
Kaidah Tarjih 3: Kaidah Yang Berkaitan dengan Matan Hadist
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan kaidah tarjih bagian 3 yaitu kaidah yang berkaitan dengan matan hadist. Selamat membaca.
Bagian kedua: Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan matan hadist.
A. Kaidah pertama: Statemen (القول) lebih dirajihkan daripada perbuatan (الفعل).
Jika ada dua dalil yang saling bertentangan, salah satunya sabda/perkataan Nabi sallallahu alaihi wa sallam, sedangkan satunya lagi adalah perbuatan Beliau, maka wajib untuk ditarjih statement Beliau sallallahu alaihi wa sallam daripada perbuatannya.
Alasannya karena makna yang ditunjukkan lewat sabda lebih kuat daripada yang ditunjukkan oleh perbuatan, juga karena perkataan menunjukkan kandungan hukum secara langsung, sehingga lebih kuat, berbeda dengan perbuatan. Perbuatan, jika tidak dibarengi dengan perintah Beliau sallallahu alaihi wa sallam secara lisan, itu akan mengandung kemungkinan khusus hanya untuk Beliau saja [1].
Alasan lainnya karena ulama bersepakat pada perkara bahwa sabda Nabi adalah hujjah, namun mereka berselisih apakah mengikuti perbuatan Beliau juga termasuk hujjah [2].
Contoh penerapan kaidah ini:
Hadist dari Jarhad radiyallahu ‘anhu, dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam:
الفخذ عورة
Sedangkan Anas bin Malik mengatakan:
حسر النبي صلى الله عليه وسلم عن فخذه
“Bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam pernah menyingkap pahanya.”[4].
Poin dari dua hadist di atas adalah bahwa hadist riwayat pertama bertentangan dengan hadist di riwayat ke dua, di mana pada riwayat pertama menegaskan bahwa paha itu adalah aurat yang wajib untuk ditutup, Nabi (ﷺ) sampaikan hal tersebut secara lisan, sedangkan pada riwayat kedua menetapkan bahwa Nabi pernah menyingkap paha Beliau.
Pentarjihan: Di sini kita lebih menguatkan riwayat yang pertama atas riwayat yang kedua, karena riwayat yang pertama berasal dari sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam, sedangkan yang kedua menerangkan perbuatan Beliau.
B. Kaidah kedua: Hadist yang disebutkan illatnya secara gamblang lebih dirajihkan daripada yang tidak disebutkan illatnya.
Jika ada dua hadist yang saling memberikan kesan kontradiksi, salah satunya menyebutkan illat (sebab adanya hukum), dan yang lainnya tidak disebutkan illatnya, maka wajib untuk merojihkan hadist yang menyebutkan illat.
Alasannya karena yang menyebutkan illat lebih memahamkan dan lebih menjelaskan [5].
Contoh penerapan kaidah dengan melihat hadist berikut:
Dari Ibnu Abbas rodiyallahu ‘anhuma berkata: Nabi sallallahu alaihi wa sallam mendapati seekor kambing mati, kambing itu adalah sedekah yang diberikan kepada budak hamba sahaya Maimunah, kemudian Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
هلا انتفعتم بجلدها؟ قالوا إنها ميتة. قال: إنما حرم أكلها
“Tidakkah kalian memanfaatkan kulitnya? sahabat menjawab: Namun sudah menjadi bangkai wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Yang diharamkan hanyalah mengonsumsinya.” [6].
Dari Abdullah ibn ‘Ukaim radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasul sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لا تنتفعوا من الميتة بإهاب ولا عصب
“Janganlah memanfaatkan kulit bangkai dan urat nadinya”[7].
Poin dari kedua hadist di atas adalah bahwa hadist yang pertama bertentangan dengan hadist kedua, karena hadist pertama menetapkan sucinya kulit bangkai hewan dengan cara disamak, sedangkan hadist kedua menetapkan hukum tidak sucinya kulit bangkai secara mutlak, walau sudah disamak ataupun tidak.
Pentarjihan: Hadist dengan riwayat pertama dirajihkan dari hadist kedua, karena pada hadist yang pertama Nabi menjelaskan alasan/illat pengharamannya, yakni ketika pemanfaatan untuk dikonsumsi, adapun pada hadist yang kedua Nabi tidak menyebutkan illatnya.
C. Kaidah ketiga: Hadist yang memiliki banyak penguat dari sumber lain lebih dirajihkan daripada hadist yang tidak memiliki penguat.
Jika ada dua hadist yang saling bertentangan , salah satunya memiliki banyak penguat dari dalil lain, sedangkan satunya hanya memiliki satu saja atau bahkan tidak ada, maka dirojihkan hadist yang memiliki banyak penguat.
Alasannya karena semakin banyaknya penguat dan dalil, itu menuntut adanya tambahan prasangka kuat pada objek yang ditunjukkan oleh dalil, maka masuk perkara penyelesaian masalah dengan dalil yang rajih [8].
Contoh penerapan kaidahnya:
Hadist dari Abi Musa al-Asy’ary radiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لا نكاح إلا بولي
“Tidak ada pernikahan yang sah melainkan harus dengan wali.” [9].
Dengan hadist dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الأيم أحق بنفسها من وليها
“Janda lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya.” [10].
Poin dari dua hadist di atas adalah bahwa hadist riwayat pertama bertentangan dengan yang ada pada riwayat kedua, karena pada riwayat pertama mengharamkan pernikahan perempuan secara mutlak dengan sendirinya tanpa adanya wali. Adapun pada riwayat yang kedua membolehkan perempuan janda untuk menikahkan dirinya sendiri.
Pentarjihan: Riwayat pertama tentunya lebih dirajihkan daripada riwayat yang kedua, karena riwayat pertama memiliki banyak penguat pada hadist lain di antaranya dari Aisyah radiyallahu ‘anha bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل، فنكاحها باطل، فنكاحها باطل
“Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” [11].
Hadist pada riwayat kedua tidak memiliki penguat dari dalil yang lain.
Disusun oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله
Selasa, 24 Jumadil Awwal 1443 H/28 Desember 2021 M
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله
Beliau adalah Alumnus S1 Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta dan S2 Hukum Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله klik disini
Referensi:
- Fakhru al-Din al-Razi. al-Mahsul. Jilid:3, Hal:158.⤴
- al-Hazimi. al-I’tibar Fi al-Nasikh wa al-Mansukh Min al-Aatsar. Hal:19.⤴
- Dikeluarkan oleh Abu Dawud no:4014 dan al-Tirmidzi no:2797.⤴
- Dikeluarkan oleh al-Bukhary no:371.⤴
- al-Aamidy. al-Ihkam Fi Ushuli al-Ahkam. Juz:4, Hal:256.⤴
- Dikeluarkan oleh Bukhari no:1492, dan Muslim no:363.⤴
- Dikeluarkan oleh Abu Dawud no:4128.⤴
- Fakhru al-Din al-Razi. al-Mahsul. Juz:5, Hal:401.⤴
- Dikeluarkan oleh Abu Dawud no:2085⤴
- Dikeluarkan oleh Muslim no:1421⤴
- Dikeluarkan oleh Abu Dawud no:2083.⤴