Larangan Nabi ﷺ menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah
Asal usul kesyirikan
Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan makhluk-Nya untuk menyembah dan mentauhidkan-Nya, Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَالإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan tujuannya adalah untuk beribadah kepada-Ku”. (al-Dzariat: 56).
Ibnu Katsir mengatakan tentang ayat ini:
أَيْ إِنَّمَا خَلَقْتُهُمْ لِآمُرَهُمْ بِعِبَادَتِي لَا لِاحْتِيَاجِي إِلَيْهِمْ
“Maksudnya adalah, sejatinya aku (Allah) menciptakan mereka agar supaya aku perintahkan untuk beribadah kepadaku, namun bukan berarti aku butuh kepada mereka”. (Lihat: Tasfir Ibnu Katsir juz:7 hal:396).
Awal mula kesyirikan muncul ialah ketika ada sifat berlebihan dalam mengagungkan orang solih dan memposisikan mereka pada posisi yang tidak seharusnya. Bahkan sampai meyakini bahwa mereka mengetahui perkara ghaib, kebaikan dan manfaat ada di tangan mereka, semuanya datang dari mereka. Beginilah yang dahulu pernah terjadi pada kaumnya Nabi Nuh alaihis salam, Allah berfirman:
وَقَالُوا۟ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”. (Nuh:23).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan:
هي أسماء رجال صالحين من قوم نوح عليه السلام، فلما هلكوا أوحى الشيطان إلى قومهم أن انصبوا إلى مجالسهم التي كانوا يجلسون فيها أنصابا وسموها بأسمائهم ففعلوا،
فلم تُعبد حتى إذا هلك أولئك ونُسِخَ العلم عُبِدَت
“Itu adalah nama-nama orang solih dari kaumnya Nabi Nuh ‘alaihissalam. Ketika mereka meninggal, syetan membisikkan kepada kaum tersebut untuk membuat dan meletakkan patung-patung orang sholih yang sudah meninggal di majelis tempat dahulu mereka berkumpul. Dengan masing-masing diberi nama persis seperti nama mereka.
Awal mulanya belum disembah sampai ketika generasi pembuat patung tersebut binasa. Kemudian tujuan awal pembuatan patung tersebut terlupakan, akhirnya patung-patung tersebut disembah dan diibadahi”. (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir juz:8 hal:248).
Menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah
Terlalu berlebihan dan melampaui batas dalam mencintai orang-orang sholih, baik para Nabi, Rasul, ulama, dan selainnya dari mereka yang sudah meninggal memiliki beberapa gambaran yang bermacam-macam. Diantaranya adalah seperti berdoa kepada mereka, meminta kepada mereka, meminta pertolongan, dan beristighotsah pada mereka atau seperti mencari keberkahan di kuburan mereka. Menjadikan kuburan tersebut sebagai masjid, tempat sujud dan ibadah lainnya.
Sebagai bentuk pembentengan tauhid dan menjaganya, Nabi kita Muhammad sallallahu alaihi wa sallam menutup segala jalan yang kemungkinan akan mengantarkan ummatnya pada kesyirikan. Diantaranya Beliau sangat melarang keras dan mewanti wanti secara gamblang untuk tidak mendirikan bangunan di atas kuburan, dan menjadikan kuburan sebagai masjid untuk beribadah, dan hadist-hadist Nabi dalam tema ini begitu banyak.
Larangan menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah
Banyak larangan dalam hadist tentang masalah menjadikan kuburan orang-orang solih sebagai tempat untuk beribadah, diantaranya pada hadist-hadist berikut:
1. Dari Abu Huroiroh rodiyallahu ‘anhu bahwa Rasul sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لعن الله اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
“Allah melaknat kaum yahudi dan nashrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)”. (H.R Muslim).
2. Dari Jundub radhiyallahu’anhu dia berkata, Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum beliau meninggal:
يَقُولُ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَكُونَ لِي مِنْكُمْ خَلِيلٌ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ اتَّخَذَنِي خَلِيلًا كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلًا أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
“Sesungguhnya aku berlepas diri kepada Allah bahwa aku tidak akan menjadikan seorang pun dari kalian sebagai kekasihku, karena sesungguhnya Allah ta’ala telah menjadikan aku sebagai kekasih-Nya sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya.
Kalau seandainya aku diijinkan untuk mengangkat seorang kekasih dari kalangan umatku, maka niscaya akan aku jadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Ingatlah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian biasa menjadikan kubur para nabi dan orang-orang soleh di antara mereka sebagai tempat ibadah, sesungguhnya aku melarang kalian melakukan hal semacam itu”. (HR. Muslim)
Dari dua hadist di atas, kita memahami bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam sangat melarang dan mewanti-wanti agar jangan sampai menjadikan kuburan orang solih sebagai tempat ibadah, karena hal tersebut akan menjadi dzariah (celah) untuk tercebur kepada praktek kesyirikan.
Makna larangan menjadikan kuburan sebagai masjid
Namun, untuk lebih jelasnya, apakah makna yang sesungguhnya dari larangan اتخاذ القبور مساجد / menjadikan kuburan sebagai masjid (tempat ibadah) itu? Jawabannya adalah, bahwa larangan menjadikan kuburan sebagai masjid itu mencakup 3 hal, diantaranya:
1. Yaitu melakukan solat atau meletakkan sujud di atas kuburan tersebut (الصلاة على القبور) .
2. Melakukan sujud ke arah kuburan dan menghadap ke arahnya, baik ketika solat maupun doa (الصلاة إلى القبور) .
3. Membangun masjid di atas kuburan, kemudian memaksudkan melakukan solat ke masjid tersebut(بناء المسجد على القبور) .
Tiga makna di atas disampaikan oleh Imam al-Syafii dalam al-Umm, beliau mengatakan:
وَأَكْرَهُ أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ مَسْجِدٌ , وَأَنْ يُسَوَّى أَوْ يُصَلَّى عَلَيْهِ , وَهُوَ غَيْرُ مُسَوًّى أَوْ يُصَلَّى إلَيْهِ
“Saya tidak suka masjid dibangun di atas kuburan dan kuburan diratakan; atau shalat di atasnya dalam keadaan kubur tersebut tidak rata (tampak); atau shalat menghadap ke arahnya”. (Lihat: al-Umm juz:2 hal:632).
Kemudian, akan timbul pertanyaan, dari paparan di atas, kita memahami bahwa solat mengarah ke kuburan, atau di atas kuburan, atau membangun masjid di atas kuburan adalah perkara yang haram dan dilarang oleh agama, lantas ada pertanyaan, bagaimana status orang yang solat di masjid Nabawi di kota Madinah? bukankah kuburan Nabi sallallahu alaihi wa sallam sekarang berada di dalam masjid?
Jawabannya adalah:
Anggapan demikian tidaklah benar, syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan: “Ada syubhat yang dilontarkan oleh para penyembah kubur, yaitu keberadaan kuburan Nabi sallallahu alaihi wa sallam yang berada di dalam masjid. Sanggahannya adalah bahwa sejatinya para sahabat Nabi mereka tidak pernah mengkuburkan Nabi di masjid Beliau. Namun mereka para sahabat mengkuburkan Nabi di rumahnya Aisyah rodiyallahu’anha.
Namun ketika Khalifah Walid bin Abdil Malik memperluas masjid nabawi di akhir abad pertama hijriah, termasuk dalam proyek tersebut akhirnya kamarnya Nabi yang menjadi kuburan beliau akhirnya dimasukkan ke lingkup masjid sebagai dampak perluasan, dan Khalifah telah berbuat buruk (keliru) dalam hal ini, dan perbuatan khalifah sejatinya sudah diingkari oleh para ulama di masa itu, namun khalifah tetap kekeh dan menganggap hal itu tidak masalah sebagai dampak perluasan.
Dari paparan di atas, maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk berargumen dengan kasus tersebut sebagai pembenar bolehnya membangun masjid di atas kuburan, atau mengkuburkan seseorang di dalam masjid, karena hal tersebut menyelisihi hadist-hadist yang sohih, dan hal tersebut juga bisa menjadi wasilah kesyirikan pada para penghuni kubur”. (Lihat: Majmu Fatawa Syaikh Ibnu Baz juz:5 hal:388-389).
Kesimpulan
Dari sedikit ulasan sederhana di atas, akhirnya bisa kita buat kesimpulan bahwa kita diperintahkan oleh Allah adalah untuk beribadah dan mentauhidkan-Nya, dan segala bentuk perbuatan yang berpotensi menjadi wasilah kepada praktek kesyirikan telah ditutup rapat-rapat dalam aturan syariat.
Salah satu hal terlarang yang bisa menceburkan pelakunya pada kesyirikan adalah menjadikan kuburan para orang solih sebagai tempat ibadah, solat di atas kuburan, mengarah ke kuburan, maupun membangun masjid di atas kuburan, demikian haram hukumnya.
Adapun apa yang terjadi di masjid Nabawi, maka sejatinya kuburan Nabi tidaklah berada di dalam masjid pada awalnya, hanya saja karena kesalahan dari khalifah terdahulu ketika memperluas masjid Nabawi sehingga kuburan Nabi akhirnya masuk di komplek masjid, dan yang demikian tetaplah keliru, dan tidak bisa menjadi pembenar atas perbuatan yang serupa,
wallahu a’lam.
Disusun oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله
Jum’at, 30 Syawwal 1442 H/ 11 Juni 2021 M
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله
Beliau adalah Alumnus S1 Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta dan S2 Hukum Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله klik disini