Aqidah

Hukum Menulis Ayat Al-Quran Pada Bejana Berisi Air, Lalu Diminumkan Pada Orang Yang Sakit

Pendaftaran Mahad Bimbingan Islam

Hukum Menulis Ayat Al-Quran Pada Bejana Berisi Air, Lalu Diminumkan Pada Orang Yang Sakit

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Hukum Menulis Ayat Al-Quran Pada Bejana Berisi Air, Lalu Diminumkan Pada Orang Yang Sakit. selamat membaca.

Pertanyaan:

Bismillah semoga allah selalu mudahkan segala urusan ustadz dan keluarga Ijin bertanya ustadz Di masa kecil dulu saya sering mengalami gangguan jin, karna saya dulu tidak tau apa” jadi keluarga meminta pertolongan kakek saya untuk memberikan beberapa rajah dan hafalan” untuk keselamatan katanya, termasuk dulu sya pernah di suruh makan beberapa pecahan emas, perak dll

Alhamdulillah allah berikan hidayah kepada sya Dan sekarang tau bahwa perbuatan tsb kesyirikan Pertanyaan saya :

  1. Rajah/hafalan yg dulu di tulis di kertas di bakar tanpa di bacakan ayat ruqyah apakah termasuk sebab gangguan jin tetap ada/pengaruhnya?
  2. bila mana meninggal apakah di katakan meninggalnya dengan masih berbuat kesyirikan karna pernah makan pecahan emas, perak dll?
  3. Untuk menghilangkan semua tsb apakah cukup dengan ruqyah mandiri? Barakallah Fiikum

Ditanyakan oleh Santri Mahad Bimbingan Islam


Jawaban:

bismillah

Aamiin, terimakasih dengan doa yang dipanjatkan, semoga Allah memberikan kemudahakan kepada kita semua di dalam menjalankan setiap perintah yang di mandatkan kepada setiap muslim.

Rajah, syirik tidaknya melihat dari isi yang ditoleskan. Bila isinya adalah ayat-ayat alquran maka para salaf berbeda dalam menghukuminya, boleh tidaknya menggunakan ayat-ayat alquran uang di \tuliskan dan di \rendamkan di dalam air kemudian diminum atau dimandikan.

Yang kuat bagi kami dengan mengikuti apa yang telah dikatakan oleh Lajnah daimah dengan dalil yang disebutkannya. Kami nukilkan apa yang dituliskan oleh ust Abu Jauza dalam pendapat para ulama dalam masalah ini. Beliau menyebutkan,”

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Ada yang membolehkannya, seperti : Mujaahid, Abu Qilaabah, Al-Hasan, dan Al-Auza’iy [lihat Al-Mushannaf oleh Ibnu Abi Syaibah 7/386, At-Tibyaan oleh An-Nawawiy hal. 127, dan Syarhus-Sunnah oleh Al-Baghawiy 12/166].

Ada pula yang memakruhkannya, seperti : Ibrahim An-Nakha’iy dan Ibnu Siiriin [lihat Syarhus-Sunnah oleh Al-Baghawiy 12/166 dan Al-Mushannaf oleh Ibnu Abi Syaibah 7/387].

عن ابن عباس قال : إذا عَسِر على المرأة ولدها، فيكتب هاتين الآيتين والكلمات في صحفة، ثم تُغسل فتسقى منها : بسم الله الذي لا إله إلا هو الحليم الكريم، سبحان الله ربِّ السماوات السبع، وربِّ العرش العظيم، كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا – كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ

Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata : “Apabila ada seorang wanita yang kesulitan dalam proses persalinan anaknya, hendaklah ditulis dua ayat dan beberapa kalimat dalam secarik kertas (yang direndam dalam bejana). Kemudian (air bejana itu) dibasuhkan dan diminumkan kepadanya. Kalimat tersebut adalah : “Dengan menyebut nama Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia. Maha Suci Allah, Rabb langit yang tujuh dan Rabb ‘Arsy yang agung – Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari (QS. An-Naazi’aat : 46) –

Pada hari mereka melihat ‘adzab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik (QS. Al-Ahqaaf : 35)”

[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 7/385 dan Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 619. Lihat juga Majmu’ Al-Fataawaa oleh Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah 19/64-65].

Di antara ulama yang membolehkan adalah Syaikhul-Islam rahimahullah dimana beliau berkata :

ويجوز أن يكتب للمصاب وغيره من المريض شيئاً من كتاب الله وذكره بالمداد المباح ويغسل ويسقى، كما نص على ذلك أحمد وغيره.

“Diperbolehkan untuk menuliskan ayat Al-Qur’an dan dzikir-Nya (pada bejana yang berisi air) bagi orang yang sedang sakit atau yang lainnya dengan tinta yang diperbolehkan, kemudian membasuhkannya dan meminumkannya. Sebagaimana hal itu ditegaskan Ahmad dan yang lainnya” [Majmu’ Al-Fataawaa, 19/64].

Setelah menyebutkan atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma di atas, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah membawakan perkataan ‘Abdullah bin Ahmad rahimahumulllah :

رأيتُ أبي يكتب للمرأة في جَامٍ أو شيء نظيف.

“Aku pernah melihat ayahku (yaitu Ahmad bin Hanbal) menulis di dalam bejana air atau sesuatu yang bersih untuk seorang wanita” [idem].

Al-Haafidh Ibnul-Qayyim rahimahullah mengisyaratkan kebolehan cara ini dengan perkataannya :

ورأى جماعة من السَّلَف أن تُكتب له الآياتُ مِن القرآن، ثم يشربَها. قال مجاهد: لا بأس أن يكتُبَ القرآنَ، ويغسِلَه، وَيْسقِيَه المريضَ، ومثلُه عن أبى قِلابَةَ. ويذكر عن ابن عباس: أنه أمر أن يُكَتبَ لامرأة تَعَسَّرَ عليها
وِلادُها أثرٌ من القرآن، ثم يُغسل وتُسقى. وقال أيوب: رأيتُ أبا قِلابَةَ كتب كتاباً من القرآن، ثم غسله بماء، وسقاه رجلاً كان به وجعٌ.

“Banyak di kalangan salaf yang berpendapat agar dituliskan baginya ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian diminumkan kepadanya. Mujaahid berkata : ‘Tidak mengapa menulis ayat Al-Qur’an (pada bejana air), lalu membasuh dengannya dan meminumkannya kepada orang yang sakit’. Ada riwayat yang semisal dari Abi Qilaabah. Disebutkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwasannya ia memerintahkan agar dituliskan ayat Al-Qur’an (pada bejana air) bagi wanita yang kesulitan dalam persalinan, yang kemudian membasuhkan airnya dan meminumkannya. Ayyub berkata : ‘Aku pernah melihat Abu Qilaabah menulis sebagian ayat Al-Qur’an (pada sebuah bejana air), kemudian ia membasuh dirinya dengan air itu dan meminumkannya pada seorang laki-laki yang sedang sakit” [Ath-Thibbun-Nabawiy, hal. 147, tahqiq : As-Sayyid Al-Jumailiy; Daarul-Kitaab Al-‘Arabiy, Cet. 1/1410 H].

Berikut fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah saat beliau ditanya tentang hukum menulis ayat Al-Qur’an pada bejana air bagi orang sakit yang kemudian membasuhkan airnya dan meminumkannya :

لا يظهر في جواز ذلك بأْس, وقد ذكر ابن القيم رحمه الله : أَن جماعة من السلف رأَوا أَن يكتب للمريض الآيات من القرآن ثم يشربها، قال مجاهد: لا بأْس أَن يكتب القرآن ويغسله ويسقيه المريض. ومثله عن أَبي قلابة، ويذكر عن ابن عباس أَنه أَمر أَن يكتب لامرأَة تعسرت عليها ولادتها أَثر من القرآن ثم يغسل وتسقى. وبالله التوفيق. وصلى الله على محمد.

“Tentang kebolehannya, maka tidak ada satu hal yang melarangnya. Ibnul-Qayyim rahimahullah telah menyebutkan : Bahwasannya banyak di kalangan salaf yang berpendapat agar dituliskan baginya ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian diminumkan kepadanya. Mujaahid berkata : ‘Tidak mengapa menulis ayat Al-Qur’an (pada bejana air), lalu membasuh dengannya dan meminumkannya kepada orang yang sakit’. Ada riwayat yang semisal dari Abi Qilaabah. Disebutkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwasannya ia memerintahkan agar dituliskan ayat Al-Qur’an (pada bejana air) bagi wanita yang kesulitan dalam persalinan, yang kemudian membasuhkan airnya dan meminumkannya. Wabillaahi-taufiq, wa shallallaahu ‘alaa Muhammad” [Majmu’ Fataawaa wa Rasaail oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 1/582, tanggal 28 Shaffar 1384 H].

Baca Juga:  Bantahan Untuk Orang Yang Menolak Hadits Ahad

Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah juga memberikan fatwa tentang kebolehannya apabila orang yang melakukannya dikenal sebagai orang yang baik dan istiqamah. [Lihat Majalah Ad-Da’wah, edisi 997, tanggal 13 Syawwal 1405 H, hal. 27 – terbitan Riyadl.]

Akan tetapi Al-Lajnah Ad-Daaimah memberikan fatwa yang berbeda dengan beberapa ulama di atas. Mereka (Lajnah) memberikan penjelasan sebagai berikut :

…..وأما كتابة سورة أو آيات من القرآن في لوح أو طبق أو قرطاس وغسله بماء أو زعفران أو غيرهما وشرب تلك الغسلة رجاء البركة أو استفادة علم أو كسب مال أو صحة وعافية ونحو ذلك – فلم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه فعله لنفسه أو غيره ولا أنه أذن فيه لأحد من أصحابه أو رخص فيه لأمته مع وجود الدواعي التي تدعو إلى ذلك، ولم يثبت في أثر صحيح فيما علمنا عن أحد من الصحابة رضي الله عنهم أنه فعل ذلك أو رخص فيه، وعلى هذا فالأولى تركه، …..

“….Adapun tentang penulisan satu surat atau beberapa ayat Al-Qur’an dalam sebuah papan, tanah liat, atau kertas, dan dibasuh dengan air, minyak, za’faran, atau yang lainnya, kemudian air basuhan tersebut diminum dengan mengharapkan keberkahan atau mengambil faedah keilmuan, mencari kesehatan atau keselamatan, serta lainnya; maka kami tidak mengetahui dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah melakukannya untuk diri beliau sendiri atau orang lain. Beliau juga tidak mengijinkan untuk melakukannya kepada seorang shahabat pun radliyallaahu ‘anhum atau memberikan keringanan mengenainya bagi umat beliau, padahal ada banyak hal yang mendorong untuk melakukannya. Di samping itu, tidak disebutkan dari seorang shahabat pun dalam satu atsar yang shahih – menurut sepengetahuan kami – bahwa beliau pernah melakukannya atau memberikan keringanan mengenainya. Atas dasar ini, maka meninggalkan perbuatan itu lebih utama…” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 1/245-246].

Mengenai atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma di atas, maka ia berkualitas dha’if. Adapun cacat riwayat tersebut terletak pada Ibnu Abi Lailaa. Al-Haafidh berkata : “Shaduuq (jujur), sayyiul-hifdhi jiddan (hapalannya sangat jelek)” [Taqribut-Tahdzib, hal. 871 no. 6121, tahqiq : Abu Asybal Al-Bakistaniy; Daarul-‘Aashimah].

Atsar ini di-dha’if-kan oleh Basyir Muhammad ‘Uyuun dalam tahqiq-nya terhadap kitab ‘Amalul-Yaum wal-Lailah hal. 292 (Maktabah Daaril-Bayaan, Cet. 1/1407 H). Oleh karena itu, tidak sah berhujjah dengan atsar ini – sebagaimana jumhur ulama berdalil dengannya untuk menyatakan kebolehannya.

Yang raajih lagi selamat di antara dua pendapat tersebut adalah pendapat yang menyatakan status hukum ke-makruh-annya. Dalam hal ruqyah, kita telah dicukupkan dengan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau adalah sebaik-baik contoh untuk ditiru. Wallaahu a’lam.

[http://abul-jauzaa.blogspot.com]

Namun, bila ternyata ayat-ayat tersebut dengan cara dibakar, maka tidak ada satupun riwayat yang membolehkan/mencontohkan masalah ini, bahkan ada unsur penghinaan terhadap alquran karena telah berani membakarnya tanpa ada dasar/contoh yang jelas.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab:”Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah:”Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasûl-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. [QS. At-Taubah/9:66]

Oleh karena itu para Ulama memasukkan perbuatan menghina Allâh Azza wa Jalla , ayat suci dan Rasûl-Nya dalam pembatal keimanan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa menghina Allâh Azza wa Jalla , ayat suci dan Rasul-Nya adalah perbuatan kekafiran yang membuat pelakunya kafir setelah iman.[Al-Fatâwa, 7/273

bila seperti itu gambarannya, maka pelakunya telah keluar dari islam.

Disisi lainnya mala pelanggaran yang dilakukan, baik berupa kesyirikan, bid’ah ataupun kemaksiatan memungkinkan potensi gangguan jin semakin bertambah /menguat.

Firman Allah ta`ala:

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَلَىرَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَإِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَيَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ

“Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabb-nya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah”.[An Nahl : 99, 100].

Apakah bila meninggal dalam keadaan di atas ia akan meninggal kesyirikan?

Maka dikembalikan lagi dengan perbuatan yang telah di lakukan. Bila kesyirikan ada di dalamnya dengan mencampur adukkan antara ayat, merubah lafadz atau mencampurkan dengan lafadz syirik maka perbuatan tersebut adalah syirik dan bila ia tidak bertaubat maka Allah mengancam pelaku kesyirikan dengan keabadian di neraka.

Namun, bila hanya sebatas memakan pecahan emas atau yang lainnya, tanpa ada unsur kesyirikan maka tidak bisa dikatakan ia mati dalam kesyirikan.

Bila benar dirasakan gejala dari keberadaan jin yang ada di dalam tubuh, setelah berdoa dan menyerahkan semua perkara kepada Allah yang Maha Perkasa, maka insyaallah cukup untuk terus melakukan ruqyah mandiri dengan terus membaca alquran secara umum ataupun khusus dan terus dengan menjalankan amal amal shalih lainnya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memudahkan semua kesulitan yang kita rasakan di dalam kehidupan ini.

Dengan ini, semoga Allah memberikan jalan kepada para hambaNya yang selalu bertakwa kepadanya.

Firman Allah ta`ala,”

{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’rof: 96)

Tetap bersabar dengan segala cobaan, termasuk dengan cobaan sihir atau keberadaan jin yang masih ada di dalam tubuh bila sudah terus mencoba dengan rukyah dan yang lainnya. Insyaallah Allah akan berikan akhir dari usaha yang mendatangkan ridho,insyaallah ta`ala.

Walllahu a`lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله

Rabu, 8 Sya’ban 1444H / 1 Maret 2023 M 


Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di sini

Akademi Shalihah Menjadi Sebaik-baik Perhiasan Dunia Ads

Ustadz Mu’tasim, Lc. MA.

Beliau adalah Alumni S1 Universitas Islam Madinah Syariah 2000 – 2005, S2 MEDIU Syariah 2010 – 2012 | Bidang khusus Keilmuan yang pernah diikuti beliau adalah Syu’bah Takmili (LIPIA), Syu’bah Lughoh (Universitas Islam Madinah) | Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial Taklim di beberapa Lembaga dan Masjid

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button