Fiqih

Cara Mencari Sumber Dalil Yang Benar Sesuai Tuntunan Rasulullah

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Cara Mencari Sumber Dalil Yang Benar Sesuai Tuntunan Rasulullah

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan cara mencari sumber dalil yang benar sesuai tuntunan Rasulullah. Selamat membaca.


Pertanyaan:

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh. Afwan ustadz ana akhwat yang masih awam dengan Sunnah Rasulullah.

1. Bagaimana cara kita membedakan mana tuntunan yang benar dari Rasulullah mana yang bukan?

2. Ustadz bagaimana cara kita mencari sumber yang benar benar sesuai tuntunan Rasulullah?

3. Apakah berhaji bagi wanita tanpa mahram ini diwajibkan atau hanya dianjurkan?

(Ditanyakan oleh Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)


Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullah wabarokatuh

Saudara yang semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua untuk diberikan kebenaran dalam setiap amalan kita.

Memang terkadang, menjadi bingung bagi kita bila dihadapkan dengan perbedaan pendapat di antara ulama dengan amalan-amalan yang kita pelajari. Hampir di setiap permasalahan fiqih didapatkan perbedaan.

Bila didapatkan perbedaan tentunya harus mencoba kembali kepada dalil/hujjah yang dikemukakan, kemudian memilih dan mengikuti pendapat yang paling kuat atau dengan cara menggabungkan antara pendapat bila memungkinkan, bila perbedaan tersebut adalah perbedaan yang variatif, karena semuanya pernah dilakukan/diajarkan oleh Rasulullah.

Dengan cara di atas, sehingga tidak perlu bingung dan bimbang dalam perbedaan tersebut.

Namun, bila memang perbedaannya tidak bisa dijamak dan saling menafikan, maka harus diambil pendapat yang rajih/kuat, bila memang kita memiliki kemampuan dalam menganalisa dalil-dalil yang dipaparkan.

Bila tidak punya kemampuan sama sekali atau awam dalam masalah itu, maka hendaknya mengikuti para ulama yang kita anggap baik, dipercaya, menenangkan hati dan lebih banyak menukilkan dalil bukan asumsi pribadi.

Kami coba menukilkan beberapa penjelasan dari sumber berikut, antara lain apa yang disebutkan oleh Islamweb pada no fatwa 62771 untuk bisa lebih memperjelas, dituliskan di dalamnya,” Bila ulama berbeda pendapat, seorang muslim yang memiliki kemampuan dalam memahami dalil hendaknya mengikuti pendapat yang terlihat lebih mendekati kebenaran dan lebih kuat dalam mengambil dalil. Dengan meninggalkan fanatisme terhadap para imam dan menjauhkan diri dari mendahulukan perkataan mereka dibandingkan dengan dalil syar`i.

Sambil tetap menghormati pendapat mereka dan mengambil faedah dari ijtihad mereka dalam memahami nash/dalil syar`i. juga berhati hati untuk tidak selalu mengambil pendapat yang paling mudah dan cocok dengan hawa nafsunya.

أما إن كان عاميا ـ أي غير متخصص في علوم الشريعة، ولا له نظر في الأدلة ـ فعليه أن يستفتي من هو من أهل العلم والورع من غير ترخص.

واعلم أن المأخوذ به هو سنة رسول الله صلى الله عليه وسلمأينما وجدت، سواء كانت مخالفة لمذهب الجمهور أو موافقة له.

Bila seseorang adalah orang yang awam, bukan orang yang ahli dalam ilmu syariah dan tidak memiliki kemampuan dalam melihat/menganalisa dalil maka hendaknya ia meminta fatwa kepada orang yang punya ilmu dan punya sikap wara` (takut melakukan penyewengan/kemaksiatan) tanpa bermaksud mencari pendapat yang termudah.

Pahamilah bahwa yang hendaknya dipilih adalah sunnah Rasulullah sallahu alaihi wasalam di mana pun ia dapatkan, baik menyelisihi ataupun selaras dengan pendapat mayoritas.

قال الإمام الشافعي رحمه الله-: ما من أحد إلا وتذهب عليه سنة لرسول الله وتعزب عنه وقال: أجمع الناس على أنه من استبانت له سنة رسول الله لم يكن له أن يدعها لقول أحد. وقال: إذا صح الحديث فهو مذهبي. وقال: كل مسألة صح فيها الخبر عن رسول الله عند أهل النقل بخلاف ما قلت فأنا راجع عنها في حياتي وبعد مماتي. ومثل هذا الكلام عند جميع الأئمة.

Berkata Imam Syafi`i rahimahullah ta`ala,” Tiada seorang pun kecuali ia harus mengarah dan mengambil sunnah Rasulullah shallahu alaihi wasallam.”

Dan juga ia berkata,” Manusia telah sepakat bahwa seseorang yang telah jelas atasnya sunnah Rasulullah maka tidak boleh meninggalkannya karena mengambil pendapat yang lain.”

Ia berkata,” bila hadist tersebut shahih maka itulah madzhabku.”

“Setiap masalah yang benar informasi (sumbernya) dari Rasulullah yang dinukilkan (oleh para ulama), yang ternyata menyelisihi perkataanku maka aku tarik (pendapatku untuk mengikuti hadist tersebut), baik ketika aku masih hidup atau setelah kematianku. Dan semisalnya dengan apa yang dilakukan oleh seluruh para imam (ulama).” (https://www.islamweb.net/ar/fatwa/62771/)

Senada hal tersebut, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin juga menjelaskan ketika ada pertanyaan kepada beliau,” Saya mahasiswa tahun-tahun pertama di fakultas Syari’ah, kami banyak menemukan permasalahan yang mengandung perbedaan pendapat, dan terkadang pendapat yang rajih dalam sebagian masalah, ternyata bertolak belakang dengan sebagian pendapat ulama sekarang.

Atau kadang kami menemukan masalah-masalah tapi tidak ada satu pun yang rajih, sehingga kami bingung dalam hal ini. Apa yang harus kami lakukan berkenaan dengan masalah yang mengandung perbedaan pendapat atau ketika kami ditanya oleh orang lain? Semoga Allah memberi kebaikan pada Syaikh.”

Kemudian beliau menjawab,” Pertanyaan semacam ini tidak hanya dialami oleh para penuntut ilmu syari’at, tapi merupakan masalah umum setiap orang. Jika seseorang mendapati perbedaan pendapat tentang suatu fatwa, ia akan kebingungan.

Tapi sebenarnya tidak perlu dibingungkan, karena seseorang itu, jika mendapatkan fatwa yang berbeda, maka hendaknya ia mengikuti pendapat yang dipandangnya lebih mendekati kebenaran, yaitu berdasarkan keluasan ilmunya dan kekuatan imannya, sebagaimana jika seseorang sakit, lalu ada dua dokter yang memberikan resep berbeda, maka hendaknya ia mengikuti perkataan dokter yang dipandangnya lebih benar dalam memberikan resep obat.

Jika ada dua pendapat yang dipandangnya sama, atau tidak dapat menguatkan salah satu pendapat yang berbeda itu, maka menurut para ulama, hendaknya ia mengikuti pendapat yang lebih tegas, karena itu lebih berhati-hati. Sebagian ulama lainnya mengatakan, hendaknya ia mengikuti yang lebih mudah, karena demikianlah dasar hukum dalam syari’at Islam.

Ada juga yang berpendapat, boleh memilih di antara pendapat yang ada. Yang benar adalah mengikuti yang mudah, karena hal itu sesuai dengan konsep mudahnya agama Islam, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah/2: 185)

Dan firmanNya. وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”(QS. Al-Hajj/22 : 78)

Serta sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,”

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا

Bersikap mudahlah kalian dan jangan mempersulit”

Lain dari itu, karena pada dasarnya manusia adalah “bebas dari tanggung jawab” sehingga ada sesuatu yang mengubah status dasar ini. Kaidah ini berlaku bagi orang yang tidak dapat mengetahui yang haq dengan dirinya sendiri. Namun bagi yang bisa, seperti halnya penuntut ilmu syar’i yang bisa membaca pendapat-pendapat seputar masalah dimaksud, maka hendaknya memilih pendapat yang dipandangnya lebih benar berdasarkan dalil-dalil yang ada padanya. Dalam hal ini ia harus meneliti dan membaca untuk mengetahui pendapat yang lebih benar di antara pendapat-pendapat yang diungkapkan oleh para ulama. “

(Kitabud Da’wah (5), haL. 45-47, SyaikH Ibnu Utsaimin | Disalin dari : https://almanhaj.or.id/1330)

Cara mengambil sumber yang benar?

Tiada cara mengambil sumber yang benar kecuali dengan cara belajar yang benar dengan cara yang benar. Telah dicontohkan bagaimana para ulama dalam belajar dan mengajarkannya kepada murid muridnya. Memang butuh waktu yang sangat panjang dengan metode belajar yang benar, untuk dapat menelaah sumber yang didapatkan. Terus mencari dalil dari Al-Quran dan dari Al-Hadist, dengan pemahaman yang telah diajarkan oleh para sahabatnya sebagai penentu bila ada perbedaan dengan pemahaman pada ulama setelah mereka.

Di dalam melangkah pada awal belajar, maka tentunya tetap berdoa, semoga Allah berikan jalan terbaik dalam belajar, sambil mencari guru yang tetap, yang terlihat mengajarkan dasar/dalil agama dari sumbernya, yang tidak hanya mengajarkan cerita atau asumsi atau pendapat pribadi yang penuh kefanatikan. Belajar dan teruslah belajar, semoga Allah berikan kepada kita hidayah dan taufiqNya.

Apakah mahram diwajibkan ketika berhaji bagi seorang wanita?

Benar, wajib bagi seorang wanita untuk mengambil mahram dalam setiap safarnya, terlebih ketika safar untuk berhaji. Sehingga, bila tidak ada mahram, maka kewajiban haji gugur atas wanita tersebut.

Sabda Rasulullah shallahu alaihi wasallam,”

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ ، وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ » . فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِى جَيْشِ كَذَا وَكَذَا ، وَامْرَأَتِى تُرِيدُ الْحَجَّ . فَقَالَ « اخْرُجْ مَعَهَا »

Tidak boleh seorang wanita bersafar kecuali bersama mahromnya. Tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan wanita kecuali bersama mahromnya.” Kemudian ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin keluar mengikuti peperangan ini dan itu. Namun istriku ingin berhaji.” Beliau bersabda, “Lebih baik engkau berhaji bersama istrimu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Setelah membawakan dalil-dalil di antaranya hadis di atas, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dalil-dalil dari Nabi () tersebut menunjukkan diharamkannya safar wanita tanpa mahram. Dan dalil-dalil tersebut tidak menyatakan satu safar pun sebagai pengecualian. Padahal safar untuk berhaji sudah masyhur dan sudah seringkali dilakukan. Sehingga tidak boleh kita menyatakan ini ada pengecualian dengan niat tanpa ada lafazh (pendukung). Bahkan para sahabat, di antara mereka memasukkan safar haji dalam hadits-hadits larangan tersebut. Karena ada seseorang yang pernah menanyakan mengenai safar haji tanpa mahrom, ditegaskan tetap terlarang.” (Syarh Al-‘Umdah, 2/174).

Memang ada perbedaan para ulama dalam masalah mahram ini, terkait boleh tidaknya seorang wanita tetap safar berhaji dengan tanpa mahram, namun digantikan dengan rombongan dari para wanita untuk menemaninya dalam safar haji.

Dengan pendapat yang ada, tetaplah lebih aman dan lebih berhati-hati untuk tetap mengambil mahram dalam safarnya. Bila tetap dipaksakan berangkat, mayoritas para ulama tetap menghukumi sah-nya haji atau umrah yang dilakukan, walaupun ada kesalahan dengan apa yang dilakukan.

Wallahu a`lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله
Senin, 30 Safar 1444 H/ 26 September 2022 M


Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di sini

Ustadz Fadly Gugul, S.Ag

Beliau adalah Alumni S1 STDI Imam Syafi’I Jember Ilmu Hadits 2012 – 2016 | Bidang khusus Keilmuan yang pernah diikuti beliau adalah Takhosus Ilmi di PP Al-Furqon Gresik Jawa Timur | Beliau juga pernah mengikuti Pengabdian santri selama satu tahun di kantor utama ICBB Yogyakarta (sebagai guru praktek tingkat SMP & SMA) | Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial Dakwah masyarakat (kajian kitab), Kajian tematik offline & Khotib Jum’at

Related Articles

Back to top button