Hukum Sholat Jumat Bergelombang di Masa Wabah

Hukum Sholat Jumat Bergelombang di Masa Wabah
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan pembahasan tentang hukum sholat jumat bergelombang di masa wabah.
selamat membaca.
Saat ini, Allah tabaraka wa ta’ala masih memberikan ujian kepada kita semuanya berupa wabah covid 19 yang penularannya Allah takdirkan terjadi begitu cepat, ditambah keadaan beberapa orang yang positif terkena virus namun tidak didapati tanda-tanda sakit pada dirinya (OTG), sehingga dia bisa menularkan penyakit ini -dengan izin Allah- kepada orang lain tanpa dia sadari. Info yang didapatkan dari para ahli medis inilah yang membuat pemerintah menetapkan protokol kesehatan sebagai bentuk pencegahan dari penularan covid 19.
Berdasarkan hal tersebut para ulama juga mengeluarkan fatwa untuk bolehnya untuk menutup masjid-masjid dan menyarankan untuk tetap melaksanakan sholat jamaah di rumah dan tidak mengadakan sholat jumat di masa wabah.
Silahkan baca :
Dan belakangan ini pemerintah mengumumkan sebuah tatanan kehidupan baru yang diistilahkan dengan “new normal”, gaya hidup dengan kebiasaan yang baru, seperti tidak berjabat tangan, harus memakai masker, tidak boleh berdekatan lebih dari 1 meter dan hal lainnya.
Beberapa masjid pun diizinkan untuk kembali dibuka dengan memberlakukan syarat-syarat ketat yang sejalan dengan protokol kesehatan. Namun, timbul permasalahan bagaimana cara mengerjakan sholat jumat dengan cara berjarak sedangkan kondisi jamaah padat? Bolehkah mengerjakan sholat jumat bergelombang?
Hukum mengadakan sholat jum’at lebih dari satu masjid/tempat lain dalam satu daerah.
Mayoritas ulama berpendapat akan ketidakbolehan mengadakan sholat jumat lebih dari satu di daerah yang sama kecuali memang ada kebutuhan, seperti satu masjid tidak bisa menampung kaum muslimin yang melaksanakan sholat di situ, maka dibolehkan untuk melaksanakan sholat jumat di masjid yang lain, walaupun masih berada dalam satu daerah.
Para ulama berdalil akan ketidakbolehan sholat jumat di banyak tempat dalam satu daerah dengan perbuatan rasulullah ﷺ, para sahabat dan orang-orang setelah mereka, bahwasanya mereka tidak pernah sekalipun mendirikan sholat jumat di banyak tempat dan mereka mencukupkan diri mendirikan sholat jumat di satu masjid. (Lihat : Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab karya Imam An-Nawawi jilid 4/ halaman 591).
Begitu pula, jika kaum muslimin mendirikan sholat jum’at di banyak tempat tanpa ada kebutuhan, hal tersebut akan menghilangkan hikmah disyariatkannya sholat jumat yaitu syiar berkumpul dan bertemunya kaum muslimin sehingga tumbuhlah kasih sayang diantara mereka. (lihat Syarhul mumti’ : 5/70).
Namun, jika hal tersebut tidak memungkinkan, seperti masjid yang kecil sedangkan masyarakat banyak, maka para ulama mengatakan boleh hukumnya mengadakan jumat lebih dari satu tempat. Allah ﷻ berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menginginkan kemudahan untuk kalian dan tidak menginginkan kesulitan”.
(QS. Albaqarah : 185).
Hukum mengadakan sholat jum’at bergelombang di satu tempat
Permasalahan ini mungkin termasuk perkara baru (nawazil) yang terjadi di masa ini, ketika jamaah sholat jumat harus menerapkan physical distancing, sehingga masjid hanya bisa menampung kurang dari 50 % jamaah dibanding hari biasanya.
Para ulama yang duduk di Majelis Ulama Indonesia berbeda pendapat dalam hal ini, sebagian berpendapat bolehnya gelombang jumat dalam satu mesjid dan sebagian lagi melarang hal tersebut, dan mencukupkan dengan mengerjakan sholat zhuhur jika di masjid tersebut telah mendirikan sholat jumat.
Disebutkan dalam fatwa MUI no. 31 tahun 2020:
“Dalam hal masjid dan tempat lain masih tidak menampung jamaah shalat Jum’at dan/atau tidak ada tempat lain untuk pelaksanaan shalat Jum’at, maka Sidang Komisi Fatwa MUI berbeda pendapat terhadap jamaah yang belum dapat melaksanakan shalat Jum’at sebagai berikut:
a. Pendapat pertama, jamaah boleh menyelenggarakan shalat Jum’at di masjid atau tempat lain yang telah melaksanakan shalat Jum’at dengan model shift, dan pelaksanaan shalat Jum’at dengan model shift hukumnya sah.
b. Pendapat kedua, jamaah melaksanakan shalat zuhur, baik secara sendiri maupun berjamaah, dan pelaksanaan shalat Jum’at dengan model shift hukumnya tidak sah.
Terhadap perbedaan pendapat di atas (point a dan b), dalam pelaksanaannya jamaah dapat memilih salah satu di antara dua pendapat dengan mempertimbangkan keadaan dan kemaslahatan di wilayah masing-masing.
Kesimpulan
Dari fatwa di atas kita bisa mengambil beberapa kesimpulan:
- Kaum muslimin tetap harus mengusahakan untuk bisa mendirikan satu jum’at di masjid, seperti memakai halaman atau tempat parkir untuk jamaah sholat jumat.
- Jika tidak memungkinkan untuk masjid menampung banyaknya jamaah maka hendaknya tetap mencari alternatif tempat lain seperti aula yang besar untuk bisa mengadakan sholat jum’at.
- Jika memang tetap tidak ada lagi tempat yang bisa menampung untuk pelaksaan sholat jum’at maka silahkan kaum muslimin di daerah tersebut untuk memilih antara dua pendapat yang ada. Dan hendaklah yang memilih pendapat tersebut adalah tokoh agama yang diakui keiluannya yang ada di tempat itu, bukan individu agar menjaga persatuan dan menghindari perpecahan.
Dan di akhir tulisan ini kami ingin menambahkan, untuk orang-orang yang merasa sakit dan imunitas tubuhnya rendah, maka dia tidak boleh ikut ke masjid mendirikan sholat jamaah demi menjaga kesehatan dirinya. Begitu pula orang yang merasa cemas akan penularan penyakit, maka dia tetap mendapatkan udzur untuk tetap sholat di rumah, walaupun masjid telah dibuka kembali.
Sebagaimana turunnya hujan adalah udzur untuk tidak pergi ke masjid begitu pula adanya wabah penyakit termasuk udzur untuk tidak berjamaah di masjid, sebagaimana yang telah difatwakan ulama, sebuah kaedah fikih mengatakan:
الحكم تدور مع علته وجودا وعدما
“Hukum sesuatu bergantung kepada ada atau tidaknya sebab (illat) yang mempengaruhi hukum tersebut”.
Selama masih ada sebab keringanan untuk tidak ke masjid maka seseorang masih boleh untuk tidak ikut berjamaah ke masjid.
Semoga Allah mengampuni dosa kita semua dan memberikan kita hidayah dan pertolongan dalam menempuh jalan yang diridhoi serta menyegerakan untuk mengangkat musibah yang tengah menimpa kita.
Wallahu a’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله
Jum’at, 27 Syawwal 1441 H / 19 Juni 2020 M
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله تعالى
Beliau adalah Alumni STDI Imam Syafi’i Jember (ilmu hadits), Dewan konsultasi Bimbingan Islam
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله تعالى klik disini