FiqihKonsultasi

Darah Haid Terputus, Sholat Wajib Diqodho Seharian?

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Darah Haid Terputus, Sholat Wajib Diqodho Seharian?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Darah Haid Terputus, Sholat Wajib Diqodho Seharian? selamat membaca.

Pertanyaan:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh Ustadz saat menstruasi sebelum hari ke 7 darah haid masih saja keluar Tetapi terkadang di hari ke 5 sudah tidak keluar misalnya pagi – sore nah malamnya keluar lagi darah haidnya.

Apakah saya harus mandi wajib setiap tidak ada darah yang keluar atau tetap menunggu lamanya kebiasaan haid saya trus mandi wajib? Kadang hari ke 4 tidak ada keluar ustadz dari pagi sampai malam, tapi dipagi hari ke 5 keluar lagi Trus kalau mandi wajibnya Ashar apakah shalat dzuhur ditunaikan? Trus mana yang perlu dikerjakan terlebih dulu? Jazakallahu Khoir wabarakallhu fiik

Ditanyakan oleh Santri Mahad Bimbingan Islam


Jawaban:

Waalaikum salam warahmatullah wabarokatuh

Bismillah..

Hendaknya anda meyakinkan kondisi dan durasi siklus haid anda, untuk mengambil kesimpulan dari kebiasaan yang terjadi dengan haid anda.bila sering haid terjadi dengan durasi yang lebih panjang maka jangan terlalu cepat untuk menyelesaikan haid. Bila kebanyakan durasi terjadi yang paling sedikit ( misal hanya 7 hari) maka bila melihat darah sudah berhenti dalam beberapa waktu/jam maka hendaknya anda bersuci dan mandi jinabah.

Setelah waktu kebiasaannya berakhir dan mandi, bila masih keluar darah dan berwarna keruh atau jauh dari sifat darah haid maka tidak perlu di risaukan. Tetap ia menjalankan shalat. Berdasarkan hadits Ummu Athiyah radhiallahu anha yang berkata,

” كنا لا نعد الصفرة والكدرة بعد الطهر شيئا “

“Kami dahulu tidak menganggap (haid) sedikitpun cairan kekuningan dan keruh setelah masa suci.” (HR. Bukhari, 1/426)

Bila ternyata ia melihat bahwa warna, bau ( sifatnya) sangat di yakini ia adalah darah haid,masih di hari hari siklus haid nya atau di hari dimana tidak menentu dengan siklus haidnya, maka hendaknya ia tetap menunggu sampai batas maksimal, yaitu 15 hari. Bila sudah berhenti sebelum 15 hari atau darah tetap keluar melebihi 15 hari maka ia harus segera bersuci.

Berkata syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah,” dan paling banyaknya ( haid) adalah 15 hari…maka seorang wanita yang darahnya keluar dari 15 hari maka ia adalah istihadhah.” ( syarh Mumti` : 1/471).

Bila seseorang sudah berusaha untuk meyakinkan diri dengan apa yang di lakukannya, dan berijtihad untuk memantapkan dirinya di dalam melakukan suatu hukum tertentu, maka insyaallah tidak ada dosa baginya bila ada kesalahan dengan apa yang di usahakannya.

Namun bila ia lalai dan tidak mau berusaha mencari tahu dan menjalankan hukum yang telah ia dapatkan, maka ia berpotensi berdosa karena sebab kelalaiannya dalam meninggalkan kewajiban .

Bila seseorang telah bersih pada waktu ashar, apakah ada kewajiban untuk menjalankan shalat dhuhur dengan menjamaknya? Apakah cukup dengan menjalankan shalat ashar saja?

Ada perbedaan dalam masalah ini, antara yang tetap memerintahkan untuk mengerjakan shalat sebelumnya yang bisa dijamak atau yang mencukupkan diri dengan waktu shalat di mana ia telah selesai dari haid.

Jika wanita suci pada waktu Ashar, ia cukup mengerjakan shalat Ashar tanpa mengerjakan lagi shalat Zhuhur. Alasannya adalah dalil berikut.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: – مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat Shubuh. Barangsiapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat Ashar.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 579 dan Muslim, no. 608)

وَلِمُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ نَحْوَهُ, وَقَالَ: “سَجْدَةً” بَدَلَ “رَكْعَةً”. ثُمَّ قَالَ: وَالسَّجْدَةُ إِنَّمَا هِيَ اَلرَّكْعَةُ

Menurut riwayat Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ada hadits serupa, di mana beliau bersabda “sekali sujud” sebagai pengganti dari “satu rakaat”. Kemudian beliau bersabda, “Yang dimaksud sekali sujud itu adalah satu rakaat. (HR. Muslim, no. 609)

Dari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau “Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram” menyatakan, seorang wanita yang suci di waktu Ashar, maka ia hanya mengerjakan shalat Ashar saja, tidak lagi shalat Zhuhur.

Dalam Mulakhkhash Fiqh Al-‘Ibadat (hlm. 139-140), “Jika wanita haidh suci sebelum keluar waktu, ia hanya diharuskan mengqadha shalat yang ia suci saat itu. Inilah pendapat dalam madzhab Hanafiyah, Zhahiriyah, perkataan sebagian salaf, juga pilihan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.”

Sehingga cukup untuk menjalankan shalat di waktu ia telah bersih dari haid. Namun bila ia ragu bahwa selesai nya apakah sebelum atau setelah ashar, maka sebaiknya ia juga melakukan shalat dhuhur dan shalat ashar. Atau bila ia berkenan melakukan jamak shalat yang sebelumnya maka diperbolehkan dengan mengambil dalil yang memerintahkan untuk menjalankan shalat yang sebelumnya karena memungkinkan untuk dijamak, sebagaimana riwayat Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ia berkata,”

“ إذَا طَهُرَتْ الْحَائِضُ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ صَلَّتْ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ ، وَإِذَا طَهُرَتْ قَبْل الْفَجْر صَلَّتْ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ رَوَاهُمَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ فِي سُنَنِهِ وَالْأَثْرَمُ ، وَقَالَ : قَالَ أَحْمَدُ : عَامَّةُ التَّابِعِينَ يَقُولُونَ بِهَذَا الْقَوْلِ إلَّا الْحَسَنَ وَحْدَهُ ا هـ .

“Jika wanita haidh suci sebelum tenggelam matahari, maka ia tetap harus mengerjakan shalat Zhuhur dan ‘Ashar. Jika ia suci sebelum Fajar (waktu Shubuh), maka ia tetap mengerjakan shalat Maghrib dan Isya.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/122, Ibnul Mundzir dalam Al Awsath 2/243, Al Baihaqi 1/387)

Wallahu a`lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله

Senin, 24 Jumadil Akhir 1444H / 16 Januari 2023 M 


Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di sini

Ustadz Mu’tasim, Lc. MA.

Beliau adalah Alumni S1 Universitas Islam Madinah Syariah 2000 – 2005, S2 MEDIU Syariah 2010 – 2012 | Bidang khusus Keilmuan yang pernah diikuti beliau adalah Syu’bah Takmili (LIPIA), Syu’bah Lughoh (Universitas Islam Madinah) | Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial Taklim di beberapa Lembaga dan Masjid

Related Articles

Back to top button