Haramnya Uang Gratifikasi Ataupun Uang Hadiah

Haramnya Uang Gratifikasi Ataupun Uang Hadiah
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Haramnya Uang Gratifikasi Ataupun Uang Hadiah, selamat membaca.
Pertanyaan:
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Ustazd izin bertanya terkait uang syubhat. Terdapat seorang pegawai yang mengerjakan 2 volume satuan pekerjaan, tetapi saat menerima pembayaran, di SPJ dan uang yang diterima adalah 10 volume.
Apakah uang syubhat dari si pegawai boleh disalurkan untuk membantu kakaknya yang sedang terlilit hutang? Mohon pencerahan dari Ustazd
Ditanyakan oleh Sahabat AISHAH (Akademi Shalihah)
Jawaban:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.
Uang yang tidak jelas asal usulnya atas sebuah upah pekerjaan resmi dari lembaga resmi, maka bisa disebut sebagai uang syubhat, uang gratifikasi ataupun uang hadiah.
Memberi hadiah itu dianjurkan dalam syariat Islam yang mulia. Rasul pun mengambil hadiah dari para sahabat dan lainnya dan membalasnya pada kesempatan yang lain.
Ummul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menerima hadiah dan biasa pula membalasnya.” (HR. Bukhari, no. 2585)
Dalam riwayat yang lain; hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَصَافَحُوْا يَذْهَبُ الغِلُّ ، وتَهَادَوْا تَحَابُّوا ، وَتَذْهَبُ الشَحْنَاءُ
“Saling bersalamanlah (berjabat tanganlah) kalian, maka akan hilanglah kedengkian (dendam). Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai dan akan hilang kebencian.”
(HR. Malik dalam Al-Muwatha’, 2/ 908/ 16. Syaikh Al-Albani menukilkan pernyataan dari Ibnu ‘Abdil Barr bahwa hadits ini bersambung dari beberapa jalur yang berbeda, semuanya hasan)
Dengan jelas hadis ini, menggambarkan fungsi hadiah dalam Syariat Islam. Anjuran saling memberi hadiah bertujuan mempererat hubungan kasih sayang dan mengikis segala bentuk jurang pemisah antara duapemberi dan penerima hadiah.
Hadiah ASN Atau Bekerja Di Lembaga Resmi
Dengan mencermati dalil di atas dan juga lainnya dapat disimpulkan bahwa konsep memberi hadiah dalam Syariat Islam benar-benar karena latar belakang sosial, tanpa ada embel-embel komersial sedikit pun. Makna inilah yang secara tegas dinyatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadisnya tentang fungsi hadiah yang benar-benar hadiah:
“Hendaknya kalian saling bertukar hadiah agar kalian saling mencintai.” (Bukhari dalam kitab Adab Mufrad)
Mungkin inilah alasan mengapa hadiah tidak pernah singgah ke rumah orang yang tak berpangkat dan miskin walaupun dia adalah orang yang patuh beragama. Namun sebaliknya, hadiah dengan berbagai jenisnya senantiasa membanjiri orang yang berpangkat atau kaya walau buruk agamanya.
Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melimpahkan tugas kepada seorang lelaki untuk memungut sedekah. Dalam menjalankan tugasnya, ternyata utusan itu menerima hadiah dari penyetor zakat.
Seusai dari tugasnya lelaki tersebut berkata: “Wahai Rasulullah, harta ini adalah hasil kerjaku dan aku serakan kepadamu. Sedangkan harta ini adalah hadiah yang aku dapatkan.” Menanggapi sikap utusan tersebut tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Mengapa engkau tidak duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah: adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?” Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan berkhutbah:
Amma ba’du: Mengapa seorang utusan yang aku beri tugas, lalu ketika pulang, ia berkata: “Ini hasil tugasku sedangkan ini adalah hadiah milikku? Tidakkah ia duduk saja di rumah ayah dan ibunya, lalu dia lihat, adakah ia mendapatkan hadiah atau tidak.
Sungguh demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, tidaklah ada seorang dari kalian yang mengambil sesuatu tanpa haknya (korupsi), melainkan kelak pada hari kiyamat ia akan memikul harta korupsinya. Bila dia mengambil seekor onta maka dia membawa ontanya dalam keadaan bersuara. Bila ia mengambil sapi, maka ia membawa sapinya itu yang terus melenguh (bersuara).
Dan bila yang dia ambil adalah seekor kambing, maka dia membawa kambingnya itu yang terus mengembik. Sungguh aku telah menyampaikan peringatan ini.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan standar yang jelas dalam hal hadiah yang Anda terima. Hadiah yang Anda terima karena peran atau jabatan yang Anda pangku, hakikatnya adalah gratifikasi dan tentu hukumnya haram.
Pada hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara hadiah yang datang sebelum Anda menjalankan tugas dan hadiah yang datang setelah menjalankan tugas Anda. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Tidakkah engkau duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah, adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?”
Pada hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan ketentuan ini melalui sabdanya, “Hadiah para pejabat adalah korupsi.” (HR. Ahmad dan lainnya)
Hadis ini, selain menekankan pemahaman di atas, juga menjelaskan bahwa segala bentuk hadiah, baik yang berupa barang, uang, atau lainnya, statusnya dianggap sebagai suap.
Sebagaimana hadiah pejabat dianggap sebagai gratifikasi walaupun pejabat terkait menjalankan tugasnya secara profesional dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kesimpulan:
Oleh karena itu, hadiah yang anda terima berupa kelebihan bayaran atau tambahan gaji berlebih dari yang berhak anda terima atas kerja dan tugas anda adalah tidak boleh diambil, dan harus dikembalikan.
Jika tidak memungkinkan setelah usaha pengembalian dengan maksimal, maka uang itu langsung diberikan kepada fakir miskin dan dan tidak perlu ditabung, tapi bila anda khawatir uang itu akan diminta suatu hari (khawatir kasus gratifikasi) maka boleh disimpan dengan konsekuensi tidak boleh dipakai sama sekali.
Termasuk membantu saudara atau kerabat yang terlilit utang sekalipun, karena uang itu statusnya tidak halal buat anda fungsikan menurut pendapat ahli ilmu yang paling kuat.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله