Keluarga

Menghindari Anggota Keluarga Yang Buruk Akhlaqnya, Termasuk Memutus Silaturahmi?

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Menghindari Anggota Keluarga Yang Buruk Akhlaqnya, Termasuk Memutus Silaturahmi?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Menghindari Anggota Keluarga Yang Buruk Akhlaqnya, Termasuk Memutus Silaturahmi? selamat membaca.

Pertanyaan:

Assalamualaikum ustadz, Bolehkah menghindari atau membatasi berinteraksi dengan keluarga yang toxic (perilaku negatif yang sifatnya mengecewakan)? Apakah ini juga termasuk memutus silaturahim? Terima kasih.

Ditanyakan oleh Sahabat AISHAH (Akademi Shalihah)


Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabaraktuh

Setiap hubungan pasti pernah mengalami pasang surut dan pertengkaran. Dalam hubungan yang sehat, pertengkaran pasti menemukan jalan keluar dan mampu diselesaikan dengan cara yang baik. Hubungan yang sehat juga ditandai dengan pasangan yang saling mendiskusikan masalah secara terbuka, menikmati kebersamaan, dan mendukung keputusan satu sama lain.

Beberapa ahli mengatakan bahwa toxic adalah perilaku negatif yang sifatnya mengecewakan. Orang toxic biasanya berhadapan dengan trauma dan tingkat stres yang tinggi. Ketika terjadi perselisihan dan pertengkaran dalam sebuah hubungan, juga tidak menemukan titik terang dan rasa nyaman bahagia dengan orang di sekitar kita, misalkan pasangan, keluarga atau kerabat, maka kita perlu ekstra hati-hati, bisa jadi ini pertanda awal mula sebagai tanda masuk dalam hubungan yang beracun alias toxic relationship.

Lebih jauh lagi kaitannya dengan silaturahim ketika berhadapan dengan keluarga yang menurut anggapan kita, hubungan dengan mereka cenderung toxic.

Lantas bagaimana cara menyambung tali silaturahmi kepada kerabat yang punya akhlak dan pemikiran yang buruk, yang jika berinteraksi dengannya justru bisa memberi pengaruh buruk pada kita?

Bagaimana melaksanakan silaturahmi kepada kerabat yang hubungannya tidak enak karena masalah warisan, pernikahan, utang piutang, ada juga kerabat yang tipenya suka mengacau, mengganggu rumah tangga kita, menjelek-jelekkan pasangan kita bahkan berusaha menceraikan?

Ringkasnya, bagaimana cara menyambung silaturahmi kepada kerabat yang memiliki rasa canggung dengan kita, atau ketedak-enakan, atau ketegangan, atau suasana tidak sehat, atau konflik atau bahkan permusuhan?

Jawaban dari pertanyaan ini adalah sebagai berikut.

Silaturahim (baca silaturahmi) itu intinya adalah membaiki kerabat. Perbuatan baik tersebut secara alami akan menimbulkan cinta dan kasih sayang, lalu tersambung, bersatu dan kokoh bagaikan sartu bangunan yang kuat.

Oleh karena itu, silaturahmi itu ekspresinya dilakukan dengan segala perbuatan baik apapun yang intinya adalah membaiki kerabat. Dalam satu kondisi perbuatan baik itu kadang status hukumnya wajib. Dalam kondisi yang lain status perbuatan baik itu hukumnya sunnah. Al-Nawawī mengutip al-Qāḍī ‘Īyāḍ berkata,

فمنها واجب ومنها مستحب

“Aksi silaturahmi itu ada yang wajib dan ada yang sunnah” (Syarḥu al-Nawawī ‘Alā Muslim, 16/113).

Contoh aksi silaturahmi yang sudah tergolong wajib adalah menjamin nafkah orang tua yang sudah tidak sanggup bekerja, atau masih muda tapi sakit-sakitan, atau cacat, atau gila. Termasuk menafkahi kakek, buyut, anak, cucu, saudara, paman, bibi yang punya sifat-sifat kelemahan (gila, idiot, cacat tubuh, sakit dan semisalnya).

Contoh lain aksi silaturahmi yang wajib adalah mendatangi undangan walimah. Memenuhi undangan walimah dari selain kerabat saja hukumnya wajib, maka mendatangi undangan walimah kerabat lebih wajib lagi karena haknya lebih kuat.

Contoh lain aksi silaturahmi yang wajib adalah menjawab salam. Karena menjawab salam itu hukumnya fardu, apalagi yang mengucapkan salam adalah kerabat. Aspek kewajibannya lebih kuat karena hak kerabat lebih kuat.

Adapula aksi silaturahmi yang tergolong sunnah, seperti menjenguk kerabat yang sakit, merawat kerabat yang sakit, melunasi hutang kerabat, membayarkan biaya sekolah anak kerabat, membantu kerabat pindahan rumah, mengunjungi, mengucapkan salam, mencari tahu kabar berita, menanyakan kabar, bersikap lembut, menghormati yang berusia tua, menyayangi yang muda, menjamu, menyambut dengan ramah jika mereka bertamu, mengarahkan pendidikan, memenuhi undangan selain walimah, memberi selamat saat anak lahir, memberi selamat saat lulus sekolah, takziah, menghibur saat mereka curhat, ikut bergembira saat mereka gembira, ikut bersedih saat mereka sedih, memutihkan hati terhadap mereka (salāmatuṣ ṣadr), mengajak mereka ngaji, berwajah manis di depan mereka dan semua jenis kebaikan yang lain.

Ringkasnya, jika hendak dikatakan dalam satu kalimat, silaturahmi itu intinya mengantarkan kebaikan kepada kerabat (إيصال الخير) dan menghalau keburukan dari kerabat (دفع الشر).

Dalam Al-Qur’an, aksi silaturahmi itu intinya adalah dengan mengamalkan sebaik-baiknya kandungan ayat dalam Surah al-Naḥl: 90 berikut ini,

إِنَّ ‌اللَّهَ ‌يَأْمُرُ ‌بِالْعَدْلِ ‌وَالْإِحْسَانِ ‌وَإِيتَاءِ ‌ذِي ‌الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.” (QS. al-Naḥl: 90)

Oleh karena itu, menghadapi keluarga yang cenderung toxic, bentuk silaturahminya bisa dengan cara yang lain. Misalnya dengan mengirim hadiah dari jauh, berkirim salam, mendoakan, mencari tahu kabar berita dari orang lain dan semisalnya. Bentuk minimal silaturahmi dalam situasi diuji berat dengan kerabat adalah dengan manahan diri supaya tidak menyakiti mereka (kafful ażā).

Jadi, jika mereka memfitnah maka kita balas dengan ucapan yang baik-baik. Jika mereka memaki, kita membalas dengan doa. Jika mereka mendekat untuk merecoki urusan pribadi kita, maka kita menjauh dengan baik seraya tetap mendoakan dari kejauhan.

Ringkasnya, bentuk silaturahmi apa yang paling cocok untuk kerabat adalah disesuaikan dengan kemampuan, kondisi dan kebutuhan. Sifatnya bertingkat-tingkat antara yang paling afdal dan yang paling minimalis. Al-Nawawī mengutip al-Qāḍī ‘Īyāḍ berkata,

وَلَكِنَّ الصِّلَةَ دَرَجَاتٌ بَعْضُهَا أَرْفَعُ مِنْ بَعْضٍ وَأَدْنَاهَا تَرْكُ الْمُهَاجَرَةِ وَصِلَتُهَا بِالْكَلَامِ وَلَوْ بِالسَّلَامِ وَيَخْتَلِفُ ذَلِكَ بِاخْتِلَافِ القدرة والحاجة

“Silaturahim itu bertingkat-tingkat. Sebagiannya lebih tinggi daripada sebagian yang lain. Yang paling rendah adalah tidak “nyatru” dan menyambung silaturahmi walaupun hanya dengan salam. Ekspresi silaturahmi bisa berbeda-beda sesuai perbedaan kemampuan (qudrah) dan kebutuhan/ḥājah” (lihat Syarḥu al-Nawawī ‘alā Muslim, 16 /113).

Wallahu A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. 
حفظه الله
Selasa, 27 Sya’ban1444H / 20 Februari 2023 M


Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Beliau adalah Alumni STDI Imam Syafi’i Jember (ilmu hadits), Dewan konsultasi Bimbingan Islam

Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Fadly Gugul حفظه الله تعالى klik disini

Ustadz Fadly Gugul, S.Ag

Beliau adalah Alumni S1 STDI Imam Syafi’I Jember Ilmu Hadits 2012 – 2016 | Bidang khusus Keilmuan yang pernah diikuti beliau adalah Takhosus Ilmi di PP Al-Furqon Gresik Jawa Timur | Beliau juga pernah mengikuti Pengabdian santri selama satu tahun di kantor utama ICBB Yogyakarta (sebagai guru praktek tingkat SMP & SMA) | Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial Dakwah masyarakat (kajian kitab), Kajian tematik offline & Khotib Jum’at

Related Articles

Back to top button