
Cemburunya Para Sahabat Nabi رضي الله عنهم
Para pembaca Bimbinganislam.com yang berakhlaq mulia berikut kami sajikan pembahasan tentang cemburu para sahabat Nabi.
selamat membaca.
Cemburu tak hanya milik wanita, tapi juga milik kaum pria. Memang benar, cemburu yang dalam bahasa arabnya (غيرة) ghiroh dominan dimiliki kaum hawa, kerenanya wajar jika sifat ini merupakan sifat tabiatnya. asal dari sifat cemburu ini bukanlah hasil usaha si wanita, namun wanita memang diciptakan dengan sifat tersebut.
Namun, bila cemburu itu melampaui batas dari kadar yang semestinya, maka menjadi tercela. Perasaan cemburu ini paling banyak muncul pada pasangan suami-istri.
(lihat Fathul Bari oleh al Hafizh Ibnu Hajar, 9/384).
Salahkah Bila Cemburu?
Cemburu pada tempatnya adalah sebuah keutamaan yang dapat menanamkan cinta dalam kehidupan rumah tangga suami istri. Oleh karenanya, seorang suami tidak serampangan dalam meluruskan ‘kebengkokan’ sang istri dan dapat memaklumi tabiat wanita ini selama dalam batasan yang wajar.
Apalagi pada hakikatnya, kecemburuan istri terhadap suaminya bukan merupakan hal yang tercela, dan masih dalam batasan yang diamini oleh syariat.
Begitupun sebaliknya bagi sang istri, bila cemburu ini melampaui batas dari kadar yang semestinya, maka menjadi tercela.
Namun jika seorang wanita cemburu terhadap suaminya karena sang suami melakukan perbuatan yang diharamkan seperti ‘hubungan gelap’ dengan wanita lain, atau mengurangi haknya, atau berbuat zalim dengan mengutamakan madunya (yaitu istri yang lain, bila si suami memiliki lebih dari satu istri), kata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, cemburu semacam ini disyariatkan (dibolehkan).
Belajar Dari Sahabat Nabi
kita membaca sejarah dari contoh-contoh manusia terbaik sepanjang zaman setelah para Nabi Dan Rasul, mereka adalah para Sahabat رضي الله عنهم أجمعين
Coba bandingkan kenyataan yang ada pada hari ini dengan kisah masa lalu?
Maka yang terucap hanyalah kata rindu. Rindu kepada masa lalu.
Betapa orang-orang dahulu begitu menjaga wanita mereka. Tidak mereka biarkan wanita mereka terlihat oleh mata-mata yang syahwat, apalagi terkena sentuhan. Mereka mewajibkan para wanita untuk mengenakan perhiasan rasa malu dan ‘iffah (menjaga kehormatan dan harga diri).
Merupakan suatu aib bagi mereka bila wanita keluar rumah tanpa memakai kain penutup seluruh tubuhnya. Suatu cela bagi mereka bila ada lelaki lain berbicara dengan wanita mereka.
Bukan Budaya
Perbuatan dan sifat cemburu yang dicontohkan generasi terbaik para sahabat Nabi رضي الله عنهم bukan sekedar tradisi dan budaya suatu masyarakat atau bangsa tertentu.
Namun demikianlah yang diinginkan dalam syariat agama yang mulia ini. Dengan ghirah ini kemuliaan mereka pun tetap terjaga dan akhlak mereka terpelihara.
Namun ketika cemburu itu ditanggalkan dan wanita dibiarkan keluar dari rumahnya tanpa rasa malu, terjadilah apa yang terjadi. Fitnah dan kerusakan moral yang tak terkira. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jauh sebelumnya telah memperingatkan dalam sabdanya:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia ini manis lagi hijau. Dan Allah menjadikan kalian sebagai khalifah pengatur di dalamnya dengan turun-temurun, lalu Dia melihat bagaimana kalian berbuat.
Maka berhati-hatilah kalian dari petaka dunia dan hati-hatilah kalian dari wanita karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil ada pada wanitanya.”
(Hadits shahih, HR. Muslim, no. 2742).
Ghirohnya Para Sahabat
Kaum muslimin yang berbahagia!
Ingatkah kita tentang kisah sahabat yang mulia Sa’ad bin ‘Ubadah radhiallahu ‘anhu?
lihatlah bagaimana beliau mengungkapkan kecemburuan kepada istrinya!
Beliau mengatakan:
لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفِحٍ
“Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang (yang dimaksud bagian yang tajam, pent.)…”
Mendengar penuturan Sa‘ad ini, tidaklah membuat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam mencelanya. Bahkan beliau bersabda:
أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي
“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’ad?
Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’ad, dan Allah lebih cemburu dariku.”
(Hadits shahih. HR. Bukhari, dalam “Kitab an-Nikah, bab al-Ghairah” dan Muslim, no. 1499).
Dalam riwayat lain dari sahabat mulia Abdullah Bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lainnya disebutkan bahwa tatkala turun ayat:
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak delapan puluh cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya.”
(QS. an-Nur: 4)
Sa‘ad bin ‘Ubadah radhiallahu ‘anhu mengatakan,
“Apakah demikian ayat yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan empat saksi?
Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya.”
Mendengar ucapan Sa‘ad, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya) :
“Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”
Orang-orang Anshar pun menimpali :
“Wahai Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu masih gadis.
Dan bila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut karena sangat cemburunya.”
Sa’ad radhiallahu ‘anhu berkata :
“Demi Allah, sungguh aku tahu, wahai Rasulullah, bahwa ayat ini benar dan datang dari sisi Allah, akan tetapi aku cuma takjub (heran).”
(lihat Fathul Bari, 9/385).
Tak ketinggalan juga kisah sahabiat wanita berkenaan dengan suaminya tentang rasa cemburu ini, mereka dapat memaklumi sikap suaminya. Dari Sahabiat Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma, beliau bertutur tentang kisahnya (artinya);
“Az-Zubair Bin Awwam menikahiku dalam keadaan ia tidak memiliki harta dan tidak memiliki budak. Ia tidak memiliki apa-apa kecuali hanya seekor unta dan seekor kuda. Akulah yang memberi makan dan minum kudanya.
Aku yang menimbakan air untuknya dan mengadon tepung untuk membuat kue. Karena aku tidak pandai membuat kue maka tetangga-tetanggaku dari kalangan Anshar-lah yang membuatkannya. Mereka adalah wanita-wanita yang jujur.
Aku yang memikul biji-bijian di atas kepalaku dari tanah milik az-Zubair yang diserahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bagiannya. Jarak tempat tinggalku dengan tanah tersebut 2/3 farsakh (satu farsakh kurang lebih 8 km atau 3,5 mil, jadi sekitar 5,3 KM).
Suatu hari aku datang dari tanah az-Zubair dengan memikul biji-bijian di atas kepalaku, maka aku bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta sekelompok orang dari kalangan Anshar.
Beliau memanggilku, kemudian menderumkan untanya untuk memboncengkan aku di belakangnya (sahabiat Asma’ memahami demikian dari keadaan yang ditunjukkan pada waktu itu. Namun dimungkinkan pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin agar Asma’ naik ke unta beliau beserta bawaannya sementara beliau akan menaiki unta yang lain.)
(lihat Fathul Bari, 9/390).
Namun aku malu untuk berjalan bersama para lelaki dan aku teringat dengan Az-Zubair dan kecemburuannya, sementara dia adalah orang yang sangat pencemburu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bahwa aku malu maka beliau pun berlalu. Aku kembali berjalan hingga menemui az-Zubair. Lalu kuceritakan kepadanya,
‘Tadi aku berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan aku sedang memikul biji-bijian di atas kepalaku, ketika itu beliau disertai oleh beberapa orang sahabatnya. Beliau menderumkan untanya agar aku dapat menaikinya, namun aku malu dan aku tahu kecemburuanmu’.”
(Hadits shahih. HR. Bukhari, no. 5224 dan Muslim, no. 2182).
‘Benang Merah’
Perlu untuk disampaikan di sini bahwa bukanlah makna ghirah atau cemburu itu dengan selalu berprasangka buruk kepada istri atau pun sebaliknya sehingga selalu mengintainya siang dan malam guna mencari-cari kesalahannya. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ
“Jauhilah oleh kalian kebanyakan dari prasangka karena sebagian prasangka itu dosa….”
(QS. al-Hujurat: 12)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
“Hati-hati kalian dari prasangka karena prasangka itu adalah pembicaraan yang paling dusta.”
(Hadits shahih. HR. Bukhari, no. 6064 dan Muslim, no. 2563).
InsyaAllah kita lanjutkan pada pembahasan selanjutnya, masih tentang sifat cemburu. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan Taufiq Nya.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Disusun oleh:
Ustadz Fadly Gugul حفظه الله
(Dewan Konsultasi Bimbinganislam.com)
Ustadz Fadly Gugul حفظه الله
Beliau adalah Alumni STDI Imam Syafi’i Jember (ilmu hadits), Dewan konsultasi Bimbingan Islam
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Fadly Gugul حفظه الله تعالى klik disini