FiqihKonsultasi

Menjama’ Ta’dim di Rumah

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Pertanyaan :

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Saya mau menanyakan terkait sholat jama’ takdim tetapi masih keadaan di rumah, khawatir di jalan nanti tidak sempat melaksanakan, dan bagaimana hukumnya ? Dan andaikan jika nanti setelah sampai di tempat sekitar jam 5 belum habis waktu ashar ?

(Dari Hamba Alloh Anggota Grup WA Bimbingan Islam).

Jawaban :

وعليكم السلام ورحمة الله وبر كاته

Kesimpulan
Menjama’ shalat adalah untuk memberikan kemudahan di saat kondisi yang dirasa sulit untuk melakasakan kewajiban shalat pada waktu yang telah ditetapkan.

Namun, jika kita tidak mendapati kesulitan maka tidak perlu menjama’.
Adapun bila didapati masih ada waktu shalat yang telah dijama’ kemudian menemukan shalat berjamaah, maka hendaknya melaksakan shalat tersebut, namun bila tidak menemukannya maka tidak perlu mengulanginya (shalat yang sudah dijama’).

Jika diperkirakan nanti sampai tujuan waktu shalat habis, atau kita tidak bisa memperkirakan waktunya, maka boleh bagi kita untuk menjamak shalat dengan tanpa mengqashar-nya.

Hukum meng-qashar shalat itu khusus berlaku untuk orang yang sedang safar. Sedangkan menjamak shalat tidak khusus berlaku untuk orang yang safar. Kita boleh menjamak shalat karena ada hajat tertentu seperti hujan, sakit, tanah berlumpur dll. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

والقصر سببه السفر خاصة لا يجوز في غير السفر وأما الجمع فسببه الحاجة والعذر فإذا احتاج إليه جمع في السفر القصير والطويل وكذلك الجمع للمطر ونحوه وللمرض ونحوه ولغير ذلك من الأسباب فإن المقصود به رفع الحرج عن الأمة .

“Qashar itu sebabnya karena safar secara khusus, tidak boleh dilakukan pada kondisi selain safar. Adapun menjamak shalat sebabnya karena ada udzur berupa kebutuhan. Apabila seseorang membutuhkan maka ia menjamak baik pada safar yang pendek maupun safar yang panjang. Demikian pula ia menjamak karena sebab hujan, atau sebab lainnya, atau karena sakit dan sebab lainnya. Karena maksud dari pensyariatan jamak ini adalah mengangkat kesulitan”. (Majmu’ Fatawa : 22/293).

Adapun hukum menjamak shalat dengan tanpa ada uzdur, maka ini diperselisihkan para ulama. Pendapat yang rajih boleh hukumnya menjamak shalat dengan tanpa udzur jika dilakukan sesekali. Dalilnya adalah riwayat berikut :

عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما قال( صلى النبي صلى الله عليه و سلم الظهر و العصر جميعا و المغرب و العشاء جميعا في غير خوف و لا سفر)

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dzuhur dan ashar dengan dijamak, maghrib dengan isya’ dengan dijamak dengan tanpa udzur takut tidak pula udzur safar”.

Berapakah jarak perjalanan seorang musafir sehingga ia diperbolehkan melakukan qashor? Dan apakah dibolehkan menjama’ tanpa mengqoshor?

Sebagian ulama berpendapat bahwa jarak perjalanan yang diperbolehkan untuk mengqashor sholat yaitu sejauh 80 KM. Ulama yang lain berpendapat jaraknya sesuai dengan adat yang berlaku (dinegeri itu). Yaitu jika ia melakukan perjalanan yang menurut adat sudah disebut safar, maka ia telah melakukan safar meskipun jaraknya belum sampai 80 KM. Adapun jika perjalanannya menurut adat belum dikatakan safar meskipun jaraknya 100 KM, maka ia belum disebut safar.

Pendapat terakhir inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah. Yang demikian ini karena Allah dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan jarak tertentu untuk diperbolehkan melakukan qoshor.

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata:”Apabila Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pergi sejarak 3 mil atau farsakh, maka beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam mengqoshor sholat, beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam sholat dua rokaat” (HR. Muslim no. 691).

Dan tidak mengapa saat terjadi perbedaan pendapat tentang batasan adat, ia mengambil pendapat tentang batasan jarak, karena hal ini juga dikatakan oleh sebagian ulama dan para imam mujtahid. Namun jika masalahnya jelas, maka menggunakan batasan adat kebiasaan adalah yang tepat.

Adapun pertanyaan apakah boleh menjama’ jika dibolehkan mengqoshor? Kami katakan: Jama’ itu tidak terkait dengan qoshor tetapi terkait dengan kebutuhan. Kapan saja seseorang butuh melakukan sholat jama’ baik saat muqim (tinggal) ataupun saat safar, maka ia boleh menjama’. Oleh karena itu manusia melakukan jama’ saat hujan yang menyulitkan mereka untuk kembali ke masjid juga melakukan jama’ bila terjadi angin kencang di musim dingin yang menyulitkan mereka keluar menuju Masjid juga melakukan jama’ jika ia takut keselamatan hartanya atau yang semisalnya.

Dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:

جمع رسول الله صلى الله عليه و سلم بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء بالمدينة في غير خوف ولا مطر

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ sholat Dhuhur dan Ashar, Maghrib dan ‘Isya di Madinah bukan karena ketakutan ataupun hujan” (HR. Muslim no. 705).

Mereka bertanya: Apa yang diinginkan beliau? Beliau menjawab: Agar tidak menyulitkan ummatnya, maksudnya: agar tidak kesulitan dengan meninggalkan jama’.

Inilah rambu-rambunya, setiap kali seseorang merasa repot dengan tidak melakukan jama’ maka ia boleh melakukannya. Namun jika ia tidak menghadapi kesulitan maka ia tidak usah menjama’, namun safar adalah tempat kesulitan jika ia tidak melakukan jama’. Untuk itu dibolehkan bagi musafir (=orang yang bepergian) untuk menjama’ sholat baik saat dalam perjalanan atau saat singgah, hanya saja jika ia sedang dalam perjalanan maka menjama’nya lebih utama sedangkan saat singgah meninggalkan jama’ lebih utama.

Kecuali jika orang itu singgah di suatu tempat yang ditegakkan padanya sholat jama’ah, maka ia wajib menghadiri sholat jama’ah. Saat itu ia tidak boleh menjama’ dan mengqoshor. Namun jika ia ketinggalan jama’ah ia mengqoshor sholatnya tanpa menjama’, kecuali jika dibutuhkan untuk menjama’.

Dinukil dari: Majmu’ Fatawa Arkanil Islam, soal no: 311.

Allahu a’lam..
Wabillahit taufiq…

Konsultasi Bimbingan Islam
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah

Related Articles

Back to top button