
Hikmah dibalik pengorbanan Nabi Isma’il
Hari raya Idul Adha atau idul kurban tidak terlepas dari kisah nabi Ibrahim dan keluarganya. Syariat menyembelih hewan kurban berawal dari kisah nabi Ibrahim yang Allah perintahkan untuk menyembelih putranya Nabi ismail. Siapa yang melihat kisah nabi Ibrahim dan putra beliau Isma’il sungguh akan melihat kisah pengorbanan yang melahirkan banyak faidah tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin menyikapi setiap perintah Rabbul ‘Alamiin.
Nabi Ibrahim sebagai seorang ayah yang telah lama menanti kehadiran buah hati dalam pernikahannya bersama Sarah, namun Allah tak kunjung menganugerahkan seorang anak. Dan akhirnya Sarah pun memutuskan untuk menghadiahkan budak wanitanya Hajar kepada Ibrahim untuk dinikahi agar bisa mendapatkan keturunan, lalu Allah pun memberikan rezeki seorang anak yang sholih hasil pernikahan beliau bersama Hajar. Allah ﷻ berfirman.
رَبِّ هَبۡ لِي مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ١٠٠ فَبَشَّرۡنَٰهُ بِغُلَٰمٍ حَلِيمٖ ١٠١
“100. Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.
101. Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat penyabar.” (QS. Ash-Shaffat : 100-101).
Namun, setelah buah hati yang dinanti tersebut itu lahir ke dunia, Nabi Ibrahim pun diuji dengan harus membawa istrinya hajar dan putranya Isma’il, ke negeri Mekkah yang kala itu hanyalah padang pasir tanpa penduduk. Setelah sampai di sana Ibrahim pun langsung pergi meninggalkan mereka dua orang yang ia cintai dengan sedikit bekal kurma dan air. Namun, tahukah anda apa yang dikatakan Hajar kepada Ibrahim? Hajar berkata:
اللهُ الَّذِي أمَرَكَ بِهَذا؟، قالَ: نَعَمْ، قالَتْ: إذَنْ لا يُضَيِّعُنا
“Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk membawa kami ke sini? Nabi Ibrahim menjawab: iya, Lalu Hajar berkata: jika demikian Dia tidak akan menelantarkan kami.” (HR. Bukhari no. 3364).
Setelah Ibrahim sampai ke tempat yang tidak bisa lagi dilihat oleh Hajar, Ibrahim pun berbalik menatap tempat dirinya meninggalkan istri dan buah hatinya, sembari berdoa kepada Allah, karena hanya Allahlah yang bisa menjaga mereka berdua, Allah berfirman menyebutkan do nabi Ibrahim:
رَّبَّنَآ إِنِّيٓ أَسۡكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيۡرِ ذِي زَرۡعٍ عِندَ بَيۡتِكَ ٱلۡمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجۡعَلۡ أَفِۡٔدَةٗ مِّنَ ٱلنَّاسِ تَهۡوِيٓ إِلَيۡهِمۡ وَٱرۡزُقۡهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٰتِ لَعَلَّهُمۡ يَشۡكُرُونَ ٣٧
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” [QS. Ibrahim:37]
Cobaan dan ujian Ibrahim tidak sampai disitu, setelah berlalu sekian tahun, selama itu dirinya selalu mengunjungi putranya bolak balik dari negeri Syam ke mekkah. Dan sampailah ketika Isma’il telah mulai tumbuh dewasa. Nabi Ibrahim mendapatkan mimpi bahwa dirinya menyembelih putra yang ia cintai. Dan sudah dipahami bahwa mimpi para nabi merupakan wahyu dari Allah Rabbul ‘alamiin.
Ibnu Abdil Barr membawakan sanadnya sampai imam Syafi’I bahwa beliau berkata:
رُؤْيا الأنْبِياءِ وحْيٌ وقَدْ رُوِّينا عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ أنَّهُ قالَ رُؤْيا الأنْبِياءِ وحْيٌ
“Mimpi para nabi adalah wahyu, telah sampai kepada kami sebuah riwayat dari ibnu Abbas bahwa beliau berkata mimpi para nabi adalah wahyu.” (Attamhid : 6/393).
Setelah melihat mimpi tersebut, Ibrahim menyadari bahwa ini merupakan perintah dari Allah yang harus ia jalani. Lalu beliaupun menyampaikan kejadian tersebut kepada putranya Isma’il, bukan untuk membantah perintah Allah, tapi untuk melihat hasil dari didikan kenabian yang selama ini dijalani oleh Isma’il. Ternyata hal tersebut terbukti, bagaimana Isma’il tunduk kepada perintah Allah dan berbakti kepada ayahnya. Apa yang dikatakan Isma’il? Allah berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. [As Saffat:102].
Nabi ismail paham ini adalah perintah Allah, Dzat Pencipta langit dan bumi, dan karena untuk menta’ati Dzat tersebutlah adanya alam semesta ini, sehingga dengan penuh keyakinan dan kesadaran dirinya rela untuk disembelih, tanpa membantah perkataan ayahnya, tanpa ada sedikitpun keinginan menentang syariat Allah.
Bayangkan betapa berat cobaan Ibrahim, buah hati yang telah lama dinanti, ketika lahir harus hidup berjauhan, dan ketika mulai tumbuh dewasa, Allah turunkan perintah untuk menyembelihnya. Namun, tidak terlintas sedikitpun keinginan untuk menentang perintah Allah, bahkan tidak ada sekalipun pertanyaan “mengapa engkau perintahkan ini ya Allah”, yang ada hanya tunduk dan berserah diri kepada Allah.
Allah berfirman:
فَلَمَّآ أَسۡلَمَا وَتَلَّهُۥ لِلۡجَبِينِ ١٠٣ وَنَٰدَيۡنَٰهُ أَن يَٰٓإِبۡرَٰهِيمُ ١٠٤ قَدۡ صَدَّقۡتَ ٱلرُّءۡيَآۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجۡزِي ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٠٥ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلۡبَلَٰٓؤُاْ ٱلۡمُبِينُ ١٠٦ وَفَدَيۡنَٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيمٖ ١٠٧
103. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).
104. Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim
105. sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
107. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. [QS. As Saffat:103-107].
Sebuah kisah tentang pengorbanan untuk tetap tunduk, patuh, berserah diri kepada setiap perintah dan syariat Allah ﷻ, tanpa harus mempertanyakan mengapa Allah syariatkan ini dan itu, mengapa Allah haramkan ini dan itu. Seluruh lika liku kehidupan ini adalah ujian dari Allah, untuk mengetahui siapa yang tunduk dan patuh kepada Allah dan siapa yang berlaku sombong dan mencoba menentang Allah.
Allah ﷻ berfirman:
ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ
“(Dialah Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [Al Mulk:2].
Sebuah pelajaran berharga dari kisah nabi Ibrahim dan putranya Ismail yang Allah abadikan dalam sebuah syariat pada hari raya ‘idul adha, pelajaran tentang tunduk dan berserah diri kepada setiap aturan Allah ﷻ:
إِنَّمَا كَانَ قَوۡلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذَا دُعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَهُمۡ أَن يَقُولُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [An Nur:51].
Disusun oleh :
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله
Kamis, 5 Dzul Hijjah 1442 H / 15 Juli 2021 M
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله تعالى
Beliau adalah Alumni STDI Imam Syafi’i Jember (ilmu hadits), Dewan konsultasi Bimbingan Islam
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله تعالى klik disini