Bolehkah Mengambil Rukhsoh Sholat Karena Safar Tamasya?

Bolehkah Mengambil Rukhsoh Sholat Karena Safar Tamasya?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang bolehkah mengambil rukhsoh sholat karena safar tamasya?
selamat membaca.
Pertanyaan :
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga. Saya mau bertanya ustadz.
Izin bertanya ustadz, apakah safar dengan tujuan naik gunung, atau sekedar tamasya boleh menjadi sebab seseorang mengambil rukhsoh sholat?
(Disampaikan oleh Fulan, sahabat belajar grup WA Bimbingan Islam – BiAS)
Jawaban :
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.
Hukum Tamasya dan Naik Gunung
Pertama, kita hendak mencari hukum kegiatan seperti mendaki gunung, olahraga, ataupun tamasya ke tempat-tempat yang jauh untuk diisi kegiatan outbound dan semisalnya, menurut paparan ulama, hukum asal perbuatan tersebut adalah mubah/boleh, selagi tidak ada rambu-rambu syariat yang dilanggar, dikatakan dalam fatwa dari “al-syabakah al-islamiyyah” :
فإن الذي يعنينا بيانه: هو أن الأصل إباحة ممارسة أنواع الرياضة، ومنها تسلق الجبال، ما لم يترتب عليها محذور شرعي كأن تكون مظنة لتعريض النفس للتلف والهلاك، أو إتلاف المال وإفساده دون مصلحة، أو إسراف وتبذير، أو غير ذلك من المحاذير، فحينئذ تكون ممنوعة شرعا
“Sesuatu yang perlu untuk kami jelaskan: bahwa hukum asal melakukan berbagai aktivitas olahraga adalah boleh, termasuk diantaranya adalah mendaki gunung, selagi aktivitas tersebut tidak berdampak pada sesuatu yang terlarang secara syariat, seperti misalnya diduga aktivitas itu bisa menghadapkan jiwa pada kebinasaan, atau merusak harta tanpa ada maslahat, atau memunculkan sikap israf (berlebihan) dan mubadzir, dan larangan syari lainnya, ketika didapati larangan syari tersebut, aktivitas yang dilakukan menjadi dilarang”.
Dari kutipan fatwa di atas, kita katakan bahwa hukum asal mendaki gunung dan aktivitas olahraga yang lainnya jika kita lihat hukum asalnya adalah boleh, selagi tidak menerobos norma-norma syariat.
Bahkan mungkin bisa jadi aktivitas tersebut menjadi bernilai ibadah sehingga masuk kategori ketaatan, tergantung dengan niat pelakunya, misal seorang mendaki gunung untuk bisa mengagumi dan mentadaburi ayat-ayat Allah al-kauniyyah sehingga makin kokoh tauhid dalam dirinya, seorang bertamasya ke suatu tempat sekalian berniat untuk menyenangkan hati istri dan anak-anaknya, yang mana ini adalah bagian dari cara mempergauli pasangan dengan cara yang baik, atau pergi ke suatu tempat untuk liburan dengan disertai untuk berniat silaturrahim kepada kerabat di daerah yang dituju, dan contoh yang lain, dengan niat yang berbeda, maka amalan tersebut bisa berubah hukumnya, sebagaimana dalam kaidah dikatakan:
الوسائل لها احكام المقاصد
“Wasilah (perantara) itu memiliki hukum yang sama dengan perkara yang dimaksudkan”
Jadi ketika amalan yang hukum asalnya mubah tersebut menjadi perantara untuk amalan yang diwajibkan atau dianjurkan, maka ia akan mengambil hukum sesuai amalan yang dituju dan dimaksudkan.
Jika yang dituju adalah amalan baik dan ketaatan, perantara tersebut menjadi baik dan bagian dari ketaatan, jika amalan yang dituju buruk dan kemaksiatan, maka perantara tersebut mengambil hukum yang sama.
Bolehkah Mengambil Rukhsoh Sholat Karena Tamasya?
Kemudian, taruhlah misalnya masalah tamasya atau naik gunung ini hanya untuk bersenang-senang saja yang hukum asalnya mubah, tidak ada niat maksiat, sebagaimana tidak ada maksud-maksud dan tujuan syar’i dalam pelaksanaannya, lantas, apakah apakah safar untuk tamasya ataupun naik gunung yang mubah ini pelakunya juga boleh mengambil rukhsoh solat dalam safarnya? Para ulama berbeda pendapat.
Berkata Ibnu Rusyd al-Qurtubi rohimahullah:
وَأَمَّا الْمَوْضِعُ الثَّالِثُ وَهُوَ اخْتِلَافُهُمْ فِي نَوْعِ السَّفَرِ الَّذِي تُقْصَرُ فِيهِ الصَّلَاةُ، فَرَأَى بَعْضُهُمْ أَنَّ ذَلِكَ مَقْصُورٌ عَلَى السَّفَرِ الْمُتَقَرَّبِ بِهِ كَالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ وَالْجِهَادِ، وَمِمَّنْ قَالَ بِهَذَا الْقَوْلِ أَحْمَدُ
“Adapun tinjauan yang ketiga: yaitu persilangan pendapat ulama pada jenis safar apa yang boleh mengqasar solat, sebagian mereka berpandangan bahwa mengqasar solat hanya terbatas pada safar untuk taqarrub kepada Allah seperti haji, umroh dan jihad, termasuk yang berpendapat demikian adalah imam Ahmad.
وَمِنْهُمْ مَنْ أَجَازَهُ فِي السَّفَرِ الْمُبَاحِ دُونَ سَفَرِ الْمَعْصِيَةِ، وَبِهَذَا الْقَوْلِ قَالَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ. وَمِنْهُمْ مَنْ أَجَازَهُ فِي كُلِّ سَفَرٍ قُرْبَةً كَانَ أَوْ مُبَاحًا أَوْ مَعْصِيَةً وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَأَصْحَابُهُ، وَالثَّوْرِيُّ، وَأَبُو ثَوْرٍ
Sebagian yang lain ada yang membolehkan untuk mengqasar solat pada jenis safar yang mubah dan bukan maksiat, ini pendapat yang dipegang oleh Imam Malik dan Syafii. Bahkan sebagian mereka ada yang membolehkan qasar solat pada safar jenis apapun, safar taqarrub, safar mubah, maupun safar maksiat, ini pendapat Imam Abu Hanifah dan kawan-kawan beliau dari para muridnya, juga pendapat al-Tsauri dan juga Abu Tsaur.
وَالسَّبَبُ فِي اخْتِلَافِهِمْ: مُعَارَضَةُ الْمَعْنَى الْمَعْقُولِ أَوْ ظَاهِرِ اللَّفْظِ لِدَلِيلِ الْفِعْلِ، وَذَلِكَ أَنَّ مَنِ اعْتَبَرَ الْمَشَقَّةَ أَوْ ظَاهِرَ لَفْظِ السَّفَرِ لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ سَفَرٍ وَسَفَرٍ. وَأَمَّا مَنِ اعْتَبَرَ دَلِيلَ الْفِعْلِ قَالَ: إِنَّهُ لَا يَجُوزُ إِلَّا فِي السَّفَرِ الْمُتَقَرَّبِ بِهِ ; «لِأَنَّ النَّبِيَّ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – لَمْ يَقْصُرْ قَطُّ إِلَّا فِي سَفَرٍ مُتَقَرَّبٍ بِهِ» . وَأَمَّا مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الْمُبَاحِ وَالْمَعْصِيَةِ فَعَلَى جِهَةِ التَّغْلِيظِ، وَالْأَصْلُ فِيهِ: هَلْ تَجُوزُ الرُّخصة لِلْعُصَاةِ أَمْ لَا؟ وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ عَارَضَ فِيهَا اللَّفْظُ الْمَعْنَى، فَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِيهَا لِذَلِكَ
Sebab perselisihan mereka adalah adanya pertentangan antara makna yang dipahami dari safar (keberadaan masyaqqah), atau dzohir lafadz safar dengan dalil perbuatan yang dilakukan oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam, yaitu bagi ulama yang memperhitungkan adanya masyaqqah/kesulitan di safar apapun, atau sekedar memperhitungkan lafadz safar (pokoknya yang penting safar), mereka tidak membedakan antara jenis safar satu dengan lainnya (akhirnya boleh mengqasar, dan ini pendapat hanafiah).
Adapun bagi yang memperhitungkan dalil perbuatan/praktek Nabi yang mengqasar solat , mereka mengatakan: qasar tidak boleh kecuali hanya dalam safar taqarrub saja, karena Nabi sama sekali tidak pernah mengqasar kecuali hanya dalam safar taqarrub (ini pendapat Ahmad).
Adapun bagi yang membedakan antara safar mubah dan maksiat, mereka melihat sisi sebagai bentuk hukuman (safar maksiat tak boleh mengqasar). Pokok masalahnya: apakah bagi pelaku maksiat bisa mendapat rukhsoh ataukah tidak? Ini adalah contoh masalah dimana lafadz bertentangan dengan makna, ulama pun berbeda pendapat memahaminya”.
(bidayatu al-mujtahid wa nihayatu al-muqtashid juz:1 hal:179).
Dari penjelasan Ibnu Rusyd al-Qurtubi di atas, bisa kita katakan bahwa jumhur/mayoritas ulama (abu hanifah, malik, syafii) membolehkan seorang mengambil rukhsoh mengqasar solat untuk safar mubah, hanya imam Ahmad yang membatasi bolehnya qasar solat hanya pada safar taqarrub.
Jika kita mengambil pendapat mayoritas ulama, maka kegiatan safar naik gunung, tamasya, dan semisalnya yang hukum asalnya mubah, boleh bagi kita untuk mengambil rukhsoh.
Wallahu a’lam.
Dijawab oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله
Kamis, 04 Rabiul Akhir 1442 H/ 19 November 2020 M
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله
Beliau adalah Alumnus S1 Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta dan S2 Hukum Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله klik disini