Tausiyah

Kaidah-Kaidah Fiqih dalam Kehidupan berumah tangga (1)

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Kaidah Pertama

Tujuan mempengaruhi hukum aktifitas dan kebiasaan

Pengertian Kaidah

Perbuataan setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan, yang sudah balig  dan berakal, baik berupa  perkataan maupun perbuatan, akan berbeda hasil akhirnya dan hukumnya berdasarkan perbedaan tujuan dari perkataan dan perbuatan yang dilakukan.

Dalil Kaidah

Pertama,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

“Amal itu hanya tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah” (HR. Bukhari dan Muslim)

Cara berdalil dengan hadis di atas:

Pada hadis di atas ada lafadz innamaa yang berarti hanya, maka makna hadis di atas adalah sebuah amal perbuatan hanya akan diperhitungkan jika ada niat padanya dan tidak diperhitungkan tanpa niat. Dengan demikian, jelas bahwa syariat memperhitungkan tujuan dan menetapkan berbagai hukum duniawi dan ukhrawi berdasarkan tujuan serta menjadikan hukum yang berbeda-beda atas berbagai perbuatan lahiriah berdasarkan perbedaan tujuan masing-masing perbuatan tersebut.

Kedua,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من أخذ أموال الناس يريد أداءها أدى الله عنه، ومن أخذها يريد إتلافها أتلفه الله

“Barangsiapa yang meminjam harta orang lain dan berkeinginan untuk mengembalikannya Allah akan mengembalikan baginya dan barangsiapa mengambil harta orang lain dengan tujuan untuk merusaknya, maka ia akan dirusak oleh Allah” (HR. Bukhari)

Cara berdalil dengan hadis di atas:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa seorang yang meminjam berdosa jika niatnya memakai sampai usang atau rusak tanpa mengembalikan ke pemiliknya, beda halnya dengan orang yang meminjam dengan niat mengembalikan, padahal secara lahiriah dua perbuatan di atas sama, yaitu memakai barang yang bisa jadi akibat dari pemakaian barang tersebut menjadi usang bahkan rusak. Dengan demikian, jelas bahwa tujuan mampu merubah hukum berbagai amalan lahiriah baik berupa akad maupun selainnya.

Ketiga,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 لعن الله الخمر وشاربها وساقيها ومبتاعها وبائعها وعاصرها ومعتصرها وحاملها والمحمولة إليه وآكل ثمنها 

“Allah melaknat khamar, Allah melaknat peminumnya, Allah melaknat yang menuangkannya, Allah melaknat yang memerasnya, Allah melaknat yang minta diperaskan, Allah melaknat pembelinya, Allah melaknat menjualnya, Allah melaknat yang mengangkutnya, Allah melaknat yang diangkutkan untuknya, dan Allah melaknat yang memakan hasil penjualannya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

Cara berdalil dengan hadis di atas:

Orang yang memeras anggur dan yang minta diperaskan mendapat laknat, padahal seorang yang memeras atau yang meminta diperaskan bisa jadi tujuannya untuk dijadikan sirup dan bisa jadi untuk dijadikan khamar, akan tetapi ketika tujuannya untuk dijadikan khamar, si pelaku layak mendapat laknat. Dengan demikian, jelas bahwa yang diperhitungkan dalam suatu akad atau perbuatan adalah hakikat dan tujuannya, bukan lahiriah dari lafaz dan perbuatan.

Penerapan Kaidah dalam kehidupan berumah tangga di atas

Pertama,

Dalam kehidupan berumah tangga, pasti salah satu anggotanya akan melakukan transaksi jual beli, sewa menyewa, dan berbagai transaksi muamalat lainnya. Maka harus dipahami bahwa semua transaksi di atas dianggap sah dengan segala bentuk perkataan dan perbuatan yang menunjukan maksud dan tujuan dari transaksi, tanpa harus menggunakan lafaz dan perbuatan yang khusus.

Kedua,

Akad nikah tidak harus mempergunakan lafaz “aku nikahkan” dan “aku kawinkan”, akad ini dianggap sah jika mempergunakan lafaz yang menunjukan kepada maksud yang diinginkan pada saat akad.

Ketiga,

Khuluk, talak, ilak (iilaa’), dan dzihar tidak dipersyaratkan padanya lafaz khusus, akan jatuh vonis hukumnya dengan lafaz apapun yang masih terindikasi kepada salah satu perbuatan tersebut jika diiringi dengan tujuan/niat.

Keempat,

Seorang yang mabuk atau gila tidak sah talaknya, karena mereka berdua tidak menyadari apa yang mereka katakan, seorang yang tidak menyadari apa yang ia katakan tidaklah memiliki tujuan yang diperhitungkan untuk menetapkan hukum perbuatannya.

(disarikan dari kitab: Al-Qawa’id wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah ‘inda Ibni Taimiyah fi Fiqhi al-Usrah)

Bersambung….

Oleh:  Ustadz Fuad Sunardi حفظه الله
(Kontributor Bimbinganislam.com)

 

Related Articles

Back to top button