Membatalkan Ibadah Haji, Karena Wasiat Suami! Bagaimana Hukumnya Dalam Islam?

Membatalkan Ibadah Haji, Karena Wasiat Suami! Bagaimana Hukumnya Dalam Islam?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Membatalkan Ibadah Haji, Karena Wasiat Suami! Bagaimana Hukumnya Dalam Islam? selamat membaca.
Pertanyaan:
Ada seorang istri yang membatalkan ibadah haji, sementara semua persyaratan dan biaya telah lunas karena sebelum suami meninggal dunia berpesan pada istri “jangan berangkat ibadah haji jika saya tidak ikut serta”.
Pesan suami ini yang menjadikan sang istri membatalkan ibadah haji, karena merasa tidak mendapatkan izin dari suami yang telah meninggal dunia. Mohon penjelasan, apakah sikap sang istri dibenarkan dalam Islam?.
Ditanyakan oleh Santri Mahad Bimbingan Islam
Jawaban:
Bismilllah..
Perlu di pahami, bahwa ketaatan wasiat yang diperintahkan untuk dilaksanakan adalah wasiat yang tidak meniadakan perintah Allah kepada seorang hamba.
Tatkala seorang istri mampu untuk menjalankan suatu amalan termasuk di dalamnya ibadah haji, maka menjadi kewajibannya sebagai hamba untuk menjalankan perintah Allah.
Bahkan,dalam permasalahan ketika seorang muslim yang meninggal dan ia telah memenuhi syarat, maka dapat di ambilkan dari harta warisannya untuk di pergunakan sebagai badal dalam menunaikan haji buat dirinya yang belum sempat menjalankannya.
Sebagaimana yang di jelaskan di dalam fatwa lajnah Daimah,”
“ إذا مات المسلم ولم يقض فريضة الحج، وهو مستكمل لشروط وجوب الحج، وجب أن يحج عنه من ماله الذي خلفه، سواء أوصى بذلك، أم لم يوص … اهـ.”
“Bila seorang muslim meninggal dan belum menunaikan haji padahal telah lengkap syarat wajibnya haji, maka wajib untuk di hajikan dari harta yang ditinggalkannya( warisannya), baik ia berwasiat ataupun tidak…”
Namun di sisi lain, Allah juga memerintahkan seorang wanita yang hendak safar, diantaranya safar untuk berhaji untuk memenuhi syarat mahram dalam berhaji, bila tidak mempunyai mahram ketika safar haji maka ia tidak ada kewajiban dalam menunaikan ibadah haji.
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ ، وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ » . فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِى جَيْشِ كَذَا وَكَذَا ، وَامْرَأَتِى تُرِيدُ الْحَجَّ . فَقَالَ « اخْرُجْ مَعَهَا »
“Tidak boleh seorang wanita bersafar kecuali bersama mahromnya. Tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan wanita kecuali bersama mahromnya.” Kemudian ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin keluar mengikuti peperangan ini dan itu. Namun istriku ingin berhaji.” Beliau bersabda, “Lebih baik engkau berhaji bersama istrimu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Setelah membawakan dalil dalil diantaranya hadist di atas, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dalil-dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut menunjukkan diharamkannya safar wanita tanpa mahrom.
Dan dalil-dalil tersebut tidak menyatakan satu safar pun sebagai pengecualian. Padahal safar untuk berhaji sudah masyhur dan sudah seringkali dilakukan.
Sehingga tidak boleh kita menyatakan ini ada pengecualian dengan niat tanpa ada lafazh (pendukung). Bahkan para sahabat, di antara mereka memasukkan safar haji dalam hadits-hadits larangan tersebut.
Karena ada seseorang yang pernah menanyakan mengenai safar haji tanpa mahrom, ditegaskan tetap terlarang.” [Syarh Al ‘Umdah, 2/174).
Sehingga, dalam kasus di atas maka: Hendaknya ketika ia ingin mebatalkan hajinya adalah karena pada saat itu ia tidak mendapatkan mahram yang memungkinkan menyertainya untuk berangkat haji. Buka semata karena wasiat yang kurang selaras dengan perintah Allah untuk melaksakan amal ibadah yang di perintahkan.
Karena, bila dimungkinkan ada mahram yang menyertai untuk berangkat menunaikan haji, maka tidak seyogyanya ia membatalkan hajinya hanya sekedar adanya wasiat/komitmen untuk bareng dalam melaksanakan haji bersama pasangan yang telah meninggal, karena wasiat Allah untuk menjalankan haji sebagai rukun islam harus lebih di utamakan.
Wallahu a`lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله
Rabu, 27 Jumadil Awal 1444H / 21 Desember 2022 M
Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di sini