Bershalawat Kepada Nabi Dengan Riya’, Bagaimana Hukumnya?

Bershalawat Kepada Nabi Dengan Riya’, Bagaimana Hukumnya?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan bershalawat kepada nabi dengan riya’, bagaimana hukumnya? Selamat membaca.
Pertanyaan:
Ustadz apa derajat hadits yg berbunyi “sallu’alannabi walawkana birriya”. (Bershalawatlah kepada nabi walau dengan riya).
(Ditanyakan oleh Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)
Jawaban:
Bismillah, kami tidak mendapatkan riwayat hadist yang ditanyakan.
Namun bila melihat kalimat tersebut, yakni kalimat:
صلوا علي ولو بالرياء
“shalawatlah kepada ku ( Nabi) walaupun dengan riya”
Bila yang dimaksudkan adalah riya yang kita kenal, bahwa ia adalah perbuatan yang dilakukan bukan karena Allah, untuk mencari perhatian manusia.
Maka makna kalimat itu tidak sesuai dengan apa yang disebutkan oleh nash alquran dan hadist nabi, bahwa riya hukumnya adalah haram dalam setiap ibadah, tanpa terkecuali.
Firman Allah Ta’ala:
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya“. (QS Al Kahfi: 110)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
(من رآى رآى الله به ومن سمَّع سمَّع الله به)
“Barangsiapa yang beramal ingin dilihat maka Allah akan tampakkan amalan riya itu, dan barangsiapa yang beramal dengan sum’ah, maka Allah akan bongkar pula amalan sum’ah tersebut”. (HR Bukhari dan Muslim)
Dan firman Allah dalam hadits qudsi:
يقول الله – عز وجل -: أنا أغنى الشركاء عن الشرك ، من عمل عملاً أشرك معي غيره تركته وشركه
“Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: Aku Mahakaya akan dari membutuhkan serikat, maka barangsiapa yang melakukan suatu amalan dengan menyertakan didalamnya selain daripada-Ku, maka akan aku tinggalkan ia dan serikatnya tersebut”. (HR Muslim)
Di dalam dorar.net di bawah bimbingan Syekh Alawi ibnul Qadir as-Saggaf ketika ditanya terkait bait syair yang menyatakan makna senada disebutkan di dalamnya bahwa pada kalimat “
أما صدر البيت الأول: (أدم الصلاة على النبي محمد)، فهو حق إن شاء الله ففيه الحث على مداومة الصلاة على النبي صلى الله عليه وآله وسلم وقد ورد في ذلك أحاديث كثيرة.
وكذا صدر البيت الثاني: (أعمالنا بين القبول وردها) حقٌ كذلك، فكل عمل يعمله المرء فهو بين القبول وعدمه فما كان خالصاً لله وموافقاً للسنة فهو مقبول عند الله وما كان غير ذلك فهو مردود.
Amal kita bisa diterima atau ditolak..kecuali shalawat kepada Nabi Muhammad (yang pasti diterima)” dijelaskan,” Bagian awal pada bait kedua (pada kalimat “amalan kita antara diterima dan ditolak”) maknanya adalah benar, karena setiap amalan yang dilakukan seseorang memang di antara posisi diterima atau bisa ditolak.
Bila ia ikhlas karena Allah dan sesuai dengan sunnah maka amalan tersebut di terima di sisi Allah, dan bila tidak ikhlas maka amalan tersebut di tolak.
Dan adapun (makna) pada bagian pertama dan kedua (bila disatukan) maka pertanyaan tersebut adalah salah satu kebatilan kaum sufi yang telah berlebihan dalam masalah shalawat Nabi.
Bahwa syiar mereka menjadikannya seakan bagian dari Tahlil dan Tasbih, bahkan seakan (shalawat atas Nabi) lebih agung dari ibadah shalat itu sendiri, dengan sujud dan rukuk (yang ada di dalam shalat). Karena mereka menyatakan bahwa setiap amalan bisa diterima dan ditolak, terkecuali shalawat Nabi (yang tidak akan ditolak Allah).
Jelas, pernyataan Ini adalah salah, karena sesungguhnya seluruh amal ibadah bisa diterima dan ditolak (oleh Allah), termasuk di dalamnya adalah shalawat atas nabi , ia bagian dari ibadah dan amal ketaatan, untuk mendekatkan seorang kepada Allah azza Wajalla, yang butuh terhadap niat dan mutaba`ah (sesuai contoh Nabi), sebagaimana halnya ibadah ibadah yang lain.
Ini adalah sikap ghuluw/ melampaui batas kepada Nabi sallahu alaihi wasalam, menjadikan (pastinya) diterimanya shalawat yang dilaklukan. Jika niatnya riya atau termasuk dari amalan bid`ah, maka ia ditolak sesuai dengan timbangan syariah.
Para sufi bermaksud mencari pembenaran dengan apa yang mereka lakukan dari perayaan perayaan maulid dan selainnya. Sebagian mereka, bila diingkari dengan perbuatan yang dilakukan maka mareka menjawab,” anggaplah amalan kami adalah bid`ah, namun dengan apa yang kami lakukan dari bershalawat kepada Nabi sallahu alaihi wasallam adalah amalan yang akan diterima Allah , dengan berdalih kepada dua bagian dari bait tersebut:
أدمِ الصلاة على النبي محمد فقبولها حتما بغير تــردد
أعمالنا بين القبول و ردهـا إلا الصلاة على النبي محمد
1. “Lakukan selalu bershalawat atas Nabi Muhammad..
maka dipastikan ia akan diterima tanpa ada keraguan
2. “Amalan amalan kita di antara diterima dan ditolak..
kecuali shalawat atas Nabi Muhammad..”
Pada kalimat “amal-amalan kita di antara di terima dan di tolak..kecuali shalawat atas Nabi Muhammad.”
Seakan bait tersebut sama seperti ayat atau hadist yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Sebagian ulama (sufi) mereka berkata,” bahwa shalawat atas Nabi tidak ada (pengaruhnya dengan) riya, tidak mengapa seseorang melakukannya dengan sembunyi atau terang-terangan (riya`).
Ia adalah bentuk hak yang wajib kami terima, (tidak hanya bentuk pemuliaan untuk kami). Jelas ini bentuk kesalahan, maka yang benar sesuai dengan apa yang kamu ketahui (si penanya). (https://dorar.net/hadith/sharh/23106 )
Wallahu a`lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله
Jumat, 1 Zulhijjah 1443 H/ 1 Juli 2022 M
Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di sini