Menyikapi Kemungkaran Postingan Hadits Palsu

Menyikapi Kemungkaran Postingan Hadits Palsu
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Menyikapi Kemungkaran Postingan Hadits Palsu, selamat membaca.
Pertanyaan:
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Ustadz. Apa hukumnya mendiamkan postingan yang mengandung hadits palsu, yang dishare oleh saudara? Dalam hal ini adalah tentang amalan-amalan malam nisfu sya’ban. Sebelumnya yang bersangkutan juga pernah memposting tentang arwah pulang pada malam Jumat ke rumah masing-masing.
Saya dan suami sudah pernah memberikan sanggahan dengan memberikan penjelasan yang insya Allah shahih tetapi ditolak dan kami pun sempat dicap sebagai pemecah belah hubungan keluarga besar. Karena kondisi inilah saya dan suami saat ini memilih diam ketika yang bersangkutan memposting hal-hal seperti tersebut di atas. Apakah yang kami lakukan salah.
جزاك اللهُ خيراً
Jawaban:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in
Menyebarkan hadits palsu hukumnya jelas tidak boleh. Karena Nabi ﷺ pernah bersabda :
Dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘Anhu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يَرَيْ أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
“Siapa yang menyampaikan hadits dariku dengan suatu hadits yang masih diduga bahwa itu adalah dusta, maka ia termasuk salah satu dari dua pendusta.” (HR. Muslim)
Dari Mughirah Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak sama dengan berdusta atas nama orang lain. Maka barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim)
Menyebarkan hadits palsu adalah kemungkaran. Karena hal tersebut seperti kita menyebarkan berita dusta atas nama Nabi ﷺ meskipun dengan tujuan baik. Karena berdusta atas nama Nabi ﷺ tidak sama dengan berdusta atas nama nama yang lain seperti hadits diatas.
Bagi kita yang mengetahui ada teman, keluarga atau kerabat yang melakukankannya, maka hendaklah kita mencegahnya. Sebagaimana sabda Nabi :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ (رَوَاهُ مُسْلِم)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 49]
Berdasarkan hadits tersebut, ketika kita mengetahuinya jika kita mampu mencegahnya dengan paksaan, maka lakukanlah. Jika kita bisa dengan menasehatinya, maka lakukanlah. Namun jika kita masih tidak bisa, maka tunjukkan ketidak sukaan dan bertekad bahwa dia akan menasehatinya.
Namun perlu diperhatikan, jika ingin menasehatinya, maka pilihlah kata-kata yang baik, waktu yang tepat dan ditempat yang tepat juga. Bisa kita ajak diskusi sambil minum kopi atau teh atau ditempat yang nyaman (tidak ditempat umum).
Dan lihat juga kondisi dia. Jangan menasehati ketika hati dia sedang kesal. Nasehati dengan baik-baik bahwa berdusta atas nama Nabi itu tidak boleh walaupun dengan tujuan yang baik sebagaimana hadits diatas. Jika kita tidak bisa menyadarkannya, maka berilah penjelasan kepada yang lainnya. Kita bisa berharap jika ada orang lain yang sadar tentang itu dan bisa menydarkannya.
Jika kita sudah memberikan upaya terbaik dalam menasehatinya, maka kita sudah melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Ingat Allah tidak memerintahkan hamba-Nya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Ingat juga bahwa hidayah milik Allah. Kita hanya bisa berusaha agar Allah memberikan hidayah-Nya, akan tetapi semua keputusan ada ditangan Allah. Bukankah Nabi tidak bisa membuat pamannya tercinta Abu Tholib untuk masuk islam?
Meskipun begitu kita masih harus tetap berusaha untuk menuntunnya ke jalan yang lurus dengan cara terbaik mungkin. Entah dengan terus mengajaknya berdiskusi atau mendoakannya atau yang lainnya.
Adapun banyaknya celaan atau ancaman, maka itu sudah pasti ada. Itu adalah Sunnatullah bagi para penyeru kebenaran. Dan itu termasuk ujian dari Allah. Yang terpenting adalah jangan takut terhadap celaan. Teruskanlah berdakwah menyerukan kebenaran. Lihatlah perjuangan para Nabi dan ulama, bukan celaan lagi yang mereka dapatkan. Mereka dipenjara, disiksa dan dikucilkan. Tapi hal tersebut tidak menghalangi mereka untuk melanjutkan dakwah kebenaran.
Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah-Nya kepada kita semua.
Wallahu a’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Achmad Nur Hanafi, Lc. حافظه الله