Mata Uang Kertas Dan Koin Sekarang, Riba! Kok Bisa?

Mata Uang Kertas Dan Koin Sekarang, Riba! Kok Bisa?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Mata Uang Kertas Dan Koin Sekarang, Riba! Kok Bisa? selamat membaca.
Pertanyaan:
Assalāmu’alaikum ustadz. Semoga Allāh selalu merahmati ustadz dan seluruh umat muslim. Ustadz, beberapa waktu lalu saya menemukan ada akun-akun instagram yang menyatakan bahwa mata uang yang sekarang digunakan (berupa uang kertas dan koin) adalah riba karena tidak sama nilai dan nominalnya.
Dia mengacu pada satu buku yang saya lupa judul dan penulisnya. Disitu juga
dia mempromosikan penukaran dinar dan dirham yang dia sebut sebagai alat tukar yang sah dibanding mata uang yang ada.
Bagaimana sebenarnya mata uang saat ini yang berupa uang kertas dan koin dalam pandangan syariat Islam? Jazākallāhu khairan ustadz.
Ditanyakan oleh Santri Mahad Bimbingan Islam
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullah wabarokatuh,
Insyaallah tidak menjadi masalah atau keterkaitan riba dengan mata uang yang sekarang ini dipakai. Mata uang yang sekarang dipakai, pun juga di negara lain di seluruh dunia dipergunakan, baik di kalangan orang awwam ataupun para ulama.
Maka perlu didudukkan antara mata uang dan riba yang terlarang. Tidak semua yang ada selisih dari suatu barang, otomatis menjadi suatu riba yang diharamkan.
Dan juga antara nilai mata uang dan nilai barang yang terkandung, tidak mengharuskan nilai harus sama dengan nominal yang di miliki dari dasar bahan pembuatan mata uang. Sehingga, apa yang dikatakan tidaklah benar, walau kita tidak mengingkari kebaikan dari dinar atau dirham yang ingin dipergunakan oleh sebagian orang.
Kebanyakan ulama’, di antaranya yang tergabung dalam ketiga mazhab; Maliki, Syafi’i dan Hambali, menegaskan bahwa alasan berlakunya riba pada emas dan perak karena keduanya adalah alat untuk jual beli, dan sebagai alat ukur nilai harta benda lainnya.
Dengan demikian, kegunaan emas dan perak (dinar dan dirham) terletak pada fungsi ini, tidak hanya pada nilai intrinsik bendanya.
(Baca Al Mughi oleh Ibnu Qudamah 6/56, As Syarhul Kabir oleh Abul Faraj Ibnu Qudamah 12/12, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/471 dan Al Fatawa Al Kubra 5/391)
Sebagaimana yang telah di salinkan dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XV/1433H/2012M) disebutkan terkait dengan keputusan keputusan yang terkait dengan uang kertas, dimana pemakaian uang kertas tidak di permasalahkan dengan riba yang terkandung, sehingga bermuamalah dengannya di haramkan atau diharuskan untuk menggunakan hanya mata uang dinar dan dirham. Di sebutkan di dalamnya ,”
Keputusan ke-enam al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami pada daurahnya yang kelima di kota Makkah Mukarramah dari tanggal 8 sampai 16 Rabi’ul awal 1402 H. Segala puji bagi Allâh saja dan semoga shalwat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi terakhir yang tidak ada nabi setelahnya Sayyid kita dan Nabi kita Muhammad dan keluarganya serta sahabatnya. Amma Ba’du: Sungguh Majlis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami telah meneliti sebuah riset yang diajukan terkait masalah mata uang kertas dan hukum-hukum syar’i nya. Setelah didikusikan diantara anggota majlis maka diputuskan hal-hal sebagai berikut :
Pertama : Berpijak pada :
• Bahan awal alat pembayaran (an-naqd) adalah emas dan perak
• Illat (sebab hukum-pent) berlakunya hukum riba pada emas dan perah adalah tsamaniyah (standar alat pembayaran) menurut pendapat yang paling shahih di kalangan para pakar ilmu fikih
• Kriteria tsamaniyah ini menurut fuqaha tidak hanya terbatas pada emas dan perak sekalipun asalnya materi adalah emas dan perak
• Mata uang kertas telah menjadi sebuah alat pembayaran yang memiliki harga dan berperan layaknya emas dan perak dalam penggunaannya. Uang kertas telah menjadi standar ukuran nilai barang-barang di zaman ini, karena penggunaan emas dan perak (sebagai alat tukar) tidak lagi nampak dalam intraksi dan jiwa masyarakat merasa tenang dengan menganggapnya sebagai alat tukar (Tamawwul) dan menyimpannya. Penunaian pembayaran yang sah terwujud dengannya dalam skala umum.
Sekalipun nilainya bukan pada dzatnya, akan tetapi karena faktor luar, yaitu terwujudnya kepercayaan masyarakat terhadapnya sebagai sarana pembayaran dan pertukaran. Inilah titik pertimbangan kuat bagi sisi tsamaniyah padanya
• Kesimpulan tentang illat berlakunya hukum riba pada emas dan perak adalah tsamaniyah dan illat ini juga terwujud pada uang kertas.
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas seluruhnya, Majlis al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami menetapkan bahwa mata uang kertas merupakan alat pembayaran yang berdiri sendiri dan mengambil hukum emas dan perak, sehingga zakat menjadi wajib padanya dan dua jenis riba, fadhl dan nasa’i berlaku pada uang kertas ini, sebagaimana hal itu berlaku pada mata uang emas dan perak secara sempurna dengan mempertimbangkan kriteria tsamaniyah pada mata uang kertas, sehingga ia diqiyaskan kepada emas dan perak.
Dengan demikian mata uang kertas mengambil hukum-hukum uang emas dan perak (Nuquud) dalam segala konsekwensi yang telah ditetapkan syariat.
Kedua : Uang kertas dianggap sebagai alat bayar independen sebagaimana fungsi emas, perak dan benda-benda berharga lainnya. Demikian juga uang kertas diklasifikasikan sebagai jenis-jenis yang berbeda-beda dan beraneka-ragam sesuai dengan pihak penerbitnya di negara-negara yang berbeda-beda pula.
Artinya uang kertas Saudi Arabiah adalah satu jenis dan uang kertas Amerika adalah satu jenis. Begitulah setiap uang kertas adalah satu jenis independen secara dzatnya.
Dengan demikian hukum riba dengan kedua macamnya riba fadhl dan riba nasi`ah berlaku padanya, sebagaimana kedua riba ini berlaku pada emas dan perak serta barang berharga lainnya. Semua ini berkonsekuensi sebagai berikut:
1. Tidak boleh menjual mata uang sebagian dengan sebagian yang lain atau dengan mata uang yang berbeda dari jenis-jenis alat pembayaran lainnya berupa emas atau perak atau selain keduanya secara nasi`ah (tunda) secara mutlak, tidak boleh misalnya menjual sepuluh riyal Saudi dengan mata uang lain dengan selisih harga secara tunda tanpa serah terima secara kontan.
2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenisnya sendiri di mana salah satunya lebih banyak dari yang lain, baik hal itu dilakukan secara kontan maupun tunda. Tidak boleh –sebagai contoh- menjual sepuluh riyal Saudi kertas dengan sebelas riyal Saudi kertas secara kontan maupun tunda.
Boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis lain yang berbeda bila hal itu dilakukan secara kontan. Diperbolehkan menjual Lira Suriah atau Lebanon dengan riyal Saudi, baik berupa uang kertas atau perak dalam jumlah yang sama atau lebih murah atau lebih tinggi.
Juga diperbolehkan menjual dolar Amerika dengan tiga riyal Saudi atau lebih rendah dari itu atau lebih tinggi bila hal itu terjadi secara kontan. Seperti ini juga pembolehan menjual riyal Saudi perak dengan tiga riyal Saudi kertas atau kurang atau lebih tingi dari itu, bila hal itu dilakukan secara kontan.
Karena dalam kasus ini dianggap menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang lain, sekedar kesamaan nama tidak berpengaruh karena hakikat keduanya tidak sama.
Ketiga : Kewajiban zakat pada uang kertas bila nilainya sudah mencapai nishab terendah dari nishab emas atau perak atau nishabnya terwujud dengan menggabungkannya dengan harta berharga lainnya dan harga barang yang disiapkan untuk diperdagangkan.
Keempat : Boleh menjadikan mata uang kertas sebagai modal dalam jual beli salam dan serikat kerja sama. Wallahu a’lam dan taufik hanya dari-Nya. Shalawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Keputusan ini ditanda tangani oleh : Abdullah bin Humaid sebagai ketua Majlis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami (izin karena sakit). Muhammad Ali al-harakaan sebagai Wakil ketua majlis. Abdulaziz bin Abdillah bin Bâz sebagai Anggota Muhammad Mahmûd ash-Shawaf Shâlih bin Utsaimin Muhamad bin Abdillah as-Sabîl Mabrûk al-‘Awaadi Mushthafa Ahmad Zarqâ Abdulqadus al-Hâsyimi (Tidak bisa Hadir) Muhammad asy-Syaazalian-Naifar Muhammad Rasyidi Abulhasan Ali al-Hasani an-Nadwi (tidak bisa hadir) Abu Bakar Mahmûd Juumi Husnayain Muhammad Makhlûf Muhammad Rasyid Qubbani Muhammad Syeit Khaththâb Muhmmad Sâlim ‘Adud Muhammad Abdurrahin al-Khhalid.
dari beberapa hal yang telah disebutkan diatas, hendaknya seseorang tidak gegabah di dalam mengharamkan yang dihalalkan atau sebaliknya, sebelum ada kejelasan dasar , terlebih dengan sesuatu yang tiada pengingkaran dari mayoritas para ulama.
Terlebih bila ada maksud dibelakangnya dengan menawarkan apa yang menjadi barang dagangannya.
Wallahu a`lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله
Senin, 24 Jumadil Akhir 1444H / 16 Januari 2023 M
Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di sini