Menggunakan Panggilan Bunda

Menggunakan Panggilan Bunda
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang menggunakan panggilan bunda.
selamat membaca.
Pertanyaan :
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Semoga ustadz dan keluarga besar BIAS senantiasa mendapatkan Rahmat dan keberkahan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Saya ingin menyampaikan pertanyaan dari teman saya, beliau dipanggil dengan sebutan “Bunda” oleh anak²nya, namun kemudian menemukan artikel yang membuatnya menjadi tidak nyaman, karena disebutkan di situ bahwa Islam tidak memperbolehkan panggilan ibu dengan “bunda” karena menyamai orang Nasrani yang sebutan itu untuk Bunda Maria, apakah ada sejarah Islam yang meriwayatkan hal itu? Mohon penjelasannya ustadz, agar teman saya dan saya pribadi tercerahkan dengan masalah sebutan ini.
Jazakallahu Khairan.
(Disampaikan oleh Fulanah, sahabat BiAS).
Jawaban :
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.
Terdapat Larangan, Tetapi….
Memanggil istri dengan sebutan lain seperti bunda, mama, atau saudariku memang ada dalil yang melarangnya. Sahabat Abu Tamimah Al-Juhaimi radhiallahu ‘anhu mengatakan,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِامْرَأَتِهِ يَا أُخَيَّةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُخْتُكَ هِيَ فَكَرِهَ ذَلِكَ وَنَهَى عَنْهُ
“Ada seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya, ‘Wahai Saudari Kecilku’ Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Apakah istrimu itu saudarimu?’ Beliau membencinya dan melarangnya.” (HR. Abu Daud, no. 1889).
Namun hadits ini dinilai dhaif (lemah) karena bermasalah pada sanadnya, dan disebutkan dalam ‘Aunul Ma’bud Syarah dari Sunan Abu Daud bahwa haditsnya Mudhtharrib alias guncang, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
Disisi lain, ada yang menganggap panggilan seperti itu sebagai dzihar. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Mujadilah,
ٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَآئِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَٰتِهِمۡۖ إِنۡ أُمَّهَٰتُهُمۡ إِلَّا ٱلَّٰٓـِٔي وَلَدۡنَهُمۡۚ وَإِنَّهُمۡ لَيَقُولُونَ مُنكَرٗا مِّنَ ٱلۡقَوۡلِ وَزُورٗاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٞ
“Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mujadilah : 2).
Dan kita tau bahwa dzihar termasuk di antara dosa besar yang memiliki kaffarah seperti jima’ di siang hari saat bulan Ramadhan, yakni memerdekakan budak, atau puasa 2 bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin.
Ada juga pendapat yang tidak sampai haram tapi makruh, yakni pendapat dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, beliau mengatakan,
أنه يكره للرجل أن ينادي زوجته ويسميها باسم محارمه ، كقوله ” يا أمي ” ، ” يا أختي ” ، ونحوه ، لأن ذلك يشبه المحرم
“Dimakruhkan seorang suami memanggil istrinya dengan panggilan nama mahramnya seperti ‘wahai ibuku’, ‘wahai saudaraku (adik)’ atau yang semisalnya, karena hal itu seperti menyerupakan istri dengan mahramnya” (Tafsir As-Sa’di, hal. 893).
Kesimpulan
Lalu mana yang benar? Yang benar Insya Alloh boleh memanggil istri dengan sebutan Bunda, Mama, atau Dik dengan 2 alasan:
Pertama, dalil tentang larangan memanggil istri saudari kecilku (adik) adalah hadits dhaif.
Kedua, tinjauan tentang dzihar perlu dirinci lagi. Karena dzihar memang ada dua macam: (1) dzihar yang sharih atau tegas, contohnya mengucapkan engkau bagiku seperti punggung ibuku, (2) dzihar kinayah yaitu tidak tegas seperti engkau bagiku seperti ibu dan adikku. Untuk dzihar kinayah ini mesti dilihat dari niatnya, kalau diniatkan dzihar maka termasuk dzihar, tapi kalau maksudnya menyerupakan dengan ibu dan adik dari sisi sifat, seperti kesabaran, kesantunan, atau kemuliaan, maka tidak termasuk dzihar, sehingga tidak ada kewajiban atau kafarah apa pun. (Silahkan lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, II/15).
Dan kalau kita amati yang ada di masyarakat, kebiasaan memanggil istri dengan sebutan dek, mama, bunda, atau bahkan ummi, maksudnya bukanlah panggilan dzihar seperti yang dimaksudkan orang Jahiliyyah. Tidak ada niat sama sekali dari suami untuk mendzihar istrinya, mengharamkan istrinya untuk digauli olehnya sebagaimana haramnya ibu, adik, dan mahram-mahram lainnya. Panggilan seperti ini dalam ‘urf (kebiasaan) kita adalah sebuah panggilan kesayangan, romantisme, juga dalam rangka mengajari anak-anak kita cara memanggil ibu mereka.
Bolehnya panggilan seperti ini juga dikuatkan dengan fatwa Syaikh Utsaimin rahimahullah, beliau pernah ditanya,
هل يجوز للرجل أن يقول لزوجته يا أختي بقصد المحبة فقط ، أو يا أمي بقصد المحبة فقط
“Apakah diperbolehkan suami memanggil istri dengan “adek” atau “ummi” dengan tujuan rasa cinta saja?,
Beliau menjawab:
نعم ، يجوز له أن يقول لها يا أختي ، أو يا أمي ، وما أشبه ذلك من الكلمات التي توجب المودة والمحبة ، وإن كان بعض أهل العلم كره أن يخاطب الرجل زوجته بمثل هذه العبارات ، ولكن لا وجه للكراهة ، وذلك لأن الأعمال بالنيات ، وهذا الرجل لم ينو بهذه الكلمات أنها أخته بالتحريم والمحرمية ، وإنما أراد أن يتودد إليها ويتحبب إليها ، وكل شيء يكون سبباً للمودة بين الزوجين ، سواء كان من الزوج أو الزوجة فإنه أمر مطلوب
“Ya, boleh bagi suami memanggilnya dengan adek atau ibu dan yang semisalnya dari kata-kata yang bisa mendatangkan rasa cinta dan kasih sayang. Walaupun ada sebagian para ulama yang membenci jika seseorang memanggil istrinya dengan kalimat seperti itu. Akan tetapi yang benar tidak ada sebab akan dibencinya kalimat tersebut karena amalan sesuai dengan niatnya. Dan orang ini tidaklah berniat dengan kata-kata tersebut untuk menganggap istrinya sebagai adek secara mahram. Akan tetapi dia hanya untuk mendapatkan kasih saya kepada istrinya dan semakin cinta. Dan segala sesuatu yang menjadi sebab akan datangnya cinta antara suami istri, maka hal tersebut dianjurkan.” (Fatawa Nur ‘Alaa Ad-Darb, 7/798).
Semoga Allah beri Taufik pada kita semua.
Wallahu A’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله
Jum’at, 19 Sya’ban 1442 H/ 2 April 2021 M
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله
Beliau adalah Alumni STDI IMAM SYAFI’I Kulliyyatul Hadits, dan Dewan konsultasi Bimbingan Islam,
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله klik disini