
Mengenal Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat Para Ulama (Bagian 2)
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan bagian kedua artikel berjudul Mengenal Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat Para Ulama (Bagian 2). Selamat membaca.
Sebab Ketiga: Belum Sampainya Hadist Pada Salah Satu Ulama Yang Berselisih.
Jika kita ambil contoh para ulama di kalangan sahabat, dahulu para sahabat tidak dalam satu level keilmuan yang sama dalam mengetahui hadist-hadist Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Dahulu mereka memiliki level yang beragam dan berbeda-beda. Adanya kesenjangan keilmuan tentang hadist Nabi sallallahu alaihi wa sallam ini bisa menimbulkan dampak yang besar dalam ranah khilaf fiqih yang ada di tengah para ulama.
Kita ambil satu contoh dari permasalahan yang dikhilafkan: Yaitu perkara masa iddah (menunggu) bagi perempuan yang sedang hamil dan ditinggal wafat oleh suaminya, sebenarnya berapa lama masa iddahnya. Dalam masalah ini sahabat Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas rodiyallahu ‘anhuma memfatwakan bahwa perempuan yang hamil dan ditinggal wafat oleh suaminya, masa iddah baginya adalah masa terpanjang dari dua masa iddah yang ada, kesimpulan ini dengan mengambil makna keumuman yang ada dalam dua ayat berikut:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari”. (Al-Baqarah:234)
Dalam firman Allah ta’ala yang lain:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (Al-Talaq:4)
Maksud dari pendapat Ali dan Ibnu Abbas bahwa perempuan ini mengambil masa iddah yang paling panjang adalah misalnya, jika perempuan itu hamil di bulan kehamilan ke 7, kemudian suaminya wafat, maka masa iddahnya bukanlah sampai dia melahirkan, karena jika hanya sampai melahirkan berarti tinggal menunggu sekitar 2 bulanan saja, dan ini lebih pendek dari 4 bulan 10 hari, jadi dalam kondisi ini ia beriddah dengan masa yang lebih panjang, yakni 4 bulan 10 hari.
Sebagaimana misalnya ia baru hamil di bulan ke 3, kemudian suami wafat, jika ia beriddah dengan masa iddah sampai melahirkan maka hitungannya sekitar 6 bulan lagi. Adapun masa iddah yang lain adalah 4 bulan 10 hari, dan masa iddah ini tentunya lebih pendek daripada 6 bulan, oleh karenanya dalam kondisi ini kita ambil iddah yang lebih panjang yakni 6 bulan. Demikian penerapan dari fatwa Ali dan Ibnu Abbas rodiyallahu ‘anhuma.
Kedua sahabat tersebut pada saat itu belum mendengar, atau belum sampai kepada mereka hadist Nabi sallallahu alaihi wa sallam terkait sahabiyyah bernama Subai’ah al-Aslamiyyah, dimana sahabiyah ini diberikan fatwa oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam bahwa masa iddahnya selesai ketika ia melahirkan. Diriwayatkan bahwa Subai’ah al-Aslamiyyah mengalami nifas (setelah melahirkan) setelah beberapa hari sebelumnya ditinggal wafat oleh suami. Setelah itu Subai’ah datang menemui Rasul sallallahu alaihi wa sallam dan meminta izin untuk menikah dengan lelaki lain, dan Nabi pun mengizinkan Subai’ah. Dari atsar ini menunjukkan bahwa masa iddah perempuan yang hamil, entah ditinggal wafat ataukah karena ditalak, maka masa iddahnya adalah sampai melahirkan. Dalam contoh kasus ini, kita temukan bahwa tidak/belum sampainya sebuah hadist dalam masalah tertentu menjadikan adanya khilaf di antara para fuqaha.
Sebab Keempat: Keraguan Dengan Validitas Sebuah Hadist
Adanya fenomena keraguan dalam validitas sebuah hadist bisa menjadi salah satu sebab perbedaan pandangan ulama dalam banyak permasalahan. Kita ambil contoh misalnya dalam masalah “hak syuf’ah [1] untuk tetangga”, apakah hak syuf’ah ini juga berlaku untuk tetangga? Dalam hal ini para fuqaha berbeda pandangan, al-Imam al-Syafii, al-Imam Malik, dan al-Imam Ahmad berpandangan bahwa hak syuf’ah tidak berlaku kepada selain sekutu yang sama-sama memiliki hak kepemilikan barang. Adapun al-Imam Abu Hanifah dan para murid beliau, juga Ibnu Abi Laila berpandangan bahwa syuf’ah juga berlaku pada tetangga, karena menganggap hadist tentang ditetapkannya hak syuf’ah untuk tetangga itu statusnya valid (sohih), hadist yang dimaksud adalah:
جَارُ الدَّارِ أَحَقُّ بِالدَّارِ
“Tetangga rumah lebih berhak dengan rumahnya”. (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud.).
Akar dari khilaf para ulama dalam masalah di atas adalah perbedaan mereka dalam menghukumi hadist, menurut al-Syafiiyah dan ulama yang bersama dengan mereka, hadist yang dijadikan pijakan oleh pihak al-Hanafiah adalah hadist yang tidak valid, sebagaimana sebaliknya bahwa hadist yang dipakai oleh al-Syafiiyah menurut al-Hanafiah juga tidak valid, jadi keraguan dalam menetapkan validitas sebuah hadist bisa menjadi poros adanya persilangan pendapat di kalangan para ulama, dan jika kita baca buku-buku fiqih komparasi, kita akan banyak mendapati fenomena seperti ini.
Sebab Kelima: Perbedaan Ulama Dalam Memahami Dalil Dan Menafsirkannya.
Terkadang ada dalil yang disepakati kevalidannya, namun walaupun sepakat secara validitas, sering para ulama justru berbeda dalam cara memahami dan sudut pandang pemaknaan, dan yang demikian banyak kita temui dalam buku-buku fiqih komparasi. Contoh dalam hal ini misalnya dalam memahami hadist:
ذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ
“Sembelihan janin adalah sembelihan induknya” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Al-Hakim dan selainnya)
Sisi pendalilan yang sudah makruf dari hadist ini adalah bahwa para ulama memahami jika ada hewan yang bunting, kemudian induk tersebut telah disembelih, maka tersembelihnya induk itu statusnya juga sebagai sembelih untuk janin yang ada dalam perutnya, maka si janin tidak butuh untuk disembelih lagi jika dikeluarkan dari perut induknya, karena si janin telah ikut mati, dan tak ada manfaat lagi adanya proses sembelih setelah jelasnya kematian janin.
Sebagian ulama ada yang memahami hadist tersebut bahwa maknanya adalah “tersembelihnya janin, itu sama seperti tersembelihnya induknya”, yakni si janin baru dikatakan tersembelih jika diberlakukan padanya juga seperti pemberlakuan pada induknya, dengan memotong urat nadi sampai darah mengalir, kerongkongan dan tenggorokan. Namun ini tentunya pemahaman yang jauh, karena setelah janin mati tentunya tidak mungkin lagi ada aliran darah ketika nadinya dipotong, sehingga tentunya tidak ada faidahnya.
Nah, perbedaan cara tafsir dan memahami dalil seperti ini sering menjadi sebab adanya khilaf di tengah ulama.
Sebab Keenam: Adanya Kesan Kontradiksi Diantara Dalil
Diantara sebab adanya khilaf diantara para ahli fiqih adalah didapatinya kesan kontradiksi antara dalil dalam pandangan ulama. Telah menjadi rahasia umum bahwa sejatinya tidak ada khilaf atau perbedaan dalam teks al-Quran dan Hadist, tidak ada pula kegoncangan, inkonsistensi dan kontradiksi.
Allah ta’ala berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (Al-Nisa:82).
Adapun hadist, maka ia juga berasal dari Allah ta’ala sama-sama sebagai wahyu, dan ummat telah berkonsensus bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam adalah ma’shum dalam menyampaikan pesan kenabian. Beliau sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ألا إني أوتيت الكتاب ومثله معه
“Ketahuilah, bahwa aku diberikan al-Quran dan yang semisal dengannya (hadist) bersama al-Quran”. (HR. Abu Dawud no:4604, Ahmad no:17174)
Jadi jika didapati adanya kesan kontradiksi dalam teks syari ataupun perbedaan di dalamnya, sebenarnya itu hanya ada dalam pikiran seorang mujtahid/ulama saja, menurut sudut pandang pemahamannya, dari apa yang tampak padanya, adapun hakikatnya tidak demikian [2].
Jika terjadi kesan kontradiksi seperti ini, maka seorang ulama tertuntut untuk mencari mana di antara dalil tersebut yang paling kuat. Jika masih dimungkinkan untuk dikompromikan, maka dikompromikan, jika tidak bisa maka dengan cara ditarjih mana di antara dalil tersebut yang lebih kuat, sesuai dengan indikator-indikator penguat yang bisa dimonitor oleh seorang ulama.
Adanya kontradiksi di antara dalil ini menjadi salah satu sebab terbesar adanya khilaf pendapat di tengah ulama, tidaklah kita mendapati khilaf dalam bab pembahasan fiqih melainkan salah satu faktornya karena ada kontradiksi dalil. Kita ambil contoh dalam masalah ini tentang hukumnya seorang yang muhrim (sedang berihram) untuk haji ataupun umroh kemudian melakukan pernikahan, dalam hal ini al-Syafii, Malik, dan Ahmad berpendapat bahwa pernikahan seorang muhrim tidak sah hukumnya, mereka berpijak pada hadist:
لا ينكح المحرم ولا ينكح ولا يخطب
“Seorang yang sedang muhrim tidak boleh menikah, dinikahi atau mengkhitbah”. (HR. Muslim).
Namun Abu Hanifah berpendapat bahwa seorang yang muhrim boleh untuk menikah, mereka berlandaskan dalil dari riwayat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam kondisi beliau muhrim. (HR. Bukhari).
Di sini kita mendapati adanya kesan bertentangan antara hadist yang dibawakan oleh kelompok pertama dan yang dibawakan oleh kelompok kedua, dan setiap dari dua kelompok tersebut merojihkan dalil yang mereka bawakan atas dalil yang dibawakan pihak yang berseberangan. Kelompok pertama lebih merojihkan dalilnya karena ada penguat dari pelaku kejadian itu sendiri yaitu Maimunah:
أن رسول الله تزوجها وهو حلال
“Bahwa Rasulullahu sallallahu alaihi wa sallam menikahi beliau (Maimunah) ketika sedang dalam kondisi halal (sudah tidak berihram haji/umroh)”. (Dikeluarkan oleh Muslim no:1411).
Adapun pihak kedua, yakni Hanafiah lebih merojihkan dalil yang mereka bawa dengan alasan bahwa Ibnu Abbas si periwayat hadist lebih menguasai bidang fiqih, lebih luas ilmunya, sehingga lebih rojih hadistnya daripada selain Ibnu Abbas. Jadi, seorang mujtahid tertuntut untuk mentarjih salah satu antara dua dalil yang ada dengan sandaran pentarjihan yang diterima dalam disiplin ilmu fiqih, dan sebenarnya yang lebih kuat adalah pendapat kelompok pertama, karena pemilik kisah (yaitu yang mengalami pernikahan) lebih tahu daripada orang lain.
Demikianlah beberapa sebab kenapa para ulama bisa berbeda dalam menyimpulkan hukum, sehingga terjadi khilaf di antara mereka. Penyebutan beberapa sebab ini bukan menunjukkan batasan sebab hanya yang kami sebutkan saja, namun ada sebab-sebab yang lain jumlahnya bisa puluhan atau lebih dari itu, adapun yang kami bawakan hanya sebatas contoh saja. Tujuan penyampaian tema ini adalah agar supaya kita sedikit tahu kenapa mereka berbeda, untuk membuka cakrawala berpikir kita agar tidak sempit, juga supaya kita tahu bahwa alasan mereka berbeda bukanlah didasari karena hawa nafsu belaka, tapi karena memang didasari dengan ilmu, dan masih dalam ranah yang diberikan ruang berbeda di dalamnya. Semoga dengan ini kita lebih bisa menghormati dan memuliakan ulama, dan mengedepankan husnu dzon dengan mereka.
Bagi temen-temen yang ingin mencari rujukan lain dalam pembahasan alasan kenapa ulama berbeda pendapat, ada beberapa buku kecil yang tidak terlalu tebal yang ditulis oleh ulama-ulama kita, di antaranya:
- Kitab “Raf’ul Malam ‘an Aimmatil A’lam” رفع الملام عن أئمة الأعلام (Menolak Celaan Terhadap Para Ulama) yang ditulis oleh Syaikhu al-Islam Ibnu Taimiyyah.
- Kitab “Al-Inshof fi bayani asbab Ikhtilaf” الإنصاف في بيان أسباب الإختلاف (Berlaku Adil Dalam Menjelaskan Sebab-Sebab Perselisihan) Oleh Syaikh Waliyullah al-Dehlawiy.
- Kitab “al-Khilaf Baina al-Ulama Asbabuhu Wa Mauqifuna Minhu”الخلاف بين العلماء، أسبابه وموقفنا منه (Perbedaan Diantara Ulama, Sebab-Sebabnya Dan Sikap Kita Terhadapnya) Oleh Syaikh Muhammad bin Solih al-Utsaimin.
Demikian sedikit yang bisa kami sampaikan, semoga bisa memberikan tambahan wawasan bagi penulisnya dan dan pembaca. Wallahu a’lam.
Disusun oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله
Selasa, 8 Jumadil Akhir 1443 H/11 Januari 2022 M
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله
Beliau adalah Alumnus S1 Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta dan S2 Hukum Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله klik disini
Referensi:
- Syuf’ah menurut fuqaha (ahli fiqh) adalah keberhakan kawan sekutu mengambil bagian kawan sekutunya dengan ganti harta (bayaran). Contoh masalahnya: ada sebidang tanah yang dimiliki oleh dua orang, kemudian salah satu dari dua orang yang memiliki tanah tersebut ingin menjual bagiannya, nah dalam kondisi ini teman sekepemilikannya itulah yang lebih berhak membeli daripada pihak yang lain. Hak yang berlaku bagi kawan sekutu kepemilikan tanah ini dinamakan sebagai syuf’ah.⤴
- al-Khatib al-Baghdady. al-Kifayah Fi Ilmi al-Riwayah. al-Madinatu al-Munawwarah, Kerajaan Saudi Arabia. al-Maktabah al-Ilmiyyah. Hal:433⤴