleh dari Khaibar.”
Kemudian saya berkata lagi, “Wahai Rasûlullâh! Sungguh Allâh Azza wa Jalla telah menyelamatkan saya dengan wasilah kejujuran, maka sebagai bentuk taubat saya juga, saya tidak akan berbicara kecuali yang benar selama saya masih hidup.”
Ka’ab Radhiyallahu anhu juga mengatakan, “Demi Allâh! Saya tidak melihat ada seorang Muslim pun yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala beri ujian dalam hal kejujuran – sejak saya menyebutkan hal itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang lebih baik daripada yang diberikan kepada saya.
Belum pernah pula saya sengaja berdusta sejak mengatakan hal itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini. Sungguh, saya berharap Allâh Azza wa Jalla memelihara saya dalam sisa-sisa umur saya.”
Allâh Azza wa Jalla telah menurunkan wahyu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ ﴿١١٧﴾ وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ﴿١١٨﴾ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Sesungguhnya Allâh telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allâh menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allâh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allâh, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allâh menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allâh-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. [QS. At-Taubah/9:117—119]
Wallahu Ta’ala A’lam
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله