IbadahKonsultasi

Kapan Batas Waktu Dzikir Pagi Dan Bolehkah Membacanya Dipenggal-Penggal ?

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Pertanyaan

بسم اللّه الرحمن الر حيم
السلام عليكم ورحمةالله وبركاته

Ustadz mau bertanya.
Saya ibu rumah tangga dengan, Alhamdulillah, 6 anak sehingga jika setelah sholat subuh langsung menyiapkan perbekalan sekolah mereka, dll jadi terkadang dzikir pagi tidak sempat. Setelah anak-anak berangkat sekolah dan mengurus suami selesai baru sempat baca dzikir pagi itupun sudah jam 8 lebih

1. Karena kasus di atas apakah diperbolehkan jika berdzikir pagi sambil mengerjakan pekerjaan tersebut di atas?

2. Apakah dzikir pagi boleh dibaca terpenggal-penggal karena kesibukan diatas?

3. Apakah berdzikir pagi diperbolehkan tidak menutup aurat?

Mohon pencerahannya Ustadz.
Jazaakallahu khayran.

(Sahabat BiAS T06 G-XX)

Jawaban

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Semoga Allah anugrahkan kepada kita semua kekuatan, kesabaran untuk mendawamkan membaca dzikir pagi dan petang.

1. Batasan waktu untuk dzikir pagi itu diperselisihkan oleh para ulama’

Ada yang menyatakan waktu pagi itu dari terbitnya fajar berakhir sampai terbitnya matahari. Ada juga yang bilang dari terbitnya fajar dan berakhir sampai waktu zawal/waktu dzuhur. Ada lagi yang menyatakan dimulai dari terbitnya fajar dan berakhir dengan tenggelamnya matahari

Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah waktu dzikir pagi itu dimulai dari terbitnya fajar setelah subuh dan berakhir sampai tiba waktu zawal/tergelincirnya matahari ke arah barat/waktu dzuhur.

Yang demikian karena tidak ada dalil syar’i yang shahih lagi gamblang yang menjelaskan batasan waktu pagi (untuk dzikir). Ketika tidak ada keterangan jelas dari syariat maka kita kembalikan batasan waktu pagi kepada batasan yang ditentukan oleh bahasa arab. Karena anjuran membaca dzikir pagi tersebut diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bahasa arab.

Para ulama ahli bahasa arab menyatakan bahwa waktu pagi menurut orang-orang arab/menurut bahasa arab dimulai setelah terbitnya fajar dan habis dengan tibanya waktu zawal/waktu dzuhur.

Lihat misalnya keterangan Ibnu Faris dalam Mu’jam Maqayisillughah : 5/321, Imam Ibnul Mandzur dalam kitab Lisanul ‘Arab : 2/502, Al-Jauhari dalam As-Sihah : 1/379, Al-Fayumi dalam Al-Misbahul Munir : 1/331, Az-Zabidi dalam Tajul Arus : 6/516, Ar-Razi dalam Mukhtarus Sihhah : 375.

Kami nukilkan di sini pernyataan Imam Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq Al-Murtadha Az-Zabidi :

(الصُّبْح) ، بالضَّم (: الفَجْر، أَو أَوّلُ النَّهَارِ، ج أَصْباحٌ، وَهُوَ الصَّبِيحة؛ والصَّبَاح) نقيض المسَاءِ.

“As-Subhu/subuh, dengan mendomah huruf sod, maknanya adalah fajar, atau permulaan siang, disebut pula As-Sobihah dan As-Sobbah maknanya kebalikan dari waktu sore.” (Tajul ‘Arus : 6/516).

Pendapat ini diperkuat dengan teori yang mengatakan bahwa pagi itu merupakan sebagian dari hari dan bukan keseluruhan hari tersebut. Sehingga dengan begini pendapat yang mengatakan pagi dimulai dari terbit fajar hingga matahari tenggelam tidaklah tepat. Karena pagi merupakan sebagian dari hari, bukan keseluruhan hari. Dalilnya ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَا مِنْ عَبْدٍ يَقُولُ فِي صَبَاحِ كُلِّ يَوْمٍ وَمَسَاءِ كُلِّ لَيْلَةٍ بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ

“Tidaklah seorang hamba mengucapkan di waktu pagi pada tiap harinya, dan di waktu sore pada tiap harinya *’Bismillahilladzi la yadhurru ma’asmihi syai’un fil ardhi wala fissamaa’ wahuwassami’ul ‘aliim’* sebanyak tiga kali, tidak akan memadharati dia sesuatupun.” (HR. Tirmidzi : 3388 dishahihkan oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam Zaadul Ma’ad : 2/338).
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara waktu pagi dengan waktu sore. Ini menjadi bukti bahwa pagi merupakan sebagian dari hari.

Anggapan waktu subuh berakhir dengan terbitnya matahari juga kurang tepat berdasarkan riwayat berikut :

عَنْ عَائِشَةَ، أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْتِيهَا وَهُوَ صَائِمٌ، فَقَالَ: «أَصْبَحَ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ تُطْعِمِينِيهِ؟» فَنَقُولُ: لَا، فَيَقُولُ:
«إِنِّي صَائِمٌ»

“Dari ‘Aisyah ibunda kaum mukminin radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi beliau dalam keadaan puasa. Beliau lantas berkata : ‘Apakah pagi ini engkau memiliki sesuatu untuk aku makan?

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab : ‘Tidak wahai Rasulullah’. Beliau lantas berkata : ‘Jika demikian aku akan puasa.” (HR. Nasa’i : 2322, Abu Dawud : 2455, Tirmidzi : 734 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud : 2119).

Beliau menyebut waktu puasa setelah matahari terbit dengan “pagi”, meskipun matahari sudah terbit. Dari sini kita mengambil kesimpulan bahwa waktu pagi itu dimulai dari terbitnya fajar hingga tiba waktu zawal. Jadi seandainya penanya membaca dzikir pagi pada pukul 08.00 WIB yang seperti itu tidak mengapa.

Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh para ulama’ yang tergabung dalam Lajnah Daimah (Fatawa Lajnah Daaimah : 24/179).

2. Boleh membaca dzikir pagi dengan terpenggal-penggal, karena aslinya memang rangkaian dzikir-dzikir tersebut diriwayatkan dengan tersendiri, dengan terpenggal-penggal.

Disebutkan dalam Fatawa Islam no. 249280 fatwa sebagai berikut :

فنريد أولا الإشارة إلى أن القرآن لا يحرم عند تلاوته تناول المأكولات، أو فعل شيء آخر غير التلاوة، وإنما كره أهل العلم قطع القراءة بالكلام مع الناس، عللين ذلك بأن كلام الله لا ينبغي أن يؤثر عليه غيره. وأيدوا ذلك بما روي في الصحيح: كان ابن عمر إذا قرأ القرآن لم يتكلم حتى يفرغ منه. اهـ.

وفي خصوص الأذكار فلا حرج في عدم ترتيب قراءتها، أو قطعها ببعض الأعمال؛ لعدم ورود نص عن النبي صلى الله عليه وسلم صلى الله عليه وسلم يدل على لزوم الترتيب. وقراءة الأذكار لا يلزم فيها ما يلزم لقراءة القرآن، والأمر فيها واسع؛ وانظري الفتويين التالية أرقامهما: 32564، 242266.
ولكن الأفضل والأكمل للمسلم إذا أراد قراءة الأذكار والأدعية أن يتفرغ لذلك، ويتهيأ له بالطهارة، واستقبال القبلة إن أمكن.

قال النووي- رحمه الله- في الأذكار: ينبغي أن يكون الذاكرُ على أكمل الصفات، فإن كان جالساً في موضع استقبل القبلة، وجلس مُتذلِّلاً، مُتخشعاً بسكينة ووقار، مُطرقاً رأسه، ولو ذكر على غير هذه الأحوال جاز ولا كراهة في حقه..” لقوله تعالى في وصف عباده أولي الألباب: (الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِهِم) (آل عمران: من الآية191).

“Kami ingin mengisyaratkan terlebih dahulu bahwa membaca Al-Qur’an itu tidak dilarang dilakukan sambil makan. Atau sambil melakukan aktivitas lain selain membaca. Hanya saja para ahli ilmu menyatakan makruh membaca Al-Qur’an sambil disela dengan perkataan bersama manusia. Mereka beralasan bahwa kalam Allah tidak layak diselingi atau ditindih dengan ucapan manusia.

Mereka menguatkan pendapat ini dengan riwayat shahih : adalah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu jika membaca Al-Qur’an maka beliau totalitas sampai beliau selesai membacanya.

Dan khusus berkenaan dengan dzikir-dzikir tidak mengapa jika ia dibaca tidak sesuai urutannya, atau memutusnya/menyelinginya dengan sebagian aktivitas lain. Karena tidak adanya nash/redaksi hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengharuskan adanya tartib atau urutan.

Membaca dzikir itu aturannya tidak sama dengan membaca Al-Qur’an, permasalahannya luas. Lihat fatwa no. 32564، 242266.

Akan tetapi yang lebih sempurna dan lebih utama bagi seorang muslim ketika membaca dzikir-dzikir atau do’a hendaknya dilakukan dengan totalitas dan disertai wudhu dan menghadap kiblat jika memungkinkan.
Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Adzkar : Hendaknya seorang yang berdzikir itu berada pada keadaan yang paling sempurna. Jika ia duduk hendaknya menghadap kiblat dan duduk dengan menghinakan diri, khusyuk, tenang, berwibawa serta menundukkan kepala. Jika ia berdzikir dengan kondisi selain ini maka boleh dan tidak mengapa berdasarkan firman Allah ta’ala :

‘Yaitu orang-orang yang berdzikir kepada Allah ta’ala dalam keadaan berdiri, duduk dan sambil berbaring’. (QS. Ali-Imran : 191)”.

Sumber : (Fatawa Islam no. 249280).

3. Demikian pula berdzikir tidak disyaratkan harus menutup aurat. Namun jika menutup aurat maka itu lebih utama dan lebih baik. Dikarenakan tidak ada dalil yang menerangkan adanya perintah untuk menutup aurat ketika berdzikir.

Wallahu a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh :

Ustadz Abul Aswad Al-Bayati حفظه الله

Jum’at, 17 Rabi’ul Awwal 1438 H / 16 Desember 2016 M

Related Articles

Back to top button